oleh: Ali Farkhan Tsani
Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Brigade al-Qassam, disebut namanya, pasti tentara Zionis Israel sudah takut duluan. Memang ini terbukti di lapangan, dalam aksi baku tembak perang darat di perbatasan Jalur Gaza, sudah lebih dari 50 tentara Zionis Israel tewas di tangan pasukan berani mati Al-Qassam.
Peralatan pendukung perang pun dihajar habis oleh pasukan khusus bertopeng hitam ini. Mulai dari hancurnya tank-tank, jeep-jeep militer, dirampasnya senjata api, roket-roket yang menyerbu Tel Aviv, hingga rontoknya pesawat tempur canggih F-16, dan lainnya.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Siapa dan profil seperti apakah hingga Al-Qassam dijadikan sebagai nama pasukan di jalan Allah ini? Berikut profil singkat Izzuddin al-Qassam, Ulama dan Pejuang Palestina.
Izzuddin Muda
Syaikh Izzuddin al-Qassam dilahirkan di Jabalah, Suriah, 19 November 1882. Nama lengkapnya Muhammad Izzuddin bin Abdul Qadir bin Musthafa bin Yusuf bin Muhammad al-Qassam.
Dari sisi bahasa, Izzuddin artinya kemuliaan, kebanggaan atau harga diri agama (Islam). Sedangkan al-Qasam mempunyai makna keseriusan, sumpah, orang yang mengikat sumpah. Izzuddin al-Qassam dapat diartikan sebagai orang yang bersumpah untuk menjaga kemuliaan Islam.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Izzuddin al-Qassam kecil tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang taat dan berpegang teguh terhadap ajaran Islam.
Ayahnya, Abdul Qadir, seorang pejabat di pengadilan Syari’ah pada masa kesultanan Turki Utsmaniyah. Ia dikenal sebagai pendidik yang secara khusus menyediakan salah satu pojok rumahnya sebagai tempat belajar Islam bagi anak-anak tetangga sekitarnya.
Pada masa mudanya, saat berumur sekitar 14 tahun, ayahnya mengirimkan Izzuddin ke negeri tetangga, Mesir untuk belajar di Universitas al-Azhar Kairo. Waktu itu, belajar di al-Azhar Mesir masih berbentuk talaqqi’ di masjid, yakni belajar ilmu agama Islam secara langsung kepada guru yang mempunyai keilmuan Islam.
Izzuddin muda banyak menimba ilmu dari beberapa ulama berpengaruh pada masanya. Antara lain, ia banyak menimba ilmu dan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Abdurrahman Al-Kawakibi.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Jamaluddin Al-Afghani merupakan aktivis Islam kelahiran provinsi Kunar, Afghanistan, yang pernah berkeliling menyampaikan dakwahnya mulai dari negerinya Afghanista, Iran, Mesir hingga ke Indonesia.
Al-Afghani, salah satu pencetus pan-Islamisme, merupakan pribadi yang gigih memperjuangkan kaum Muslimin dari dominasi politik dan penjajahan Barat.
Guru lainnya, Muhammad ‘Abduh, ulama Mesir, salah seorang penggagas modernisasi pemikiran umat Islam. ‘Abduh adalah murid Jamaluddin Al-Afghani. Pemikiran Muhammad ‘Abduh banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya adalah Muhammadiyah di Indonesia.
Abdurrahman Al-Kawakibi, yang juga guru Izzuddin adalah aktivis penulis asal Suriah. Tulisan-tulisannya terus menjadi relevan dengan isu-isu identitas Islam dan Pan-Arabisme.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Belajar dari para guru berpengaruh, menjadikan Izzuddin muda memiliki karakter yang senantiasa berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, mengkritisi terhadap kedzaliman penguasa, kesenjangan sosial, keterbelakangan ilmu pengetahuan, kemerosotan akhlak serta cengkraman barat terhadap kaum muslimin.
Izzuddin muda juga tertarik dan bergabung dengan madrasah jihad yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Rasyid Ridha, adalah seorang intelektual Muslim Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme umat Islam, melanjutkan gagasan Al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh.
Di madrasah ini Izzuddin dan rekan-rekannya memantau dan menjalin hubungan dengan pergerakan jihad yang ada di negeri Muslim lainnya.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Demikianlah proses tarbiyah yang dijalani oleh pemuda Izzuddin selama di Mesir yang memberikan pengaruh bagi perjuangannya selanjutnya.
Menjadi Ulama
Setelah menamatkan pendidikannya ia kembali ke negerinya dan menjadi salah seorang ustadz di Masjid Sultan Ibrahim, Suriah.
Ketika penjajah Perancis mulai memasuki Suriah pada tahun 1918 dan menduduki perkampungan nelayan setempat. Izzudin muda tidak tinggal diam. Ia menyerukan revolusi melawan Perancis, dan mengajak masyarakat agar bergabung. Bahkan untuk mendanai perang jihad yang dikobarkannya, ia rela menjual rumahnya, dan uang dari hasil penjualannya dibelikan senjata.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Kegigihannya mengerahkan massa untuk melawan penjajah, membuat Perancis gerah dengan sepak terjangnya. Melihat kemampuan dan pengaruh jiwa mudanya, Militer Perancis berusaha membelinya dengan cara mengangkatnya sebagai hakim. Namun, ia menolaknya, hingga akhirnya ia dijatuhi vonis hukuman mati oleh Perancis.
Ketika cengkraman Perancis dirasakan semakin kuat, sebagian besar mujahidin keluar Suriah untuk menggalang kekuatan dari luar. Izzuddin pun bersama beberapa orang keluarga dan sahabatnya menyingkir ke Beirut, Lebanon. Ia pergi bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya dari tokoh kelompok jihad, seperti Muhammad Hanafi, dan Syaikh Ali al-Haj Ubaid.
Dari Lebanon, mereka melanjutkan perjalanan ke Haifa, salah satu kota pelabuhan di Palestina pada penghujung tahun 1920.
Jiwa da’wah yang tertanam sangat kuat dalam jiwanya membuat Izzuddin cepat dikenal dan disenangi masyarakat Islam Haifa. Bahkan ia diangkat menjadi khatib resmi Masjid Al-Istiqlal Haifa, Palestina.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Selanjutnya, ia terpilih menjadi pemimpin Pergerakan Pemuda Muslim Haifa. Ia berhasil membuka beberapa cabang dan langsung memantau perkembangan dan senantiasa memberikan tausiyah serta pengarahan-pengarahan. Kebiasaan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat sekeliling di kampungnya diterapkan juga di Haifa, Palestina.
Hingga tahun 1935, ia tinggal di Haifa, dan dikenal sebagai seorang penasehat agama Islam, seorang mursyid (pendidik), dan pemimpin komunitas generasi muda Muslim di kota Haifa.
Di hadapan masyarakat Haifa, ia adalah syaikh, ulama yang dikenal baik perilakunya, ketakwaannya, kejujurannya dan pengorbanannya.
Hingga ke bagian utara Palestina, ia dikenal sebagai seorang imam, khatib yang mahir, dan penghulu nikah.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Barulah, pada usianya yang ke-53, November 1935, Izzuddin al-Qassam bergelut dengan ilmu-ilmu tentang jihad.
Jihad Palestina
Selama hampir 15 tahun bergaul dengan masyarakat muslim Haifa, Izzuddin mempersiapkan mereka untuk mengobarkan revolusi melawan penjajahan Inggris, yang telah bercokol sekian lama di bumi Palestina.
Ia meletakkan target utama perjuangannya di Palestina, yaitu: membebaskan bumi Palestina dari penjajahan Inggris yang dicap sebagai musuh nomor satu umat Islam, disebabkan janjinya kepada orang-orang Yahudi untuk mendirikan Israel Raya di bumi Palestina dan memberikan izin masuknya puluhan ribu orang Yahudi ke Palestina.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Syi’ar yang dikumandangkan bersama mujahidin Haifa, Palestina adalah, “Inilah jihad, menang atau mati syahid”.
Izzudin melancarkan pergerakan bawah tanah dan rahasia yang tak terendus oleh musuh, dan hanya diketahui oleh sahabat-sahabat dan para mujahid yang membantunya. Namun akhirnya, aktivitas pergerakannya tercium juga oleh penjajah Inggris dan Yahudi.
Syahid di Jalan Allah
Izzuddin al-Qassam mengambil ancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dengan melatih para petani dan masyarakat untuk memegang senjata di dataran tinggi Jenin, daerah pertanian di Tepi Barat kawasan Palestina.
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Penjajah Inggris dan Yahudi membuat makar dengan memperalat tentara Arab, Palestina, untuk ikut bergabung dengan pasukan Inggris.
Sebenarnya, Izzuddin bersama para sahabatnya bisa saja meloloskan diri, namun pantang baginya melarikan diri dari medan pertempuran. Pada waktu itu, pasukan mujahidin berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk mengadakan perlawanan. Saat itu, pasukan mujahidin berada di dataran rendah sedangkan musuh berada di balik perbukitan.
Inggris secara licik berhasil memperalat badan keamanan Arab Palestina untuk melancarkan aksinya membungkam perlawanan Izzuddin dengan meletakkan mereka di barisan pertama.
Siasat licik ini dijalankan setelah sebelumnya Inggris menuduh Izzuddin Al-Qassam dan lainnya adalah perampok yang selalu membajak pedagang Arab Palestina yang sering melewati kawasan tersebut.
Sebelum perlawanan dimulai, Izzudin mengumumkan agar jangan melukai pasukan Arab, karena mereka tidaklah tahu apa-apa.
Sebelum penyerangan dimulai, salah seorang polisi Arab Palestina menyerukan agar kelompok perlawanan Izzuddin menyerahkan diri. Namun al-Qassam dengan tegas menolaknya, seraya mengatakan: “Kami tidak akan menyerah, karena kami berada dalam posisi berjihad di jalan Allah.”
Lalu ia memalingkan wajahnya kepada para sahabatnya dan berkata, “Mati syahid di jalan Allah adalah jauh lebih baik daripada menyerah kepada kekafiran dan para perusak”.
Pertempuran berlangsung singkat. Selama kurang lebih dua jam peluru dimuntahkan bagaikan air hujan. Belum lagi deru mesin pesawat terbang Inggris yang terbang rendah.
Pada akhir pertempuran, tentara Inggris menemukan tubuh Syaikh Izzuddin al-Qassam telah gugur sebagai syahid, tanggal 20 November 1935, dalam usia 53 tahun.
Di balik bajunya dijumpai Al-Qur’an, uang senilai 14 junaih, dan sebuah pistol besar. Sementara itu, Syaikh Namr as-Sa’di masih hidup dan dalam keadaan terluka.
Jasadnya pun kemudian dimakamkan di kampung Syaikh dekat Haifa, Palestina. Ada pun tempat tertembaknya al-Qassam di Jenin, kemudian disebut dengan Jenin al-Qassam.
Dampak Al-Qassam
Melalui kesaksian Syaikh Namr, para wartawan Arab mengutip kebenaran yang tersembunyi di dalam kelompok al-Qassam. Hal itu merupakan bukti bahwa penyerangan bersenjata al-Qassam ini ditetapkan sebagai awal dari revolusi.
Al-Qassam dikenal luas sebagai pejuang yang semasa hidupnya mencurahkan segenap tenaganya untuk merangkul kalangan pekerja dan para petani, karena mereka adalah kelompok yang paling banyak dan siap berkorban di jalan Allah.
Para pejuang Palestina selanjutnya pun menjadikan revolusi yang diawali oleh Syaikh Izzuddin al-Qassam merupakan revolusi bagi seluruh pemuda Palestina dalam melawan penjajah Inggris dan Yahudi yang ikut di belakangnya.
Kelompok pejuang pun bermunculan, membentuk jaringan rahasia berbentuk halaqah-halaqah. Setiap lima orang dipimpin oleh seorang penanggung jawab. Setiap kelompok itu juga memiliki mekanisme dan aturan main yang khas, dan seterusnya.
Melalui sahabat-sahabat pelanjutnya, didengungknlah kembali khutbah-khutbah Izzuddin al-Qassam semasa hidupnya. Seolah-olah hidup kembali al-Qassam.
Di antara khutbah yang terus disebarluaskan antara lain adalah, “Wahai penduduk Haifa…! Wahai kaum Muslimin…! Apakah kalian tidak mengetahui Fuad Hijazi? Bukankah Fuad Hijazi, Atha’ az-Zair dan Muhammad al-Jamjum adalah saudara kalian? Bukankah mereka duduk bersama kalian ketika belajar di Masjid Istiqlal? Sekarang mereka semua berada di pintu-pintu tempat penggantungan, mereka dihukum oleh orang–orang Inggris dengan vonis hukuman mati, digantung untuk kepentingan orang Yahudi”.
“Wahai orang-orang yang beriman, di mana gerangan keberanian kalian? Dimana keimanan kalian?”
”Sesungguhnya pasukan salib Barat, yaitu Inggris dan zionisme Yahudi perusak, hendak menyembelih kalian semua, ingin menghancurkan kalian.”
Wahai kaum Muslim, …hingga mereka menjajah negeri kalian, dari Eufrat (sungai di Irak) sampai ke sungai Nil, dan mereka hendak merampas al-Quds al-Aqsha… dan mereka benar-benar telah merampasnya“.
Kalimat-kalimat revolusi perjuangan al-Qassam itu memiliki peranan yang sangat besar, karena merupakan upaya pertama orang-orang Arab Palestina untuk menentang penyusupan kaum Zionis Yahudi ke Palestina melalui kekuatan bersenjata Inggris.
Brigade Al-Qassam
Oleh para tokoh pergerakan Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (HAMAS), seperti Syekh Ahmad Yassin, Dr Ibrahim al-Muqadama, Syekh Shalah Syahadah, dan para pionir Hamas lainnya, nama Izzuddin al-Qassam dipilih sebagai nama sayap militer mereka.
Harapannya adalah agar brigade ini bisa terus bertekad untuk membela Islam dan kaum Muslimin di tanah Palestina, untuk membebaskan Al-Aqsha dan perjuangan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Zionis Israel.
Brigade al-Qassam merumuskan setidaknya tiga langkah perjuangannya, yaitu menumbuhkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di Palestina dan dunia Arab, mempertahankan setiap jengkal tanah kaum Muslimin Palestina dari pendudukan dan agresi Zionis, dan membebaskan tanah Palestina.
Brigade ini, kerap melakukan aksinya dengan penutup wajah berwarna hitam dan ikat kepala hijau bertuliskan “Kataaib al-Qassam” (Brigade al-Qassam) dan kalimat tauhid “Laa ilaaha illallaah” (Tidak ada Tuhan selain Allah). Topeng wajah sebagai ciri utama digunakan untuk menghindari incaran dari luar intelijen Zionis Israel, dan menghindari penyakit dari dalam diri berupa sifat riya, dipuji dan bangga diri jika diketahui wajahnya.
Selanjutnya, nama al-Qassam juga digunakan menjadi nama salah satu roket yang ditakuti pasukan Zionis Israel, yakni roket al-Qassam.
Itulah sosok Ulama yang sekaligus Pejuang, Syaikh Izzuddin al-Qassam. Walaupun fisiknya sudah meninggal dan tiada, namun semangatnya, perjuangannya, dan cita-citanya tetaplah hidup. Antara lain melalui Brigade al-Qassam, yang sangat ditakuti dan sangat menggentarkan Zionis Israel.
Begitu takutnya semangat perjuangan al-Qasam itu, sampai-sampai pernah pada tahun 2010, pasukan Zionis Israel mencoba dua kali membakar kompleks pemakaman muslim al-Qassam di desa Al-Syaikh dekat Haifa, Palestina. (R1/p02).
Sumber Utama : Jihad Syi’b al-Filistin. Syaikh Prof. Dr. Mahmoud Shiyam. Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly, Yaman, 2009 dan At-Tarikh al-Filistiin al-Qadimah, Prof Syaikh ‘Aly Muqbil, Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly, Yaman, 2009.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)