DALAM dunia internasional, Israel sering memposisikan dirinya sebagai satu-satunya negara demokrasi di kawasan Timur Tengah. Klaim ini begitu sering didengungkan dalam diplomasi global hingga dianggap sebagai fakta yang tidak terbantahkan. Namun, di balik retorika demokrasi tersebut, terdapat realitas yang mencerminkan praktik diskriminatif dan penindasan sistematis terhadap warga Palestina.
Demokrasi sejati seharusnya menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesetaraan, dan kebebasan bagi semua warga negara. Namun kenyataannya, sistem politik dan hukum di Israel memperlihatkan standar ganda. Warga Yahudi dan non-Yahudi diperlakukan sangat berbeda, baik dari sisi hukum, pelayanan publik, hak kepemilikan tanah, hingga kebebasan bergerak.
Istilah “apartheid” yang dahulu digunakan untuk menggambarkan rezim rasis di Afrika Selatan kini semakin sering digunakan oleh para akademisi, lembaga hak asasi manusia, dan bahkan PBB untuk merujuk pada sistem Israel terhadap Palestina. Amnesty International, Human Rights Watch, dan organisasi HAM Israel sendiri, B’Tselem, secara terbuka menyebut Israel menjalankan rezim apartheid.
Apartheid bukan sekadar tudingan emosional. Ini adalah terminologi hukum yang diakui dalam hukum internasional, terutama dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) dan Statuta Roma. Dalam konteks ini, apartheid berarti kebijakan dan praktik yang bertujuan mempertahankan dominasi suatu kelompok rasial atas kelompok lain dan secara sistematis menindas mereka.
Baca Juga: Zionisme dan Runtuhnya Kemanusiaan
Di wilayah pendudukan seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza, Israel menerapkan dua sistem hukum yang berbeda: hukum sipil untuk pemukim Yahudi, dan hukum militer untuk warga Palestina. Situasi ini dengan jelas menggambarkan sistem yang tidak setara dan penuh diskriminasi, sebuah pelanggaran terhadap prinsip dasar demokrasi.
Di Yerusalem Timur yang diduduki, warga Palestina meskipun tinggal di kota yang diklaim Israel sebagai ibukotanya, tidak memiliki status kewarganegaraan penuh. Mereka hanya diberi “residensi permanen”, yang bisa dicabut kapan saja, bahkan hanya karena tinggal di luar kota selama beberapa tahun.
Sistem hukum di Israel bahkan mengatur dengan ketat siapa yang berhak menjadi warga negara. Undang-Undang Kepulangan (Law of Return) hanya memberi hak kepada orang Yahudi di seluruh dunia untuk secara otomatis menjadi warga negara Israel. Sebaliknya, para pengungsi Palestina yang diusir dari tanah mereka pada 1948 dan 1967 sama sekali tidak memiliki hak untuk kembali, apalagi menjadi warga negara.
Di dalam wilayah Israel sendiri, terdapat sekitar 20% warga Arab-Palestina yang memiliki kewarganegaraan Israel. Namun mereka tetap menghadapi berbagai bentuk diskriminasi institusional, baik dalam perumahan, pendidikan, layanan publik, hingga representasi politik. Ketimpangan anggaran pembangunan antara komunitas Yahudi dan Arab begitu mencolok.
Baca Juga: Makna dan Hikmah di Balik Setiap Prosesi Haji
Pada tahun 2018, Israel mengesahkan Nation-State Law, sebuah undang-undang kontroversial yang menyatakan bahwa Israel adalah “negara bangsa bagi orang Yahudi”. Bahasa Arab yang sebelumnya menjadi bahasa resmi bersama dengan Ibrani diturunkan statusnya menjadi bahasa “khusus”. Undang-undang ini memperkuat eksklusivitas Yahudi dalam struktur negara.
Banyak pakar hukum dan pengamat politik menilai bahwa Nation-State Law secara terang-terangan menghapus prinsip kesetaraan bagi seluruh warganya. Ini semakin memperkuat narasi bahwa Israel hanyalah demokrasi bagi Yahudi, bukan untuk semua warganya. Demokrasi semacam ini disebut “etnokrasi” – kekuasaan yang dijalankan oleh satu kelompok etnis tertentu.
Selain kebijakan hukum, blokade terhadap Gaza yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun menjadi simbol paling gamblang dari kekejaman sistem ini. Dua juta warga Gaza hidup di bawah pengepungan yang menyebabkan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Blokade ini bukan hanya bentuk hukuman kolektif, tapi juga alat politik untuk melemahkan perlawanan dan mengisolasi rakyat Palestina.
Masyarakat internasional seringkali diam atau hanya mengeluarkan kecaman verbal. Padahal, bantuan militer dan ekonomi kepada Israel terus mengalir, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Hal ini memperkuat impunitas Israel dan melemahkan upaya penegakan hukum internasional.
Baca Juga: Barang Bawaan Haji, Mana yang Boleh, Mana yang Sebaiknya Ditinggal?
Ironisnya, banyak negara yang menjadi kampiun demokrasi justru menjadi sponsor terbesar bagi negara yang menjalankan sistem apartheid ini. Ketika demokrasi diklaim sebagai landasan moral politik luar negeri, mengapa mereka tetap mendukung Israel yang secara terang-terangan menginjak prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri?
Klaim demokrasi Israel tak bisa dilepaskan dari kampanye propaganda yang sangat canggih. Israel memiliki kekuatan lobi yang besar di banyak negara dan mampu memutarbalikkan narasi publik. Mereka menggambarkan diri sebagai korban yang dikelilingi oleh musuh, sambil menutupi fakta bahwa mereka adalah pelaku pendudukan dan penindasan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Haji di Era Digital, Teknologi dan Aplikasi Canggih dari Pemerintah