Jaharah, Penyuluh Agama di Pedalaman Kab. Teluk Wondama Papua Barat

Kabupaten Teluk Wondama, , adalah wilayah pedalaman yang cukup jauh dari kota Manokwari. Bisa ditempuh sekitar 12 jam dengan kapal feri biasa atau sekitar 6 jam dengan kapal Express. Kunjungan staf Ditjen. Islam ke tempat ini adalah untuk bertemu dengan tokoh agama di sana sekaligus ingin mengetahui urgensi kehadiran kantor KUA di kabupaten yang pernah dilanda banjir bandang pada 2010 ini.

Sesaat setelah bertemu dengan tokoh masyarakat di Aula Kementerian Agama Kabupaten Teluk Wondama, Manokwari, Papua Barat (10/11), staf Bimas Islam bergegas masuk mobil untuk bersiap menuju lokasi liputan. Tanpa sengaja melihat dari balik kaca mobil ada seorang perempuan berkerudung coklat yang akan naik motor trail. Demikian laporan perjalanan staf Ditjen. Bimas Islam . ke Papua Barat.

Pandangan mata kami, lapornya,  tertuju ke sosok perempuan itu, dan bertanya kepada pendamping kami.   “Pak, ibu-ibu yang mau naik motor trail itu siapa? Apakah dia seorang penyuluh kita?” tanya kami dengan penuh penasaran.   “Benar pak. Ibu itu adalah penyuluh agama honorer di daerah transmigrasi. Lokasinya jauh dari sini, wilayah pedalaman. Sekitar 20 KM dari sini, makanya dia menggunakan motor trail untuk memudahkan dia menjaungkau tempat ini”, terangnya.

Akhirnya kami memutuskan untuk menemuinya dan memintanya agar bersedia dan ikut ke lokasi liputan untuk difoto dan diwawancara tentang pengalaman dan jerih payahnya dalam melaksanakan tugas sebagai penyuluh agama non PNS.

Sesampainya di lokasi yang ditempuh sekitar 10 menit, Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Teluk Wondama, kami segera menghampiri perempuan berperakan tinggi manis ini. Perempuan asli Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menyapa kami dengan ramah dan menceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai penyuluh agama di pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.

Bergabung menjadi Penyuluh Agama Non PNS Tahun 2007 ini, pemilik nama Jaharah ini awalnya mengaku kesulitan saat pertama kali datang di pedalaman Teluk Wondama. Selain karena tidak ada listrik, tempat yang jauh dari kota, perjalanan harus menempuh jarak dengan perahu kurang lebih 16 jam, wanita yang pernah merantau di Jakarta ini merenungi nasibnya setelah diajak hidup oleh suaminya.

“Pertama kali saya datang ke tempat ini, saya sedih sekali. Jauh dari kota, di tengah hutan. Apa yang bisa saya lakukan. Sebelum menikah saya merantau di Jakarta. Begitu menikah, saya diajak suami saya untuk hidup di tengah hutan, daerah trans, belum ada listrik, ke lokasi harus naik perahu dari jam 5 pagi dan sampai jam 10 malam”, katanya dengan suara serak.

Namun, Jaharah tidak berlama-lama meratapi nasibnya. Hatinya justru tergerak untuk memajukan daerah pedalaman tersebut dengan modal ilmu dan pengalaman yang dimilikinya. Bersuamikan seorang Kepala Unit Transmigrasi ini, Jaharah menyemangati diri sendiri agar bisa berkiprah di lingkungan tempat tinggalnya. Dalam benaknya muncul pikiran, jika kondisi seperti dibiarkan, bagaimana mereka bisa maju.

“Saya segera sadar dan bangkit. Saya melihat masyarakat yang bekerja keras untuk memperbaiki kehidupannya. Masyarakat pedalaman, khususnya komunitas transmigran di Teluk Wondama ini tidak akan maju jika tidak ada orang yang peduli. Bersama dengan beberapa orang sesama pendatang, saya bahu membahu membentuk Majelis Taklim, dan juga TPA. Tekad saya adalah saya akan membantu mereka untuk menjalani hidup dengan optimisme agar lebih baik”, tegasnya.

Seiring dengan waktu, Jaharah diminta untuk menjadi Penyuluh Agama Non PNS dari Kementerian Agama Teluk Wondama. Tawaran tidak disia-siakan karena dirinya sejak awal bukan untuk minta digaji, tetapi semata-mata ingin mengabdi untuk memajukan masyarakat sekitarnya. Menurutnya, tawaran itu merupakan penghormatan yang semakin mendorongnya untuk mengabdi kepada masyarakat, meski honororium hanya Rp. 300 ribu perbulan.

Masyarakat binaan yang hingga kini masih berjalan adalah Majelis Taklim dan TPA. Ada tiga wilayah dalam satu distrik, yaitu Kampung Sobe indah, Sobei Kampung, Wariaro. Secara bergiliran bersama dengan beberapa ustad yang lain, dirinya membina Majelis Taklim dan TPA secara bergiliran.

Saat ditanya tentang jadwal pembinaan, wanita berkulit sawo matang ini menjelaskan bahwa  setiap hari Jumat siang ada pengajian dari jam 13.00 sd 16.00. Selain ceramah rutin untuk memberikan wawasan keagamaan kepada masyarakat sekitar, Jaharah juga mengajar baca Al-Quran, memimpin berzanji, dan juga kegiatan lain yang positif agar ibu-ibu di sana memiliki kegiatan yang bermanfaat.

Dalam sebulan sekali setidaknya ada sekali pertemuan tingkat kecamatan dari tiga kelompok pengajian bergabung. Selain diisi dengan pengajian, juga diisi dengan belajar pengurusan jenazah, dan lain.   Saat ditanya tentang tantangan yang dihadapi, wanita murah senyum ini mengaku berat meski juga senang. Menurutnya, saat menyampaikan ide tentang sebuah gagasan kepada orang yang kurang peduli, pihaknya merasa cukup lelah dan akhirnya bingung harus melakukan apa.

Selain kondisi alamnya yang berat, juga harus memahami watak orang-orang yang berbeda-beda. Belum lagi dengan segala keterbatasan yang ada. Sedangkan senangnya justru memacunya untuk menambah wawasan saat mengajar. Dengan mengajar justru ilmu terus bertambah. Meski di tempat yang jauh dari kota, dia mengaku mendapatkan pengalaman yang luar biasa.

Satu hal yang menarik dari sosok penyuluh perempuan ini bahwa dirinya mengaku tidak ada hambatan berhubungan dengan penduduk asli. Belum pernah berkonflik dengan penduduk lokal (pribumi). Berdasarkan pengalamannya, penduduk pribumi sebenarnya sangat welcome sama pendatang, hanya saja diperlukan sikap yang ramah, lemah lembut, dan menghormati tradisi mereka.

“Alhamdulillah. Selama saya di sini belum pernah ada masalah dengan pendudukn pribumi yang berbeda dalam banyak hal. Kuncinya adalah kita sebagai pendatang harus pandai membawa diri. Kalau bicara harus lembut, sopan, dan menghormati tradisi. Saya pelajari, baca karakter mereka dan berikan sikap dan perilaku yang baik. Sampai sekarang mereka menerima dengan baik. Bahkan mereka sekarang ini menghormati kita. Saat kami shalat atau ngaji, mereka respek dan menghormatinya,” ujarnya. (T/P006/P2)

(Sumber: Bimas Islam Kemenag)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)