Al Quds, 1 Rabi’ul Awal 1435/2 Januari 2014 (MINA) – Presiden penjajah Israel, Shimon Peres, Rabu (1/1) mendesak presiden AS, Amerika Serikat melepaskan mata-mata Israel, Jonathan Pollard (29) yang dipenjara dengan tuduhan mata-mata.
Peres mengklaim ia didukung mayoritas parlemen (Knesset) Isarael. “106 dari 120 anggota parlemen mendukung saya. Sekarang saatnya membebaskan Pollard,” kata Peres.
Mantan analis Angkatan Laut AS itu ditangkap tahun 1985 karena memberikan ribuan dokumen rahasia spionase AS di dunia Arab kepada Israel. Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan AS.
Baca Juga: Satu-satunya Dokter Ortopedi di Gaza Utara Syahid Akibat Serangan Israel
Israel telah secara rutin mematai-matai Amerika Serikat selama berpuluh-puluh tahun. Ditahan dan dihukumnya mata-mata Israel, J. Pollard dan istrinya pada pertengahan 1980-an hanya merupakan bukti paling dramatis dari aktivitas-aktivitas Israel melawan Amerika Serikat.
Dalam kata-kata Washington Post: “Agen-agen intelijen Israel telah memeras, memasang alat pendengar rahasia, menyadap, dan menawarkan suap kepada para pegawai pemerintah AS dalam upaya mendapatkan informasi intelijen dan data teknis yang sensitif.
The Washington Post mengungkapkan merebaknya kegiatan mata-mata Israel terhadap Amerika Serikat atas dasar laporan CIA setebal empat puluh tujuh halaman, “Israel: Foreign Intelligence and Security Service,” yang dikeluarkan pada Maret 1979. Itu ditemukan bersama dokumen-dokumen rahasia lainnya pada November 1979 oleh kelompok militan yang menduduki kedutaan besar AS di Teheran. Meskipun Israel dan para pendukungnya telah menyatakan keraguan tentang keaslian dokumen itu, tidak ada pejabat AS yang meragukannya.
Menurut laporan itu, negara-negara Arab merupakan sasaran-sasaran intelijen utama Israel namun “kumpulan informasi tentang kebijaksanaan atau keputusan-keputusan rahasia AS… menyangkut Israel” dan “kumpulan rahasia intelijen ilmiah di AS dan negara-negara berkembang lainnya” menduduki prioritas kedua dan ketiga. “Orang-orang Israel mengerahkan sebagian besar dari operasi-operasi tersamar mereka untuk mendapatkan rahasia intelijen ilmiah dan teknis,” lanjut laporan itu.
Baca Juga: Paraguay Resmi Kembalikan Kedutaannya di Tel Aviv ke Yerusalem
“Ini… termasuk usaha-usaha untuk menyusup ke dalam proyek-proyek pertahanan rahasia tertentu di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.”
Di kemudian hari dikemukakan bahwa sepanjang 1960-an dan 1970-an FBI dan kontra intelijen militer melancarkan sebuah program bernama Scope untuk mencegah Israel agar tidak merekrut orang-orang Amerika untuk mencuri teknologi militer yang canggih. Operasi itu mencakup penyadapan dan pengawasan elektronik atas kedutaan besar Israel. Scope dihentikan pada awal 1970-an ketika diputuskan bahwa operasi itu mungkin melanggar hak-hak konstitusional orang-orang Amerika.
Sejak itu, Victor Ostrovsky, seorang mantan agen intelijen Israel, mengungkapkan dalam sebuah buku pada 1990 bahwa Israel menempatkan di Amerika Serikat dua puluh empat hingga dua puluh tujuh agen Mossad yang tergabung pada divisi intelijen super rahasia yang dikenal sebagai Al, yang dalam bahasa Ibrani berarti “di atas” atau “di puncak.” Tulis Ostrovsky: “[Intelijen Israel] secara aktif memata-matai, merekrut, mengorganisasi, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas tersamar, terutama di New York dan Washington, yang mereka sebut sebagai tempat bermain mereka.”
Dia menulis bahwa Israel mempengaruhi Kongres dengan cara merekrut ajudan-ajudan Yahudi sebagai wakil rakyat dan senator yang tergabung dalam komite-komite kunci. Periset lainnya menulis bahwa antara pertengahan 1960-an dan pertengahan 1980-an Israel melancarkan begitu banyak operasi di Amerika Serikat sehingga ada empat puluh orang penyelidik resmi AS yang bekerja untuk Israel. Dia menambahkan: “[Para pejabat AS] itu berkata bahwa orang-orang Israel telah menjadi begitu yakin akan kemampuan mereka memata-matai AS dan meloloskan diri dengan selamat.
Baca Juga: Abu Ubaidah Serukan Perlawanan Lebih Intensif di Tepi Barat
Segera setelah penahanan Pollard, Israel meminta maaf dan menjelaskan bahwa operasi itu tidak sah.(T/P04/E1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)