Oleh : Ali Farkhan Tsani*
Palestina telah mengajukan dokumen resmi kepada PBB untuk bergabung dengan Pengadilan atau Mahkamah Kriminal Internasional ICC (International Criminal Court), langkah yang memungkinkan negara itu mengupayakan dijatuhkannya dakwaan terhadap Israel.
Keputusan Palestina bergabung dengan ICC itu ditandatangani Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertemuan di Ramallah, Tepi Barat, Rabu (31/12/2014).
Duta Besar Palestina untuk PBB, Dr. Riyad Mansour, menyerahkan dokumen itu pada Jumat (2/1/2015) kepada pejabat senior PBB, Asisten Sekjen urusan Hukum Stephen Mathias.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Mansour mengatakan hal itu merupakan langkah signifikan yang diperlukan untuk mengupayakan keadilan bagi aksi-aksi yang diduga sebagai kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina.
Dia juga mengatakan Palestina mengupayakan upaya hukum dari ICC terkait kejahatan yang dilakukan Israel semasa perang di Gaza tahun lalu.
Amerika Serikat (AS) dan Israel dengan cepat bereaksi terhadap langkah Palestina itu. Seperti disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Edgar Vasquez, yang menyebutnya sebagai langkah kontraproduktif.
Keputusan Abbas diyakini berkaitan erat dengan hasil akhir dari pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Selasa (30/12/2014) sebelumnya, saat PBB menolak rancangan resolusi yang mendesak Israel untuk mengakhiri pendudukannya atas tanah Palestina sejak 1967 silam.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pengadilan atau Mahkamah Kriminal Internasional ICC atau disingkat juga dengan ICC (International Criminal Court), dibentuk pada tahun 1940, bertujuan untuk menuntut tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Di dalam Statuta Roma (Rome Statute of the International Criminal Court) disebutkan, ada empat kategori kejahatan internasional, yaitu : genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
ICC merupakan organisasi pengadilan internasional yang berdudukan di Den Haag, Belanda, yang beranggotakan 122 negara.
Gerakan Perlawanan Islam Harakah Muqawwamah al-Islamiyyah (Hamas), turut mengapresiasi langkah Presiden Palestina itu sebagai langkah ke arah yang benar.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Langkah ini perlu menjadi bagian dari kebijakan umum dan program nasional bersama,” bunyi pernyataan resmi Hamas.
Pernyataan juga menyebut akan diadakannya pertemuan kedua faksi terbesar Palestina, Hamas dan Fatah, untuk menyetujui penangguhan negosiasi perdamaian dengan Israel serta koordinasi keamanan Palestina.
Israel Ketakutan
Ketakutan Israel tampak dari komentar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang segera melobi PBB dan serta merta mendesak Mahkamah ICC untuk menolak permohonan keanggotaan Palestina.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Alasan Netanyahu Otoritas Palestina yang mengajukan keanggota bukanlah sebuah Negara, melainkan entitas yang bergabung dengan apa yang Israel katakan dengan organisasi teroris Hamas.
“Israel merupakan negara hukum, militernya memiliki moral yang baik dan menghormati semua aturan internasional,” klaimnya.
Pemerintah Israel kontan berusaha membekukan pajak pendapatan Palestina sebagai balasan atas berbergabungnya Palestina ke Mahkamah ICC tersebut.
Walaupun langkah itu dikecam oleh sekutunya sendiri AS, yang menyebutkan langkah tersebut dapat menimbulkan ketegangan baru, kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jen Psaki.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Israel memang memberlakukan pembekuan pajak dalam menanggapi upaya Palestina untuk bergabung dengan ICC di Den Haag, dan mengancam tindakan balasan lebih lanjut.
Ketakutan Israel sangat beralasan, sebab dengan bergabungnya Palestina ke lembaga ICC, berarti Palestina memiliki peluang untuk mengadukan dan mengajukan para pimpinan Israel sebagai pelaku tindak kejahatan tehadap kemanusiaan dan kejahatan perang, untuk diberi hukuman.
Langkah itu diambil Palestina menyusul kegagalan Dewan Keamanan (DK) PBB mengesahkan resolusi yang menuntut diakhirinya pendudukan Israel di Palestina pada akhir 2017 mendatang.
ICC sejak 1 Juli 2002, ketika pendiri perjanjian pengadilan Statuta Roma mulai berlaku, dapat menuntut orang yang dituduh melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, yang dilakukan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Jika proses aplikasi berjalan seperti yang direncanakan, Palestina harus mampu merujuk kasus pada awal April, dengan persiapan hukum untuk itu sudah berjalan dengan baik.
Shawan Jabarin, Direktur kelompok HAM yang berbasis di Ramallah, mengatakan Palestina telah memutuskan untuk mengajukan gugatan atas tindakan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza mulai dari 13 Juni tahun 2014. Tanggal tersebut menjadi awal dari penumpasan besar-besaran di Tepi Barat setelah penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel yang menyebabkan perang selama tujuh pekan di Gaza yang menewaskan hampir 2.200 warga Palestina dan 73 warga Israel.
Sidang ICC pernah menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara terhadap mantan pemimpin milisi Kongo Germain Katanga, karena terlibat dalam pembantaian massal tahun 2003 lalu.
Pengadilan ICC waktu itu menyebutkan, Katanga melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, serangan terhadap warga sipil, menghancurkan properti dan penjarahan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Statemen untuk menyeret Israel ke persidangan internasional ICC sebelumnya pernah digagas oleh para pakar hukum internasional seusai serangan Israel ke Jalur Gaza tahun 2009 lalu.
Waktu itu Israel menggunakan bom curah posfor putih yang dalam Hukum Humaniter Internasional tidak boleh digunakan. Senjata itu mengakibatkan orang lainnya cedera dan cacat.
Kendala Besar
Permasalahannya adalah dapatkah ICC yang notabene dikuasi oleh negara-negara besar itu menjatuhkan sanksi kejahatan terhadap Israel?
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sebab, ketika Israel juga melakukan serangan terhadap kapal Marvi Marmara yang mengangkut bahan bantuan sosial bagi korban di Palestina. Lalu, kejadian itu dilaporkan ke persidangan ICC.
ICC pada tanggal 6 November 2012 mengumumkan tidak dapat menuntut Israel atas serangan Israel tahun 2010 terhadap iring-iringan kapal dari Turki menuju Gaza, di mana sembilan aktivis tewas, meskipun ada bukti bahwa insiden tersebut mengarah pada kejahatan perang.
Jaksa Fatou Bensouda waktu itu beralasan, meskipun ada dasar yang memadai untuk mempercayai bahwa kejahatan perang telah dilakukan, tetapi tidak ada gravitasi yang cukup untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh ICC.
Para aktivis pro-Palestina di kapal Mavi Marmara bertujuan untuk mematahkan blokade maritim terhadap Gaza ketika pasukan Israel menyerbu kapal itu, menewaskan delapan warga Turki dan seorang warga Amerika keturunan Turki.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Kendala besar adalah mengingat dalam ketentuan Statuta Roma 1998 disebutkan bahwa Pengadilan Kejahatan Internasional hanya berlaku bagi negara anggota yang meratifikasi statuta Pengadilan Kejahatan Internasional. Sementara Israel dan Amerika Serikat tidak ikut meratifikasi atau menyetujui Statuta Roma ini. Sehingga kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida dan agresi oleh negara tersebut tidak dapat diadili oleh Pengadilan ICC.
Dalam karya penelitian Toriselly Putra, mahasiswa Fakultas Hukum Iniversitas Lampung disebutkan, sebenarnya pada kasus tragedi Gazza, terdapat 4 (empat ) jenis Pelanggaran HAM Berat yang dilaukan pasukan Israel, yakni Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, dan Agresi. Tindakan pengeboman pasukan Israel terhadap penduduk jalur Gaza juga termasuk sebagai kejahatan perang yang diatur pada Statuta Roma.
Namun tuduhan itu ternyata tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Mahkamah ICC, karena Israel tidak menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma 1998.
Kendala lainnya, ternyata mekanisme kerja ICC dalam mengadili tentara Israel dilakukan atas prakarsa DK PBB. Tentu sulit bahkan tidak mungkin memilih jalur prakarsa Kewenangan DK PBB untuk mengadili Israel, karena sudah dapat dipastikan akan dimentahkan oleh hak veto Amerika Serikat, karena dianggap merugikan eksistensi Israel.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Kecuali tentu pada kasus-kasus yang mengutungkan pihak mereka, seperti kasus kejahatan Internasional yang dilakukan oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan resolusi pembentukan Mahkamah Ad-Hoc.
Sebagai contoh yaitu pengadilan kasus kejahatan internasional kasus bekas Yugoslavia dan Rwanda dengan membentuk Pengadilan Ad-Hoc. Melalui Resolusi DK PBB No. 827 tanggal 25 Mei 1993, PBB membentuk The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang bertempat di Den Haag Belanda, bertugas untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia.
Kejahatan perang Bosnia tahun 1992-1995 yang melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing) terhadap muslim Bosnia, sekitar 84 orang yang diadili seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), Nikola Sainovic (Deputi Perdana Menteri Yugoslavia), Dragoljub Ojdanic (Kepala Staf Tentara Yugoslavia), serta pejabat militer dan pihak-pihak yang terkait.
Mereka dituduh melakukan kejahatan terhadap umat manusia dan melanggar hukum dan kebiasaan perang.
Contoh lainnya, Kasus Rwanda, Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania, melalui Resolusi DK PBB No. 955 tanggal 8 November 1994. Tugas dari mahkamah ini adalah meminta pertanggungjawaban para pelaku pembunuhan massal sekitar 800.000 warga Rwanda.
Mahkamah ini mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean Paul Akayesu mantan Walikota Taba serta Clement Kayishema dan Obed Ruzindana, keduanya dituduh telah melakukan pemusnahan massal (genosida).
Pada kasus-kasus tersebut PBB bersikap tegas, tetapi mengapa pada kasus-kasus kejahatan Israel terhadap Palestina tidak? Tentu saja karena Israel selalu mendapat pembelaan dari Amerika Serikat. Sehingga setiap kali resolusi dikeluarkan, setiap kali itu pula selalu diveto atau minimal isi resolusi tidak sekeras pada kasus kejahatan internasional.
Misalnya ada Resolusi DK PBB No.1860 tahun 2009 yang hanya berisi Israel agar menghentikan serangan, tidak mengadili Israel apalagi mengusirnya.
Kekuatan Dunia Islam
Dengan tidak meniadakan upaya-upaya Palestina, antara lain melalui jalur ICC. Namun dengan melihat fakta kejahatan Israel yang dilakukan puluhan, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali semenjak penjajahan tahun 1947 hingga 2015 ini, kemudian tidak bisa diadilinya Israel melalui Pengadilan ICC. Tidak ada lembaga yang mampu mengadili Israel, termasuk PBB sekalipun. Maka harus ada kekuatan di luar PBB yang berani mengimbanginya.
Menurut hemat Penulis, bersatunya negeri-negeri muslim dan seluruh komponen kekuatan dunia Islam merupakan solusi terbaik membangun kekuatan penyeimbang di luar PBB untuk mengakhiri dan menyelesaikan kasus Pelestina.
Kekuatan kesatuan kaum muslimin atau Jama’ah Muslimin, secara terpimpin dalam wujud Khilafah yang mengikuti sistem kenabian (Khilafah ‘Alaa minhaajin nubuwwah), seperti pernah diwujudkan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan masa Khulafahur Rasyidin merupakan solusi terbaik dan terkuat untuk penyelesailan masalah umat Islam, khsusunya pembebasan Palestina.
Persatuan kesatuan umat Islam dalam bingkai Jama’ah Muslimin, yang mengamalkan Khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwah, inilah sebenarnya kekuatan yang ditakuti pasukan Israel. Sehingga mereka terus berupaya agar bagaimana caranya umat Islam itu terus berpecah belah tanpa adanya sentral kepemimpinan umat Islam. (T/P4/R11).
*Ali Farkhan Tsani, Penulis Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Aktivis Aqsa Working Group (AWG), dan Duta Internasiona Al-Quds.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)