Jakarta, MINA – Dugaan penggunaan minyak berbasis lemak babi dalam proses produksi nampan impor asal Tiongkok untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memantik keprihatinan publik. Indonesia Halal Watch (IHW) menegaskan, masalah bukan terletak pada bahan utama nampan, melainkan tahapan akhir produksinya yang melibatkan minyak babi.
Founder IHW, Ikhsan Abdullah, temuan tersebut menjadi alarm penting bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk segera menegakkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). “UU itu jelas mengatur bahwa semua produk yang beredar wajib bersertifikat halal, tidak terkecuali produk food grade,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/9).
Ikhsan menyebut praktik tersebut kerap digunakan agar nampan stainless steel tidak mudah berkarat dan tidak saling bergesekan. “Sebenarnya bukan food grade atau nampannya yang mengandung babi, tapi proses akhirnya yang menggunakan minyak babi. Minyak itu paling efektif dan murah, itu hasil temuannya,” katanya.
Ikhsan juga mempertanyakan alasan pemerintah memilih impor nampan dari Tiongkok, padahal industri dalam negeri dinilai mampu memproduksi produk sejenis. “Kenapa tidak menggunakan produk yang diproduksi masyarakat kita sendiri? Wong bikin kapal saja bisa, masa bikin ompreng mesti beli dari China,” ujarnya.
Baca Juga: Menkomdigi Apresiasi Kongres Persatuan PWI, Dorong Rekonsiliasi dan Profesionalisme Jurnalisme
Lebih jauh, ia menekankan bahwa jika diproduksi di dalam negeri, bukan hanya standar halal yang lebih mudah diawasi, tetapi juga memberi dampak ekonomi berantai. “Dengan memproduksi ompreng di sini, tenaga kerja terserap, orang memperoleh nafkah, bisa membeli beras, petani juga hidup. Ada multiplier effect yang justru tidak diperhitungkan. Kita terlalu terburu-buru,” tambahnya.
Sebelumnya, Indonesia Business Post (IBP) merilis hasil investigasi di kawasan industri Chaoshan, Provinsi Guangdong, Tiongkok, yang menjadi salah satu pusat produksi nampan untuk pasar global. Laporan tersebut mengungkap dugaan praktik pemalsuan label “Made in Indonesia” dan logo SNI di 30–40 pabrik, serta penggunaan stainless steel tipe 201 yang dinilai tidak aman untuk makanan asam karena kandungan mangan tinggi. Investigasi itu juga menyoroti indikasi penggunaan lard atau minyak babi dalam proses produksi.
Kasus nampan MBG tersebut kian menegaskan urgensi sertifikasi halal kemasan pangan, tidak hanya demi kepatuhan regulasi, tetapi juga sebagai jaminan perlindungan konsumen.[]
Baca Juga: Kemensos Siapkan Santunan Rp15 Juta untuk Korban Unjuk Rasa
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sempat Ditunda Karena Situasi Dalam Negeri, Presiden Prabowo Bertolak ke China