Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Izzuddin Al-Qassam Ulama Pelopor Perlawanan Bersenjata Palestina

Ali Farkhan Tsani Editor : Rudi Hendrik - Jumat, 9 Agustus 2024 - 16:09 WIB

Jumat, 9 Agustus 2024 - 16:09 WIB

27 Views

Izzuddin Al-Qassam (Al-Araby)

Brigade Izzuddin Al-Qassam, mendengar namanya, pasti tentara Zionis Israel sudah takut dan gemetar duluan.

Memang ini terbukti di lapangan, dalam aksi baku tembak perang darat di Jalur Gaza, sudah ratusan, bahkan mungkin ribuan tentara Zionis tewas di tangan pasukan berani mati Izzuddin Al-Qassam.

Peralatan pendukung perang pun dihajar habis oleh pasukan khusus dengan penutup muka hitam ini. Yang terlihat hanya sorot matanya yang tajam.

Tank-tank tercangih Markava, jeep-jeep militer, dirampasnya, senjata api yang menyalak, roket-roket yang meluncur, hingga rontoknya pesawat tempur canggih F-16 buata AS, dan lainnya. Merupakan hasil kerja cepat pasukan yang diketahui di mana keberadaannya. Mereka muncul tiba-tiba, setelah “dor…! bomb….!”, lalu menghilang seketika.

Baca Juga: Buya Hamka, Ulama Produktif Penulis Lebih dari 100 Buku

Lalu, siapa dan profil seperti apakah hingga Izzuddin Al-Qassam dijadikan sebagai nama pasukan pejuang perlawanan Palestina ini?

Berikut profil singkat Izzuddin Al-Qassam, ulama dan sekaligus pejuang perlawanan Palestina.

Belajar di Al-Azhar Kairo

Izzuddin Al-Qassam dilahirkan di Jabalah, Suriah, 19 November 1882. Nama lengkapnya Muhammad Izzuddin bin Abdul Qadir bin Musthafa bin Yusuf bin Muhammad Al-Qassam.

Baca Juga: Teuku Muhammad Hasan, Pejuang Kemerdekaan Asal Aceh

Dari sisi bahasa, Izzuddin artinya kemuliaan, kebanggaan atau harga diri agama (Islam). Sedangkan Al-Qasam mempunyai makna keseriusan, sumpah, orang yang mengikat sumpah. Izzuddin Al-Qassam dapat diartikan sebagai orang yang bersumpah untuk menjaga kemuliaan Islam.

Izzuddin Al-Qassam kecil tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang taat dan berpegang teguh terhadap ajaran Islam dan sunnah.

Ayahnya, Abdul Qadir, seorang pejabat di pengadilan Syari’ah pada masa kesultanan Turki Utsmaniyah. Ia dikenal sebagai pendidik yang secara khusus menyediakan salah satu pojok rumahnya sebagai tempat belajar Islam bagi anak-anak tetangga sekitarnya.

Pada masa mudanya, saat berumur sekitar 14 tahun, ayahnya mengirimkan Izzuddin ke negeri tetangga, Mesir untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo.

Baca Juga: Jejak Dakwah Ustaz Wahyudi KS, Merajut Ukhuwah Menyatukan Umat

Waktu itu, belajar di Al-Azhar Mesir masih berbentuk talaqqi’ di masjid, yakni belajar ilmu agama Islam secara langsung kepada guru yang mempunyai keilmuan Islam.

Izzuddin muda banyak menimba ilmu dari beberapa ulama berpengaruh pada masanya. Antara lain, ia banyak menimba ilmu dan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad ‘Abduh dan Syaikh Abdurrahman Al-Kawakibi.

Syaikh Jamaluddin Al-Afghani merupakan aktivis Islam kelahiran provinsi Kunar, Afghanistan, yang pernah berkeliling menyampaikan dakwahnya mulai dari negerinya Afghanistan, Iran, Mesir hingga ke Indonesia.

Al-Afghani, salah satu pencetus pan-Islamisme, merupakan pribadi yang gigih memperjuangkan kaum Muslimin dari dominasi politik dan penjajahan Barat.

Baca Juga: Cut Nyak Dien, Ibu Perbu Orang Sumedang

Guru lainnya, Syaikh Muhammad ‘Abduh, ulama Mesir, salah seorang penggagas modernisasi pemikiran umat Islam. ‘Abduh adalah murid Jamaluddin Al-Afghani. Pemikiran Muhammad ‘Abduh banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya adalah lahirnya Muhammadiyah di Indonesia.

Adapun Syaikh Abdurrahman Al-Kawakibi, yang juga guru Izzuddin adalah aktivis penulis asal Suriah. Tulisan-tulisannya terus menjadi relevan dengan isu-isu identitas Islam dan Pan-Arabisme.

Belajar dari para guru berpengaruh, menjadikan Izzuddin muda memiliki karakter yang senantiasa berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, mengkritisi terhadap kedzaliman penguasa, kesenjangan sosial, keterbelakangan ilmu pengetahuan, kemerosotan akhlak serta cengkraman barat terhadap kaum muslimin.

Izzuddin muda juga tertarik dan bergabung dengan madrasah jihad yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.

Baca Juga: Sa’ad bin Rabi, Inspirasi Persaudaraan dan Solidaritas Muslim

Syaikh Rasyid Ridha, adalah seorang intelektual Muslim Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme umat Islam, melanjutkan  gagasan Syaikh Al-Afghani dan Syaikh Muhammad ‘Abduh.

Di madrasah ini Izzuddin dan rekan-rekannya memantau dan menjalin hubungan dengan pergerakan jihad yang ada di negeri Muslim lainnya.

Demikianlah proses tarbiyah yang dijalani oleh pemuda Izzuddin selama di Mesir yang memberikan pengaruh bagi perjuangannya selanjutnya.

Menjadi Ulama di Haifa

Baca Juga: Dua Emas Olimpiade 2024 Persembahan Pemuda Muslim Pontianak dan Serang

Setelah menamatkan pendidikannya ia kembali ke negerinya dan menjadi salah seorang ustadz di Masjid Sultan Ibrahim, Suriah.

Ketika penjajah Perancis mulai memasuki Suriah pada tahun 1918 dan menduduki perkampungan nelayan setempat. Izzudin muda tidak tinggal diam. Ia menyerukan revolusi melawan Perancis, dan mengajak masyarakat agar bergabung. Bahkan untuk mendanai perang jihad yang dikobarkannya, ia rela menjual rumahnya, dan uang dari hasil penjualannya dibelikan senjata.

Kegigihannya mengerahkan massa untuk melawan penjajah, membuat Perancis gerah dengan sepak terjangnya. Melihat kemampuan dan pengaruh jiwa mudanya, Militer Perancis berusaha membelinya dengan cara mengangkatnya sebagai hakim. Namun, ia menolaknya, hingga akhirnya ia dijatuhi vonis hukuman mati oleh Perancis.

Ketika cengkraman Perancis dirasakan semakin kuat, sebagian besar mujahidin keluar Suriah untuk menggalang kekuatan dari luar. Izzuddin pun bersama beberapa orang keluarga dan sahabatnya menyingkir ke Beirut, Lebanon. Ia pergi bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya dari tokoh kelompok jihad, seperti Muhammad Hanafi, dan Syaikh Ali Al-Haj Ubaid.

Baca Juga: Tukul Sunarto, “Mendidik  dengan Ikhlas Jembatan Menuju Surga”

Dari Lebanon, mereka melanjutkan perjalanan ke Haifa, salah satu kota pelabuhan di Palestina pada penghujung tahun 1920.

Jiwa dakwah yang tertanam sangat kuat dalam jiwanya membuat Izzuddin cepat dikenal dan disenangi masyarakat Islam Haifa. Bahkan ia diangkat menjadi khatib resmi Masjid Al-Istiqlal Haifa, Palestina.

Selanjutnya, ia terpilih menjadi pemimpin Pergerakan Pemuda Muslim Haifa. Ia berhasil membuka beberapa cabang dan langsung memantau perkembangan dan senantiasa memberikan tausiyah serta pengarahan-pengarahan. Kebiasaan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat sekeliling di kampungnya diterapkan juga di Haifa, Palestina.

Hingga tahun 1935, ia tinggal di Haifa, dan dikenal sebagai seorang ulama Islam, seorang mursyid (pendidik), dan pemimpin komunitas generasi muda Muslim di kota Haifa.

Baca Juga: Yahya Al-Sinwar, Pejuang Tempur yang Ditakuti Israel dan AS

Di hadapan masyarakat Haifa, ia adalah syaikh, ulama yang dikenal baik perilakunya, ketakwaannya, kejujurannya dan pengorbanannya.

Hingga ke bagian utara Palestina, ia dikenal sebagai seorang imam, khatib yang mahir, dan penghulu nikah.

Pada usianya yang ke-53, November 1935, Izzuddin Al-Qassam mulai bergelut dengan ilmu-ilmu tentang jihad di jalan Allah.

Perjuangan Palestina

Baca Juga: Kisah Inspiratif Mas’ud, Dari Musibah Menjadi Berkah

Selama hampir 15 tahun bergaul dengan masyarakat muslim Haifa, Izzuddin Al-Qassam mempersiapkan mereka untuk mengobarkan revolusi melawan pendudukan Inggris, yang bercokol di bumi Palestina atas nama mandat usai Perang Dunia I, sejak 25 April 1920.

Ia meletakkan target utama perjuangannya di Palestina, yaitu: membebaskan bumi Palestina dari pendudukan Inggris yang dicap sebagai musuh nomor satu umat Islam, disebabkan janjinya kepada orang-orang Yahudi untuk mendirikan Israel Raya di bumi Palestina dan memberikan izin masuknya puluhan ribu orang Yahudi ke Palestina.

Secarik kertas Deklarasi Balfour tanggal 2 November 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Inggris kala itu, menjadi awal mula pendirian ‘rumah nasional’ bagi orang-orang Yahudi di Palestina.

Syi’ar yang dikumandangkan bersama para pejuang di Haifa, Palestina adalah, “Inilah jihad, menang atau mati syahid”.

Baca Juga: Delapan Tokoh Syuhada Palestina yang Dibunuh Israel

Izzuddin Al-Qassam melancarkan pergerakan bawah tanah dan rahasia yang tak terendus oleh musuh, dan hanya diketahui oleh sahabat-sahabat dan para mujahid yang membantunya. Namun akhirnya, aktivitas pergerakannya tercium juga oleh pasukan Inggris dan Zionis.

Syahid di Jalan Allah

Izzuddin Al-Qassam mengambil ancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dengan melatih para petani dan masyarakat untuk memegang senjata di dataran tinggi Jenin, daerah pertanian di Tepi Barat kawasan Palestina.

Pasukan Inggris dan Zionis membuat makar dengan memperalat tentara Arab, Palestina, untuk ikut bergabung dengan pasukan Inggris menghadapi para pejuang Palestina.

Sebenarnya, Izzuddin Al-Qassam bersama para sahabatnya bisa saja meloloskan diri, namun pantang baginya melarikan diri dari medan pertempuran. Pada waktu itu, pasukan pejuang Palestina berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk mengadakan perlawanan. Saat itu, Al-Qassam dan pasukannya berada di dataran rendah sedangkan musuh berada di balik perbukitan.

Inggris secara licik berhasil memperalat Badan Keamanan Arab Palestina untuk melancarkan aksinya membungkam perlawanan Izzuddin Al-Qassam dengan meletakkan mereka di barisan pertama.

Siasat licik ini dijalankan setelah sebelumnya Inggris menuduh Izzuddin Al-Qassam dan lainnya adalah perampok yang selalu membajak pedagang Arab Palestina yang sering melewati kawasan tersebut.

Sebelum perlawanan dimulai, Izzuddin Al-Qassam mengumumkan agar jangan melukai pasukan Arab, karena mereka tidaklah tahu apa-apa.

Sebelum penyerangan dimulai, salah seorang polisi Arab Palestina menyerukan agar kelompok perlawanan Izzuddin Al-Qassam agar menyerahkan diri. Namun al-Qassam dengan tegas menolaknya, seraya mengatakan: “Kami tidak akan menyerah, karena kami berada dalam posisi berjihad di jalan Allah.”

Lalu ia memalingkan wajahnya kepada para sahabatnya dan berkata, “Mati syahid di jalan Allah adalah jauh lebih baik daripada menyerah kepada kekafiran dan para perusak”.

Pertempuran berlangsung singkat. Selama kurang lebih dua jam peluru dimuntahkan bagaikan air hujan. Belum lagi deru mesin pesawat terbang Inggris yang terbang rendah.

Pada akhir pertempuran, pasukan Inggris menemukan tubuh Syaikh Izzuddin al-Qassam telah gugur sebagai syahid, tanggal 20 November 1935, dalam usia 53 tahun.

Di balik bajunya dijumpai Al-Qur’an, uang senilai 14 junaih, dan sebuah pistol besar.

Jasadnya pun kemudian dimakamkan di kampung tempat beliau berkhidmat, di dekat Haifa, Palestina. Adapun tempat tertembaknya Al-Qassam di Jenin, kemudian disebut dengan Jenin al-Qassam.

Dampak Perlawanan Bersenjata

Melalui kesaksian Syaikh Namr, para wartawan Arab mengutip kebenaran yang tersembunyi di dalam kelompok komandan Izzuddin Al-Qassam. Hal itu merupakan bukti bahwa penyerangan bersenjata Al-Qassam ini ditetapkan sebagai awal dari revolusi perlawanan bersenjata.

Al-Qassam dikenal luas sebagai pejuang yang semasa hidupnya mencurahkan segenap tenaganya untuk merangkul kalangan pekerja dan para petani, karena mereka adalah kelompok yang paling banyak dan siap berkorban dalam perjuangan di jalan Allah melawan pendudukan.

Para pejuang Palestina selanjutnya pun menjadikan revolusi yang diawali oleh Syaikh Izzuddin Al-Qassam sebagai revolusi bagi seluruh pemuda Palestina dalam melawan pendudukan Inggris dan Zionis yang ikut di belakangnya.

Kelompok pejuang pun bermunculan, membentuk jaringan rahasia berbentuk halaqah-halaqah. Setiap lima orang dipimpin oleh seorang penanggung jawab. Setiap kelompok itu juga memiliki mekanisme dan aturan main yang khas, dan seterusnya.

Melalui sahabat-sahabat pelanjutnya, didengungkanlah kembali khutbah-khutbah Izzuddin Al-Qassam semasa hidupnya. Seolah-olah Izzuddin Al-Qassam hidup kembali di tengah-tengah mereka.

Di antara khutbah yang terus disebarluaskan antara lain adalah, “Wahai penduduk Haifa…! Wahai kaum Muslimin…!  Apakah kalian tidak mengetahui Fuad Hijazi? Bukankah Fuad Hijazi, Atha’ Az-Zair dan Muhammad Al-Jamjum adalah saudara kalian? Bukankah mereka duduk bersama kalian ketika belajar di Masjid Istiqlal? Sekarang mereka semua berada di pintu-pintu tempat penggantungan, mereka dihukum oleh orang–orang Inggris dengan vonis hukuman mati, digantung untuk kepentingan orang Zionis Yahudi”.

“Wahai orang-orang yang beriman, di mana gerangan keberanian kalian? Di mana keimanan kalian?”

”Sesungguhnya pasukan salib Barat, yaitu Inggris dan Zionis Yahudi perusak, hendak menyembelih kalian semua, ingin menghancurkan kalian.”

Wahai kaum Muslim, …hingga mereka menjajah negeri kalian, dari Eufrat (sungai di Irak) sampai ke sungai Nil, dan mereka hendak merampas Al-Quds Al-Aqsha… dan mereka benar-benar telah merampasnya“.

Kalimat-kalimat revolusi perjuangan al-Qassam itu memiliki peranan yang sangat besar, karena merupakan upaya pertama orang-orang Arab Palestina untuk menentang penyusupan kaum Zionis Yahudi ke Palestina melalui kekuatan bersenjata Inggris.

Brigade Izzuddin Al-Qassam

Oleh para tokoh pergerakan Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (HAMAS), seperti Syekh Ahmad Yassin, Dr Ibrahim al-Muqadama, Syekh Shalah Syahadah, dan para pionir Hamas lainnya, nama Izzuddin Al-Qassam pun dipilih sebagai nama sayap militer mereka “Brigade Izzuddin Al-Qassam”.

Harapannya adalah agar brigade ini bisa terus bertekad untuk membela Islam dan kaum Muslimin di tanah Palestina, untuk membebaskan Al-Aqsha dan perjuangan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Zionis Israel.

Brigade Al-Qassam merumuskan setidaknya tiga langkah perjuangannya, yaitu menumbuhkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di Palestina dan dunia Arab, mempertahankan setiap jengkal tanah kaum Muslimin Palestina dari pendudukan dan agresi Zionis, dan membebaskan tanah Palestina.

Brigade ini, kerap melakukan aksinya dengan penutup wajah berwarna hitam dan ikat kepala hijau bertuliskan “Kataaib al-Qassam  (Brigade al-Qassam) dan kalimat tauhid “Laa ilaaha illallaah” (Tidak ada Tuhan selain Allah).

Topeng wajah sebagai ciri utama digunakan untuk menghindari incaran dari luar intelijen Zionis Israel, dan menghindari penyakit dari dalam diri berupa sifat riya, dipuji dan bangga diri jika diketahui wajahnya.

Selanjutnya, nama Al-Qassam juga digunakan menjadi nama salah satu roket yang ditakuti pasukan Zionis Israel, yakni roket Al-Qassam. Roket Al-Qassam sudah banyak memakan korban tewas dan terluka pasukan Zionis Israel. Termasuk dalam Operasi Badai Al-Aqsa sejak 7 Oktober 2023.

Itulah sosok Ulama yang sekaligus Pejuang, Syaikh Izzuddin Al-Qassam. Walaupun fisiknya sudah meninggal dan tiada, namun semangatnya, perjuangannya, dan cita-citanya tetaplah hidup. Antara lain melalui Brigade Al-Qassam, yang sangat ditakuti dan sangat menggentarkan Zionis Israel.

Begitu takutnya semangat perjuangan Al-Qasam itu, sampai-sampai pernah pada tahun 2010, pasukan Zionis Israel mencoba dua kali membakar kompleks pemakaman muslim Al-Qassam di desa Al-Syaikh dekat Haifa, Palestina.

Semangat tempurr perjuangannya kini dipegang oleh komandan Muhammad Deif, yang tak kalah kokohnya dan tersembunyi, misterius. Apalagi diperkuat dengan Pimpinan baru Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) Yahya Al-Sinwar, pengganti Ismail Haniyeh. []

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Eropa
Palestina
Palestina
Palestina
Dunia Islam