Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel Yang Semakin Ketakutan Sepanjang 2019

Ali Farkhan Tsani - Senin, 6 Januari 2020 - 18:25 WIB

Senin, 6 Januari 2020 - 18:25 WIB

24 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA

Sebuah penelitian yang diterbitkan surat kabar Israel Haaretz  pada akhir tahun 2019 menunjukkan, mayoritas penduduk permukiman Yahudi di pinggiran Jalur Gaza tidak merasa aman dalam hidupnya.

Sementara itu, di wilayah lainnya, di kota Nablus, Tepi Barat bagian utara, warga Israel ketakutan karena konfrontasi yang semakin intensif antara para pemuda Palestina melawan pasukan pendudukan Israel, di penghujung tahun 2019 itu.

Ratusan pemukim ekstrem Yahudi selalu hidup di bawah perlindungan pasukan Israel.

Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang

Sepasukan tentara Israel pun acapkali dikerahkan di jalan-jalan di kawasan Tepi Barat, mengatasi bakar-bakaran ban para pemuda setempat. Tentara pendudukkan beberapa kali menembakkan bom suara, peluru gas dan logam pada para pemuda yang membalasnya dengan lemparan batu dan bom molotov ke arah mereka.

Pasukan Israel sendiri masih was-was, terkait dengan tewasnya Kepala Keamanan distrik Israel di Yerusalem, dekat Masjid Al-Aqsa, akibat ditikam oleh seseorang. Peristiwa terjadi pada malam Natal, 25 Desember 2019, demikian Times of Israel melaporkan.

Situasi internal diiringi dengan situasi eksternal, berupa kekhawatiran akan keputusan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang akan bisa memberi wewenang pada pengadilan itu untuk melakukan investigasi potensial terhadap kejahatan yang diduga dilakukan Israel di wilayah Palestina.

Media Channel 12 Israel melaporkan, para pejabat Israel sangat khawatir mantan pejabat dan personel militernya akan diinvestigasi dan dituntut di panggung global.

Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina

Maka, pemerintah Israel telah berencana untuk menolak bekerja sama dengan investigasi potensial oleh ICC.

Meurut media itu, dikhawatirkan perwira-perwira tinggi Angkatan Pertahanan Israel (IDF), serta prajurit-prajurit berpangkat rendah, dapat menghadapi surat perintah penangkapan internasional.

Demikian juga Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Kepala IDF dan Kepala Dinas Keamanan Shin Bet selama lima tahun terakhir, semuanya bisa menghadapi bahaya penuntutan.

ICC berurusan dengan penuntutan individu untuk dugaan kejahatan, bukan negara.

Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza

Sementara itu, nasib di ujung tanduk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu semakin mempersulitnya atas dakwaan korupsi.

Al-Wattan Voice melaporkan, Netanyahu menderita dilema terbesar dalam karir politiknya dan yang terbesar dalam sejarah Israel.

Netanyahu sendiri sedang berusaha meminta kekebalan dari parlemen Knesset. Namun sebagian anggota Knesset sudah memberikan pernyataanya akan menolak permintaan itu.

Alasan utamanya, seperti dikatakan koalisi parlemen Joint List , bahwa Netanyahu adalah pejabat yang paling rasis dan provokatif terhadap orang Arab dan Palestina dan dia memperdalam rasisme di Israel.

Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”

Belum lagi potensi kekuatan serangan dari Jalur Gaza, terutama ancaman pesawat tak berawak yang terus bertambah, seiring terus meningkatnya persenjataan dan kemampuan Brigade Al-Qassam.

Ketua Dewan Keamanan Nasional Israel telah ditugaskan untuk memperkuat persenjataan penangkal yang lebih canggih untuk melindungi negara dan rakyat Israel.

Keamaan Israel sudah mendeteksi bahwa Brigade Al-Qassam saat ini memiliki pesawat udara tak berawak di Jalur Gaza yang dapat terbang pada ketinggian 12.000 kaki.

Melemahnya Dukungan Trump  

Baca Juga: Tentara Cadangan Israel Mengaku Lakukan Kejahatan Perang di Gaza

Menghadapi akhir masa jabatan Netanyahu dan awal pemilihan baru yang ketat, para pejabat Amerika Serikat mengatakan, Pemerintahan Presiden AS Donald Trump merasa frustrasi dan kecewa dengan Israel pada umumnya dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada khususnya.

Seperti ditulis Ynet News pada edisi 17 November 2019, sumber-sumber dari Gedung Putih mengatakan, “Orang-orang Amerika berkecil hati dan frustrasi oleh politik Israel dan krisis politik saat ini, yang telah menghalangi AS  melanjutkan rencana perdamaian AS di Timur Tengah yang disebut Kesepakatan Abad Ini.”

Menurut sumber-sumber AS, Trump menjauhkan diri dari Netanyahu, yang sebelumnya telah dibantu, setelah Netanyahu gagal dua kali membentuk kabinet baru pasca pemilu.

“Presiden tidak suka kalah,” kata sumber Gedung Putih kepada Ynet News yang menambahkan bahwa sumbernya melaporkan Trump berbicara tentang Netanyahu secara negatif.

Baca Juga: Jihad Islam Kecam Otoritas Palestina yang Menangkap Para Pejuang di Tepi Barat

Padahal Trump sudah membantu Netanyahu dengan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, mengakui aneksasi Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel dan menyatakan Pengawal Revolusi Iran sebagai organisasi teroris asing.

Suara Liga Arab

Diberitakan oleh Kantor Berita Islam MINA, bahwa para menteri luar negeri negara-negara Arab dan menteri Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) sejak awal Januari 2019, sudah memberikan sinyal permintaan kepada negara-negara Arab dan Negara-negara di seluruh dunia untuk memboikot pendudukan Israel.

“Boikot sistem pendudukan Israel adalah salah satu cara paling efektif dan sah untuk melawan dan mengakhiri pendudukan,” kata para menteri Arab dalam pertemuan di Beirut, Lebanon.

Baca Juga: Israel Larang Renovasi Masjid Al-Aqsa oleh Wakaf Islam

Laporan Quds Press menyebutkan, mereka menyerukan kepada semua negara, lembaga, perusahaan dan individu untuk berkomitmen menghentikan semua bentuk yang berurusan dengan rezim kolonial Israel dan permukimannya yang melanggar hukum internasional.

“Kolonialisme dalam semua manifestasinya di seluruh tanah Palestina yang diduduki sejak 1967, termasuk Yerusalem Timur, bertujuan untuk merusak kedekatan geografisnya dan mencegahnya dari mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk krisis ekonomi dan sosial,” pernyataan para menteri Arab.

Para menteri menekankan perlunya semua negara dan organisasi Arab dan Islam, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta, menyediakan dana yang diperlukan untuk pelaksanaan proyek-proyek yang tercantum dalam Rencana Strategis untuk Pembangunan Sektoral di Yerusalem Timur berkoordinasi dengan Negara Palestina.

Anehnya dalah sejumlah pembesar cendikiawan Yahudi di Amerika Serikat justru ikut bergabung dalam kampanye boikot Israel dan mengingkari eksistensi Israel.

Baca Juga: Israel kembali Serang RS Kamal Adwan, Sejumlah Fasilitas Hancur

Hal tersebut menyebabkan para pejabat tinggi Israel bertanya-tanya bagaimana warga Palestina berhasil menarik universitas-universitas dan para cendikiawan Yahudi AS berada di pihak mereka dalam isu Palestina.

Laporan Israel yang disiarkan oleh stasiun Televisi Israel berbahasa Ibrani, Channel 10 menjelaskan, sejumlah Yahudi mulai mengingkari identitas keyahudian mereka dan para pemuda Yahudi mulai menyembunyikan Kubah (penutup kepala khas Yahudi) dari kepala-kepala mereka.

Profesor Yahuda Ber mengatakan tentang fenomena ini, bahwa kini masa keemaasan Yahudi di Amerika Serikat telah selesai serta kampus dan para akademisi telah menjadi penantang Israel serta berbalik mendukung Palestina.

Pendirian Palestina

Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024  

Tahun 2019 semakin mempersempit ruang gerak Israel, ketika Presiden Palestina berani menolak ‘Kesepakatan Abad Ini’ yang diusulkan AS pada Juli 2019.

Presiden Mahmoud Abbas menegaskan komitmennya untuk menentang ‘Kesepakatan Abad Ini,’ yang digagas AS untuk mewujudkan perdamaian Israel-Palestina.

Abbas juga menyatakan, Palestina tidak menerima Lokakarya Manama yang diselenggarakan di bawah perlindungan AS, di Bahrain pada Juli 2019.

Abbas juga menyinggung soal hasil pajak Palestina yang ditahan pihak Israel. Dikatakan Abbas, jika Israel tidak membayarkannya secara penuh maka pemimpin Palestina tidak akan menerimanya.

Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel

Abbas pun kemudian mengutuk penggalian yang dilakukan Israel belum lama ini di Kota Yerusalem.  Baginya, itu adalah masalah serius.

“Kita tidak boleh membiarkan Israel terus mengutak-atik ibu kota abadi Palestina,” tegasnya.

Suara PBB

Walau kerap dibatalkan oleh veto AS, paling tidak resolusi PBB di tahun 2019 semakin memperkuat perjuangan Palestina dan menyudutkan Israel.

Seperti hasil sidang Dewan Hak Asasi Manusia (UNHRC) pada Maret 2019 yang mengesahkan rancangan resolusi memperkuat kehadiran PBB di Wilayah Palestina.

Langkah Dewan HAM tersebut meminta Komisaris Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Manusia untuk memperkuat kehadiran di lapangan Kantor Komisaris Tinggi di Wilayah Palestina yang Diduduki, terutama di Jalur Gaza, yang diduduki.

Dewan HAM itu juga meminta penggelaran personel dan keahlian yang diperlukan untuk memantau dan mendokumentasikan pelanggaran yang berlangsung terhadap hukum internasional di tanah pendudukan.

Dewan tersebut juga mengutuk semua pelanggaran hukum hak asasi manusia dan hukum kemanusian internasional dan menyampaikan keprihatinan sehubungan dengan pengrusakan dan penderitaan warga di Palestina, termasuk Al Quds (Jerusalem) Timur.

Peristiwa-peristiwa besar sepanjang 2019 menjadi pertanda kekhawatiran dan ketakukan yang menjadi bagi pihak Israel. Serta menjadi pemicu semangat perjuangan terus-menerus bangsa Palestina untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatannya. Semoga. Aamiin. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda