Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jabatan adalah Amanah

Ali Farkhan Tsani - Jumat, 5 Februari 2016 - 00:41 WIB

Jumat, 5 Februari 2016 - 00:41 WIB

1369 Views

jabatan-adalah-amanah-300x191.jpg" alt="jabatan adalah amanah" width="507" height="323" />Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Suatu ketika Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu mengutus kurir ke negeri tetangga untuk menjalin hubungan persahabatan. Umi Kaltsum, isterinya, menitipkan bingkisan minyak wangi untuk isteri raja negeri itu. Pulangnya, si kurir ganti membawa titipan bingkisan balasan dari isteri raja berupa mutiara.

Melihat kiriman bingkisan tersebut, Khalifah Utsman yang terkenal karena kedermawanan dan katakwaannya itu, langsung menyitanya dan menyimpannya sebagai kas Baitul Maal.

Beliau pun dengan santun menasihati isteri tercintanya, ”Kalau engkau bukan isteri Khalifah, tentu engkau tidak mungkin akan mendapatkan bingkisan ini,” ujar Khalifah.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Umi Kaltsum pada awalnya tetap bersikeras bahwa bingkisan itu adalah hadiah balasan yang bersifat pribadi dari isteri raja. Khalifah Utsman membenarkan, tapi pengirimnya menggunakan fasilitas Khilafah. Langkah itu, menurut Khalifah, adalah ilegal, bisa menimbulkan preseden buruk, serta merupakan contoh yang tidak bagus bagi isteri pejabat lainnya.

Utsman yang menjabat sebagai khalifah rupanya lebih memilih menjaga ketakwaan dan keselamatan diri dan isterinya daripada menukarnya dengan bingkisan duniawi yang tidak seberapa. Karena bagi dia, pada dasarnya jabatan yang diembannya adalah amanat dari Allah, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Terlebih bagi para pemimpin umat, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu yang mengingatkan:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Agar takwa tidak teperdaya oleh fasilitas jabatan dan tidak tertipu oleh syaitan lewat cobaan duniawi, Allah Subhanahu Wa ta’ala menuntun hamba-hamba-Nya agar hidup qana’ah (merasa cukup) dengan harta benda yang dimilikinya secara halal.

Dengan qana’ah akan tumbuh rasa syukur, dan dari rasa syukur inilah akan timbul rasa ridha dengan pemberian Allah, serta tumbuh sifat kedermawanan, yaitu rela memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk dishadaqahkan kepada orang lain.

Sebaliknya, jika tidak ada sifat itu, maka yang akan muncul adalah sifat bakhil, egois, kufur nikmat, selalu merasa tidak cukup.

Biarpun kekayaan yang dimiliknya sudah banyak, gaji dan harta yang diperolehnya juga melebihi dari kebutuhan sehari-harinya. Namun ia merasa tidak pernah cukup, merasa miskin, mudah saja berbuat korupsi, serta hobi melakukan tindakan kemaksiatan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggambarkannya sebagai orang yang miskin sebab merasa tidak cukup dengan pemberian Allah. Seperti dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang menyebutkan:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Artinya: “Bukanlah kekayaan diukur dengan banyaknya kemewahan harta yang dimiliki. Namun kaya hati, yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena itu, kehati-hatian terhadap fitnah jabatan, diiringi sifat qana’ah dan syukur, dapat mengarahkan setiap keluarga mukmin terhindar dari perbuatan korupsi, menumpuk harta yang tidak jelas kedudukannya, berbuat curang, dan terjaga dari keinginan menggunakan fasilitas pemerintah untuk kepentingan pribadi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Tentang menjaga diri dari sifat dzalim dan bakhil ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberi peringatan, yang artinya: ”Jagalah dirimu dari berbuat zalim, karena berbuat zalim akan merupakan kegelapan di hari kiamat. Dan jagalah dirimu dari sifat bakhil, karena kebakhilan itu mendorong manusia menumpahkan darah dan menghalalkan segala cara yang diharamkan Allah.” (HR. Muslim).

Allah pun menegur soal amanah ini di dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al-Anfal [8]: 27).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Semoga kita dapat menjaga apa yang menjadi amanah di pudak kita masing-masing, serta merasa qanaah dan syukur dengan segala pemberian-Nya. Aamiin. (P4/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
Kolom
Kolom
Kolom