Yerusalem, 12 Rabiul Awwal 1437/24 Desember 2015 (MINA) – Banyak pengamat politik melihat kunjungan Menlu AS, John Kerry ke Timur Tengah – tempat ia bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas – sebagai deklarasi resmi penarikan pemerintah AS dari proses perdamaian yang hampir mati.
Beberapa pekan kemudian, ketika berbicara pada Forum Saban di Washington DC, Kerry menegaskan kembali komitmen pemerintah AS bagi “solusi dua negara”, dan memperingatkan bahwa situasi genting di kawasan itu saat ini sebagai pertanda munculnya solusi “satu negara” dalam konflik abadi tersebut.
Kerry mendesak Netanyahu agar membuktikan dukungannya untuk solusi dua-negara, setelah melihat bahwa – meskipun ada pernyataan dukungan perdana menteri Israel untuk lahirnya negara Palestina – banyak menteri kabinet Israel terus membuat pernyataan yang menunjukkan sebaliknya.
Khalil Shahin dari Pusat Palestina untuk Hak Asasi Manusia mengatakan kepada Anadolu Agency, seperti dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) bahwa, sementara dunia sedang sibuk memerangi “terorisme”, Israel terus memaksakan apa yang tampaknya menjadi solusi satu negara – atau lebih tepatnya, “solusi satu setengah negara “- atas konflik tersebut.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
“Israel telah mengumumkan rencana untuk menyebarkan empat batalyon tempur baru di daerah kontak pada awal tahun depan, sehingga jumlah tentara Israel di Tepi Barat yang diduduki Israel mencapai lebih dari 25.000 – jumlah tertinggi sejak Intifada Kedua [2000-2005],” kata Shahin.
Sejak awal apa yang oleh beberapa orang disebut sebagai “Intifada” ketiga atau pemberontakan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur pada 1 Oktober lalu, Israel telah mengepung beberapa kota Tepi Barat dan lingkungan Arab di Yerusalem Timur.
Menurut Shahin, Palestina terganggu oleh pos-pos pemeriksaan tentara Israel yang didirikan di sekitar kota dan desa-desa mereka di 40 persen kawasan Tepi Barat yang didudukinya dan ditetapkan sebagai Area “B” dan “C” berdasarkan Perjanjian Oslo 1993.
Sementara itu, Israel langsung mengontrol 60 persen wilayah Tepi Barat yang diduduki yang dikenal sebagai daerah “C”, yang sekarang menjadi kediaman sekitar 150.000 warga Palestina dan 350.000 pemukim Yahudi yang menetap di 135 permukiman Yahudi.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Di Yerusalem Timur, Israel terus merampas harta milik Arab dan berharap akan mengusir dan mencabut ijin tinggal sekitar 230.000 warga Palestina, kata Shahin.
Menurut Shanin, Israel ingin menempatkan hampir 3 juta warga Palestina di beberapa wilayah yang tidak berhubungan dengan membangun penghalang sambil mempertahankan kontrol atas sebagian besar Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan dan semua sumber daya air.
Israel, kata dia, membunuh warga Palestina dan menyita tanah mereka di Tepi Barat yang diduduki – dengan maksud untuk secara resmi mencaplok lahan-lahan itu di masa depan – dengan dalih “memberikan keamanan” untuk pemukim Yahudi.
Status quo
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Pada 2005, setelah “pelepasan” Jalur Gaza dan awal pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat, Israel menganut kebijakan baru, yang menurut Yossi Alpher, seorang penasehat mantan PM Israel Ehud Barak, dapat disebut “solusi satu setengah negara”.
Cara terbaik yang dapat dilakukan Israel bagi dirinya, para pejabat Israel menyadari pada saat itu, adalah “mengelola konflik” dengan cara yang dirancang untuk menjaga integritasnya sebagai negara “Yahudi”, jelas Alpher.
Khalil al-Tafakji, seorang ahli demografi Palestina, percaya Israel menetapkan batas untuk serangkaian wilayah administratif Palestina yaag tidak berhubungan di Tepi Barat dengan membangun penghalang, mencaplok tanah lainnya di Area “C” dan membangun kontrol atas Lembah Yordan, lumbung sejarah Palestina.
Sementara itu, al-Tafakji menunjukkan, Israel mulai memblokade Jalur Gaza pada 2007 dan sejak itu melancarkan tiga perang yang menghancurkan dengan tujuan membuat daerah kantong pesisir yang diperintah Hamas itu kelelahan dan terisolasi.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Al-Tafakji menegaskan bahwa pemberontakan Palestina saat ini meletus bukan hanya karena eskalasi Israel terhadap Masjid Al-Aqsa, tetapi juga karena penolakan Palestina untuk menerima status quo – terutama setelah menjadi jelas bahwa proses perdamaian telah gagal.
“Intifada” Palestina yang sedang berlangsung saat ini, dengan lebih dari 120 warga Palestina sejauh ini telah tewas,
bertujuan menentang rencana Israel bagi solusi “satu setengah-negara” dan telah membuyarkan harapan negara Yahudi itu mengambil keuntungan atas kegagalan Washington menghidupkan kembali proses perdamaian yang mati secara klinis.
Akan tetapi mungkin yang paling penting, pemberontakan terbaru telah membuka kembali mata dunia atas apa yang sebetulnya terjadi dalam masalah Palestina. (T/R07/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka