Oleh Drs M Natsir Zubaidi, Ketua Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI)
Jalan dakwah adalah “Amar ma’ruf nahi munkar”. Adapun Da’wah itu sendiri pada hakekatnya adalah proses dinamis (yang terprogram dan terukur) melalui ajakan, seruan, menyampaikan kabar gembira (bashiran) sekaligus peringatan (nadhiran).
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bertukar pikiranlah (dialog) dengan cara yang lebih baik…. ” (QS. An-Nahl: 125).
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Karenanya muatan atau materi dakwah tidak boleh lepas dari prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak menyelisihinya.
Agama Islam memiliki prinsip-prinsip ajaran, antara lain: Aqidah, Akhlaq, Ibadah, Syari’ah dan Muamalah.
Ada beberapa ayat yang menegaskan wajibnya dakwah dilakukan oleh umat Islam.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imron : 104)
Persaudaraan yang terjalin antar umat Islam disebut dengan ukhuwah. Kata ukhuwah sering digandengkan dengan kata Islamiyah, sehingga memunculkan istilah ukhuwah Islamiyah. Ini berkesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin sesama muslim” atau dengan kata lain “persaudaraan antar sesama muslim”.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujarat: 10)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Peran Masjid dalam Konteks Da’wah dan Ukhuwah Islamiyah
Masjid adalah Institusi pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW, ketika beliau dan para sahabat tiba dalam hijrahnya ke Madinah. Kita semua memahami bahwa Masjid sejak zaman Rasulullah, sudah berfungsi “multi dimensional”, di samping sebagai tempat Ibadah Mahdhoh (shalat, dzikir dan i’tikaf), juga berfungsi untuk Taklim, pendidikan, pembinaan ahlak, Ukhuwah Islamiyah dan tempat untuk beramal kebajikan dalam arti luas (muamalat).
Bagi masyarakat Indonesia, Masjid memiliki kedudukan yang sangat sentral, sebagai pusat informasi dan komunikasi, pusat pendidikan, forum ukhuwah, saling menjalin silaturahim.
Masjid di Indonesia sejak pertumbuhan dan perkembangan memiliki komponen, antara lain:
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
- Adanya Imam, khatib, Dai.
- Pengurus Masjid, Takmir, pengurus harian/pengelola beserta staf, muadzin, marbot.
- Jamaah tetap dan jamaah yang tidak tetap.
Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, patut kita apresiasi atas keberhasilannya mengembangkan diri, dalam hal ini berhasil mengembangkan “Pendidikan berbasis Masjid”: Membangun banyak sekolah dari tingkat paling dasar, yaitu Sekolah TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi), dengan jejaring yang solid, sehingga di kota manapun sekolah Al-Azhar itu didirikan dan dikembangkan, seluruhnya termonitor dengan baik disamping kualitas pendidikannya terjaga.
Dewan Da’wah sebagai Institusi da’wah, disamping memiliki pengurus pusat dan perwakilan, juga memiliki sarana dakwah atau fasilitas pendukung dakwah, seperti STID M Natsir, LAZNAS, Pelayanan Haji dan Umroh, Badan Wakaf, Percetakan, dan lain-lain.
Fasilitas pendukung dakwah di Dewan Da’wah daerah juga berkembang, meski sebagian besarnya baru sampai tahap merintis. Lebih dari sekedar perlu di apresiasi – tentunya berbagai fasilitas pendukung dakwah ini memiliki urgensi untuk ditingkatkan kualitas maupun pengaruh dan kemanfaatannya dalam konteks meluaskan Ukhuwah Islamiyah.
Dalam konteks dakwah dan ukhuwah di lembaga yang serumpun sebagaimana dikembangkan Dewan Da’wah, beberapa fasilitas pendukung dakwah/sarana dakwah yang cukup potensial telah dimiliki oleh Dewan Da’wah. Di tingkat provinsi, ada IKMI, Universitas Islam Riau (UIR) yang dikembangkan oleh DD Provinsi Riau.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Ada Rumah Sakit Islam dan Universitas Mohammad Natsir yang dikembangkan DD Sumatera Barat. Sedangkan model Lembaga Serumpun yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, ada UIKA, Rumah Sakit Islam, BKSPPI yang dikembangkan DD Bogor.
Masih banyak lagi daripada yang diungkap dalam paper ini. Namun dalam konteks pengembangan “dakwah dan pendidikan” yang dikembangkan oleh Pengurus Dewan Dakwah periode 2020-2025, tampaknya belum dilengkapi dengan “masterplan” yang tajam dan trasnparan atas pengembangan sarana dakwah/fasilitas pendukung dakwah ini.
Jika “masterplan” pengembangan sarana dakwah ini diterima sebagai usulan, maka sudah saatnya kita memiliki “Masterplan Sarana Dakwah Dewan Da’wah Pusat dan Daerah” yang terbukukan secara jelas dan lengkap masing-masing rencana pengembangan dan target-targetnya.
Hal ini akan sangat berguna, baik sebagai pedoman maupun untuk menandai setiap keberhasilan pengembangannya. Lebih utama tentu tidak terlepas dari Masterplan “Masjid – Pesantren – Kampus”. Bukankah kita memiliki Bidang MPK (Masjid-Pesantren-Kampus), namun belum terkomunikasikan rencana pengembangannya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Ukhuwah Islamiyah dalam konteks dakwah, tentu berlandaskan iman dan taqwa (Imtaq), saling mempercayai, jujur dan amanah. Ukhuwah pada hakekatnya upaya menjalin hubungan, kerjasama, baik internal maupun eksternal, baik di dalam maupun luar negeri (Antar bangsa).
Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah dan ukhuwah Insaniyah harus kita kembangkan secara bertahap dan serius dimulai dari internal Dewan Da’wah dulu, yang kemudian kerjasama itu dikembangkan dengan sesama ormas/Lembaga Islam lainnya.
Da’wah dalam konteks “ukhuwah” hubungan antara manusia dan antar bangsa, bisa kaji dari QS. Al-Hujurat: 13 (melalui sebuah proses bertahap ), dari laki-laki dan perempuan (menjadi suami istri, keluarga), masyarakat, suku, bangsa dan Negara. Tetapi ciri pribadi, keluarga, suku bangsa yang unggul di sisi Allah SWT adalah manusia yang bertaqwa.
Namun pada hakikatnya “pribadi atau kelompok ” yang mendapatkan lisensi untuk sebagai pengemban Da’wah Ilallah adalah mereka memiliki ciri “khaira ummah” ( manusia unggul), baik Ruhiyah, Fikriyah, maupun amaliyah. Karena itu setiap pengemban Risalah Da’wah harus mampu melakukan “Silatur Ruh, Silatur Al Fikr dan Silatur ‘amal”.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Kampus dan Cendekiawan
Sebelum lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), pada 7 Desember 1990, maka Mohammad Natsir, sudah menyampaikan bahwa “Cendekiawan yang bernafaskan Islam dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ulul Albab”, yakni mereka yang memiliki akal, daya fikir, daya tanggap yang peka, daya banding yang tajam, daya analisa yang tepat dan daya cipta yang orisinil, semua itu dalam rangka bertaqwa kepada Allah SWT.
Belasan ayat Al-Qur’an yang mendorong daya observasi ulul Albab, supaya memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya, baik lingkungan yang dekat, sampai yang jauh ke ruang angkasa. Untuk mensyukuri segala nikmat Ilahi, baik yang di atas dan di bumi yang terhampar, penuh berisikan sumber rizki.
Menanggapi langit yang melengkung dihiasi oleh matahari, bulan dan bintang. menanggapi pertukaran malam dan siang, meneliti kejadian bumi dan langit. Yang semua itu dinamakan “tanda kebesaran Ilahi untuk Ulul albab”.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti nya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang ulul albab, (yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, sedang duduk dan berbaring, dan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi, (sambil berkata) “Wahai Tuhan kami, Engkau tidak jadikan itu semua dengan sia-sia . Maha suci Engkau. Maka lindungilah kami dari azab neraka” (QS. Ali-Imran: 190-191).
Menurut Mohammad Natsir, salah salah ciri dari seorang Cendekiawan Muslim (ulul albab) adalah “Keterbukaannya”: Kesediaan untuk mendengarkan segala macam faham dan pendapat orang lain dengan tenang. Tidak lekas lekas naik pitam bila terdengar sesuatu yang tidak setuju.
Sesudah itu dianalisanya, mana yang beras mana yang gabah, dan diambilnya mana yang terbaik dari apa yang ditanggapinya itu. Seorang Ulul albab harus menyadari bahwa dunia ini tidak untuk dikuncinya oleh golongan mereka sendiri. Mereka itu hidup dalam masyarakat yang majemuk. Majemuk dalam keinginan cita cita dan pandangan hidup.
Seorang “Ulul albab” tidak pernah “uzlah”: Tidak mengisolir diri dari masyarakat yang pluralistik, dimana bersimpangsiur bermacam ide dan faham. Mereka berpegang nilai- nilai Ilahi, sebagai tata cara hidupnya, dengan konsekuen. Mereka pelihara identitas agar jangan terbawa arus. Ditengah tengah lingkungan yang serba-corak mereka berlomba lomba dalam menegakkan kebajikan, untuk kesejahteraan makhluk sekitarnya tanpa diskriminasi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Karena itu janganlah kamu masuk golongan yang ragu ragu. Dan bagi tiap tiap seseorang ada jurusan yg dituju, maka berlomba- lombalah kamu dalam menegakkan kebajikan”. (QS. Al Baqarah: 147-148).
Mohammad Natsir sangat memahami dan sadar betul bahwa seorang Ulul Albab, Cendekiawan Muslim atau sarjana itu berasal dari universitas (perguruan tinggi), sebagai pusat pendidikan. Oleh sebab itu, beliau juga mengingatkan agar universitas atau kampus tidak lagi berperan sebagai apa yang disebut semata-mata “Still center of learning“, satu markas yang hening, sepi dan tenang untuk memupuk “ilmu pengetahuan” semata.
Demikian pula para Cendekiawan yang dihasilkan dari universitas, tidak boleh hanya duduk di singgasana “menara gading” (ivory of tower), dengan tidak mempedulikan apa yang nampak di sekitarnya, karena sudah keasyikan mengembangkan Ilmu pengetahuan. Padahal dari tempatnya yang tinggi itu, dia dapat melihat lebih dahulu daripada melihat dari orang lain, tentang apa yang akan datang.
Dari situ pula seorang cendekiawan Muslim, menurut Mohammad Natsir, bisa melihat awan mendung, sebagai tanda akan hujan, dan segera memperingatkan orang agar sedia payung atau akan terjadi banjir sehingga masyarakat bisa siap siap untuk menghindar dari musibah.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Tetapi kalau sang Ulub albab, saat itu hanya diam, maka hal tersebut adalah sebuah kelalaian. Maka kelalaian oleh seorang Cendekiawan sendiri disebut sebagai “pengkhianatan intektual” (treason of Intellectuals). Bahwa kedudukan yang lebih tinggi itu membawakan kewajiban dan tanggungjawab yang lebih besar. “Noblesse oblige” kata pepatah Perancis.
(Dipetik dari Ceramah bapak M. Natsir, pada acara Wisuda Angkatan Pertama Pesantren Ulil Albab, UIKA, Bogor, 14 Juni 1989).
Demikianlah paper ini – dengan menyajikan spektrum yang luas – semoga dapat menjadi pengantar Rapat BP Pembina terkait bahasan “Istiqomah Dalam Da’wah dengan Memperkuat Ukhuwwah Islamiyah”.[]
Mi’raj News Agency (MINA)