Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel di Ambang Krisis Ekonomi Akibat Lonjakan Inflasi

sri astuti Editor : Widi Kusnadi - Senin, 16 September 2024 - 19:13 WIB

Senin, 16 September 2024 - 19:13 WIB

66 Views

Ilustrasi warga Israel di bandara untuk meninggalkan Israel. (Foto: Quds Press)

Tel Aviv, MINA – Inflasi Israel meningkat lebih dari perkiraan pada Agustus ini, didorong oleh kenaikan biaya produk pangan, perumahan, dan perjalanan ke luar negeri, menurut data dari Biro Statistik Pusat yang dirilis pada hari Senin (16/9).

Tingkat inflasi tahunan selama 12 bulan terakhir meningkat menjadi 3,6%, menandai level tertinggi sejak Oktober. Ini naik dari 3,2% pada bulan Juli dan 2,9% pada bulan Juni, dan tetap di atas kisaran target tahunan pemerintah sebesar 1% hingga 3% untuk dua bulan berturut-turut. Demikian dikutip dari Almayadeen, Senin (16/9).

Setiap bulan, indeks harga konsumen (CPI), yang mengukur biaya rata-rata barang-barang rumah tangga, naik sebesar 0,9% pada bulan Agustus, melampaui ekspektasi analis, yang berkisar antara 0,5% hingga 0,6%.

Pada bulan Agustus, terjadi kenaikan harga yang signifikan, termasuk kenaikan biaya sayuran segar sebesar 13,2%, dengan harga tomat melonjak hingga 37,3%. Biaya transportasi meningkat sebesar 2,8%, harga perumahan naik sebesar 0,6%, dan biaya budaya dan hiburan naik tipis sebesar 0,5%, sebagaimana dilaporkan oleh Biro Statistik.

Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan

Surat kabar Israel Haaretz mengkritik situasi ekonomi di Israel, dengan menyatakan “perang terpanjang dan termahal dalam sejarah kita membebani biaya hidup dan mengurangi peluang untuk menurunkan suku bunga.”

Namun, ini tidak berarti Bank Israel akan terburu-buru menaikkan suku bunga, karena khawatir hal itu dapat menghambat aktivitas ekonomi, yang merupakan hal terakhir yang dibutuhkan saat ini, menurut Haaretz.

Lebih jauh, Surat Kabar tersebut menjuluki indeks biaya hidup di Israel sebagai “Indeks Perang”, yang menegaskan “perang terpanjang dan termahal” dalam sejarah negara itu tidak hanya membebani biaya keamanan dan kompensasi bagi banyak korban tetapi juga biaya hidup.

Indeks untuk bulan Agustus, yang naik sebesar 0,9% bertentangan dengan perkiraan awal yang hanya memperkirakan kenaikan sebesar 0,5%, sebagian besar disebabkan oleh perang dan dampaknya.

Baca Juga: Parlemen Brasil Keluarkan Laporan Dokumentasi Genosida di Gaza

Hareetz menjelaskan, sebagian dari kenaikan pendapatan tersebut disebabkan oleh kenaikan tajam harga tiket pesawat pada maskapai penerbangan Israel.

Kenaikan ini didorong oleh pengurangan signifikan dalam penerbangan dari maskapai penerbangan asing ke Israel, yang mengakibatkan penurunan pasokan dan peningkatan permintaan, khususnya pada bulan Agustus. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya perjalanan ke luar negeri sebesar 22,1%.

Laporan tersebut juga mencatat pembatalan penerbangan maskapai asing telah meningkat signifikan, terutama setelah terbunuhnya pemimpin Hizbulloh Fouad Shokor di Beirut dan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran, yang meningkatkan ketegangan dan kekhawatiran akan eskalasi.

Menurut surat kabar tersebut, kekhawatiran ini belum sepenuhnya hilang, sebagaimana dibuktikan oleh kesenjangan 1,2% antara imbal hasil obligasi pemerintah Israel dan obligasi pemerintah AS. Hal ini menunjukkan investor menuntut pengembalian yang lebih tinggi untuk berinvestasi dalam obligasi pemerintah Israel, karena obligasi tersebut dianggap lebih berisiko saat ini.

Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka

Kesenjangan ini muncul selama perang dan berfluktuasi seiring dengan tingkat ketegangan regional, yang berarti peningkatan biaya untuk pembiayaan utang pemerintah yang diperlukan untuk menutupi biaya perang.

Indeks saat ini mencerminkan serangkaian perkembangan terkait perang, seperti pertanyaan tentang apakah maskapai internasional mengurangi penerbangan ke wilayah tersebut, apakah harga naik, apakah boikot Turki memengaruhi impor tomat, apakah layanan menjadi lebih mahal, dan apakah harga apartemen melonjak. Semua faktor ini mencegah penurunan suku bunga dan mengakibatkan pembayaran hipotek bulanan yang lebih tinggi.

Hareetz mengkritik tidak satu pun dari isu-isu ini yang tampaknya menjadi perhatian pemerintah dan bahwa isu-isu tersebut tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai kelanjutan perang, meskipun dampaknya signifikan terhadap komunitas pemukim. []

 

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Feature
Internasional
Palestina
Palestina
Internasional
Internasional