Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel sebagai Buffer State AS yang Semakin Terisolasi

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Ilustrasi: Demonstrasi di London, Inggris, untuk mendukung Palestina. (Foto: Quds Press)

SELAMA puluhan tahun, kawasan Timur Tengah menjadi panggung besar pertarungan geopolitik global. Di tengah pusaran konflik, ada satu negara yang sejak awal didesain menjadi ‘buffer state’ (negara penyangga) sekaligus alat kendali kekuatan Barat di kawasan strategis itu, yaitu Israel.

Didirikan pada 1948 di jantung dunia Arab, kehadiran Israel bukanlah peristiwa politik semata, tetapi proyek geopolitik besar yang melibatkan kepentingan ekonomi, militer, dan ideologis Barat, khususnya Amerika Serikat.

Konsep buffer state dalam geopolitik berarti negara yang diposisikan untuk melindungi dan melayani kepentingan kekuatan besar, sekaligus mengendalikan kawasan sekitarnya.
Sejak awal berdirinya, Israel memang difungsikan sebagai pos terdepan Barat di Timur Tengah, wilayah yang sangat kaya minyak, strategis secara militer, dan religius secara simbolik.

Dukungan penuh Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Israel tak pernah lepas dari kalkulasi strategis. Bantuan militer, diplomatik, hingga ekonomi mengalir deras. Israel dijadikan “anak emas” karena menjadi alat pengawasan dan pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan Islam.

Baca Juga: Tabiat Abadi Zionis Israel, Selalu Melanggar Perjanjian

Dengan teknologi pertahanan canggih, jaringan intelijen luas, dan akses langsung terhadap kekuatan militer AS, Israel menjadi buffer state yang menjaga kepentingan geopolitik Barat dari pengaruh ideologi Islam dan perlawanan dunia Arab.

Namun, seiring dengan pergiliran waktu, peta politik global berubah dengan cepat. Dunia tidak lagi sepenuhnya tunduk pada satu kutub kekuatan AS, dan posisi istimewa Israel pun mulai tergeserkan.

Krisis Legitimasi dan Isolasi Global

Agresi brutal pendudukan Zionis Israel terhadap Gaza, tarutama pada 2023-2025 membuka mata dunia. Serangan genosida tanpa henti terhadap warga sipil, rumah sakit, sekolahan, tempat ibadah, hingga ke kamp pengungsi bukan hanya tragedi kemanusiaan. Namun juga genosida yang disiarkan secara langsung ke seluruh dunia.
Berbeda dari dekade-dekade sebelumnya, kini opini publik global tidak lagi mudah dibungkam oleh propaganda media. Dunia melihat dengan mata kepala sendiri penderitaan rakyat Palestina dan narasi lama tentang “hak membela diri” Israel mulai runtuh.

Baca Juga: Ketika Bumi Memanggil Kita Lewat Gelombang Panas

Israel kini menghadapi isolasi moral dan politik di tingkat internasional. Terkini, di forum PBB, mayoritas negara anggota menentang agresi Israel ke Gaza. Sementara AS semakin terlihat sendirian dalam memberi perlindungan diplomatic terhadap Israel.

Pada sidang Majelis Umum PBB terkini, September 2025, sebuah resolusi yang mendukung solusi dua-negara (Israel-Palestine), yang dikenal sebagai New York Declaration, memperoleh hasil pemungutan suara: 142 negara setuju dari 193 negara (86,6%), 10 menolak (6,1%), dan 12 abstain (7,3%).

Sebagian besar negara besar Eropa dan kawasan Arab mendukung resolusi tersebut.

Di dunia perdagangan dan ekonomi, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) kembali menguat, menekan perusahaan global agar memutus hubungan dengan Israel.

Baca Juga: Perdamaian Tidak Akan Terwujud Tanpa Negara Palestina

Suara paling keras dikemukakan Spanyol yang mengesahkan undang-undang larangan total perdagangan senjata dengan Israel. Kebijakan yang disahkan pada 8 Oktober 2025 itu melarang semua bentuk transaksi peralatan pertahanan, termasuk ekspor dan impor produk militer dari Israel.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez menyebut kebijakan negaranya itu sebagai bagian dari upaya Madrid untuk menghentikan konflik yang terjadi di Jalur Gaza.Sanchez menjadi salah satu pemimpin dunia yang paling vokal mengkritik operasi militer Israel di wilayah Palestina selama dua tahun terakhir.

Irlandia pada periode 2025 juga memperkenalkan rencana legislasi untuk melarang perdagangan dengan bisnis Israel yang beroperasi di wilayah pendudukan Palestina.

Slovenia juga mengumumkan larangan lengkap impor, ekspor dan transit senjata ked an dari Israel, sebagai anggota Uni Eropa pertama yang melakukan larangan seperti itu.

Baca Juga: Tahanan Palestina Abu Moussa Pulang, tapi Gaza telah Hancur dan Keluarganya telah Gugur

Beberapa negara Global South juga menyatakan komitmen untuk embargo senjata atau larangan transfer barang dan alat militer ke Israel: misalnya blok 12 negara termasuk Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, Namibia, Libya, dan Bolivia.

Di dunia olahraga, banyak negara menolak bertanding melawan atlet Israel. Termasuk Indonesia yang menolak mengeluarkan visa kepada enam atlet Israel untuk berpartisipasi dalam Kejuaraan Senam Dunia (World Artistic Gymnastics Championships 2025) yang berlangsung di Jakarta 19-25 Oktober 2025.

Di kampus dan lembaga internasional, solidaritas untuk Palestina juga mencapai level tertinggi dalam sejarah modern.

Bahkan aksi demo turun ke jalan tersebut bermula dari kampus-kampus elit di Amerika Serikat, seperti Barnard College, California State University, dan Columbia University.

Baca Juga: Muka Tembok: Netanyahu dan Ambisi di Atas Darah

Di Eropa, aksi mahasiswa pro-Palestina marak di Universiteit van Amsterdam (Belanda), Freie Universität Berlin (Jerman), serta beberapa kampus di Lausanne dan Geneva (Swiss).

Aksi-aksi tersebut bukan hanya unjuk rasa umum mendukung Palestina, tetapi juga mereka menuntut perubahan administratif dan institusi, mulai dari pemutusan kerjasama dengan Israel, divestasi dari industri senjata, dan transparansi investasi kampus.

Isu Palestina telah menjadi bagian dari gerakan global yang lebih luas, menyangkut isu kemanusiaan, keadilan akademik, dan hubungan institusi pendidikan dengan konflik internasional.

Begitulah, Israel yang dahulu menjadi simbol kekuatan kini justru menjadi simbol kezaliman, ditolak di panggung dunia, bahkan oleh generasi muda Barat yang menolak pembiaran terhadap genosida.

Baca Juga: [POPULER MINA] Israel Langgar Gencatan Senjata di Gaza dan Pertukaran Tahanan

Keterpurukan Citra

Israel semakin terisolasi di dunia internasional, walaupun Amerika Serikat telah menggelontorkan bantuan militer miliaran dolar AS. Namun itu semua tidak dapat membendung dukungan moral dan politik dari masyarakat global.

Washington pun menghadapi dilemma, tetap membela Israel berarti kehilangan simpati dunia Islam dan negara-negara Global South. Sementara meninggalkan Israel berarti mengakui kegagalan dan kehilangan proyek geopolitik terbesar di Timur Tengah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa konsep buffer state Israel mulai kehilangan daya efektifnya. Harapan terbesarnya Israel menjadi benteng bagi kepentingan Barat, tetapi Israel justru berubah menjadi beban moral dan politik bagi para sekutunya.

Baca Juga: Taaruf Dunia Konstruksi: Hikmah Robohnya Mushala Pesantren Al Khozini

Kebangkitan solidaritas global terhadap Palestina saat ini terlihat bukan hanya fenomena emosional, tetapi lebih ke arah tanda perubahan kesadaran dunia. Umat Islam di berbagai negara pun semakin sadar bahwa perjuangan membela Al-Aqsha dan Palestina bukan semata isu politik, melainkan bagian dari identitas dan harga diri umat.

Gerakan literasi, aksi damai, hingga advokasi di forum internasional menunjukkan bahwa perjuangan pembebasan Palestina kini menjadi agenda moral dunia.
Di tengah arus perubahan itu, Israel negara yang semula diproyeksikan menjadi pengendali kawasan, kini justru kian terpinggirkan secara moral dan diplomatik.

Penutup

Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bahwa negara yang berdiri di atas kezaliman dan penjajahan tidak akan bertahan lama. Ketika kebenaran menemukan jalannya, kekuatan militer dan propaganda sebesar apa pun tidak mampu menutupi kebohongan.

Baca Juga: Dari Polemik Trans7 Menuju Etika Media yang Beradab

Israel mungkin masih bertahan secara militer, tetapi secara moral dan politik, ia tengah runtuh di hadapan dunia. Proyek buffer state yang dulu menjadi kebanggaan Barat kini berubah menjadi simbol kegagalan moral peradaban modern.

Pada akhirnya, sebagaimana kemenangan akan berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Palestina akan menemukan takdirnya, yakni Merdeka! []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Trans7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren

Rekomendasi untuk Anda