Israel “Usir Diam-Diam” 14.200 Warga Palestina dari Yerusalem Sejak 1967

Warga Palestina di Al-Quds (Yerusalem Timur) selalu berhadapan dengan pasukan polisi pendudukan Israel. (Foto: Hadas Parush/Flash90)

Semakin banyaknya negara Arab yang melakukan normalisasi membuat Israel lebih menekankan langkah “pemindahan diam-diam” terhadap orang Palestina di Timur yang diduduki.

Langkah rumit yang lebih tepat disebut “pengusiran paksa diam-diam” itu dilakukan dengan cara pencabutan izin tempat tinggal, penggusuran melalui pembongkaran rumah, mempersulit dalam memperoleh izin bangunan, dan menerapkan pajak yang tinggi.

Peneliti Palestina Manosur Manasra mencatat, cara-cara seperti itu Israel lancarkan terhadap orang-orang Palestina di Yerusalem Timur segera setelah perang tahun 1967 dan pendudukan di bagian timur Yerusalem.

Cara-cara yang sudah dibakukan dalam bentuk undang-undang tersebut berlanjut hingga hari ini dengan tujuan untuk mendominasi Yerusalem Timur.

Perampasan tanah untuk permukiman Yahudi telah terjadi di sekitar Yerusalem Timur dan di jantung lingkungan Palestina seperti Kota Tua Muslim, Perempat Kristen dan sekitarnya di Sheikh Jarrah, Silwan, Ras al-Amoud dan Abu Tur sejak awal 1968.

Setelah perang Juni 1967, Israel menerapkan hukum Israel terhadap Yerusalem Timur dan memberikan status “penduduk tetap” kepada warga Palestina. Namun pada dasarnya, status itu sangat rapuh.

B’tselem yang merupakan pusat informasi hak asasi manusia Israel di wilayah pendudukan Palestina, menggambarkan bahwa status itu “diberikan kepada warga negara asing yang ingin tinggal di Israel”, kecuali bahwa warga Palestina adalah penduduk asli tanah tersebut.

Warga Palestina di Yerusalem Timur tidak memiliki hak kewarganegaraan Israel otomatis, juga tidak diberi paspor Palestina oleh Otoritas Palestina (PA). Status kewarganegaraan mereka sangat rapuh. Mereka biasanya hanya dapat memperoleh dokumen perjalanan sementara dari Pemerintah Yordania dan Israel.

Dengan memberikan status kependudukan yang rapuh kepada warga Palestina di Yerusalem Timur, Israel telah berhasil mencabut kewarganegaraan dan kemudian mengusir lebih dari 14.200 warga Palestina dari Yerusalem Timur sejak tahun 1967. Tindakan tersebut seiring dengan praktik pembongkaran rumah yang agresif.

Sementara itu di Tepi Barat penghancuran rumah tidak berhenti meskipun ada pandemi virus corona baru (Covid-19).

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, orang Palestina yang mengungsi selama Januari-Agustus 2020 terjadi peningkatan empat kali lipat. Sementara bangunan yang dibongkar atau disita meningkat 55 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di Yerusalem Timur, 24 bangunan dihancurkan bulan lalu, setengahnya dihancurkan oleh pemiliknya sendiri setelah dikeluarkannya perintah pembongkaran oleh pemerintah kota Yerusalem.

Status “tempat tinggal permanen” bisa dipertahankan selama warga Palestina menjaga keberadaan dirinya tetap di kota. Namun, dalam beberapa kasus, otoritas Israel bergerak untuk mencabut status kependudukan warga Palestina di Yerusalem Timur sebagai tindakan retribusi karena mereka adalah pembangkang politik. Pengejaran Israel terhadap aktivis Palestina sangat luas dan tidak pandang bulu dari faksi mana pun.

Kasus terbaru adalah Salah Hammouri yang berusia 35 tahun, seorang pengacara dan aktivis.

Menteri Dalam Negeri Israel Arye Deri mengatakan, Salah adalah anggota Front Palestina untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Israel melarang kelompok itu dan ingin dia keluar dari negara itu.

Buldoser Israel merobohkan rumah warga Palestina. (AP Photo/Emilio Morenatti)

Dalam beberapa kasus, otoritas Israel membatalkan izin tinggal pasangan dari aktivis politik sebagai hukuman. Shadi Mtoor, seorang anggota Fatah dari Yerusalem Timur, saat ini sedang memperjuangkan kasusnya di pengadilan Israel untuk mempertahankan kediaman istrinya di Yerusalem Timur. Sementara dia sendiri berasal dari Tepi Barat.

Pada tahun 2010, Israel mencabut izin tempat tinggal empat anggota senior Hamas di Yerusalem – tiga di antaranya terpilih menjadi anggota Parlemen Palestina pada 2006 dan satu orang menjabat sebagai menteri kabinet – dengan alasan mereka menimbulkan bahaya bagi Israel. Sekarang, tiga dari mereka tinggal di Ramallah dan satu dalam tahanan administratif. Sidang di Pengadilan Tinggi Israel dijadwalkan pada 26 Oktober 2020.

Dalam beberapa kasus, Israel juga tidak mengeluarkan ID residensi untuk anak yang ayahnya berasal dari Yerusalem dan ibunya dari Tepi Barat.

Hukum internasional secara eksplisit mengutuk pemindahan paksa warga sipil.

Hammouri mengatakan, pada akhirnya keputusan mereka tidak ada pilihan kecuali tetap berada di kota itu. (AT/RI-1/P1)

 

Sumber: tulisan Ibrahim Husseini di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)