Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jama’ah dan Izin, Adab yang Menjaga Kita Tetap dalam Naungan Ilahi

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

DALAM setiap langkah kehidupan, izin dari pemimpin atau orang yang berwenang adalah bentuk ketaatan yang menjaga keteraturan dan keharmonisan. Izin bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan dari adab dan rasa tanggung jawab. Saat seorang individu meminta izin kepada jama’ah atau imamnya, ia sedang menunjukkan sikap rendah hati dan kebersamaan yang menjadi inti dari ukhuwah Islamiyah. Dalam izin terdapat keberkahan, karena setiap keputusan yang diambil bersama atau atas arahan ulil amri akan lebih terarah, penuh pertimbangan, dan terhindar dari sikap individualistik yang bisa merusak tatanan.

Jama’ah adalah pelindung sekaligus penguat. Seorang Muslim dalam jama’ah ibarat batu bata yang saling mengokohkan bangunan. Tanpa jama’ah, seseorang mudah tergelincir, tersesat, bahkan binasa secara spiritual. Imam atau ulil amri adalah penentu arah, penerang jalan di tengah gelapnya fitnah dan kebingungan zaman. Mengikuti arahan imam bukanlah bentuk kelemahan, tapi justru kekuatan hakiki, sebab Allah memerintahkan ketaatan kepada-Nya, Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kita (QS. An-Nisa: 59). Di balik kepatuhan kepada pemimpin yang adil, tersembunyi pertolongan Allah dan terjaganya umat dari perpecahan.

Manfaat izin dan kepatuhan dalam jama’ah bukan hanya terasa dalam kehidupan dunia, tetapi juga menjadi bekal keselamatan di akhirat. Dengan berada dalam barisan jama’ah yang taat pada imam, setiap amal lebih tertata, niat lebih bersih, dan tujuan lebih lurus. Kita tidak hanya sedang berjalan bersama manusia, tapi sedang meniti jalan kebaikan bersama para malaikat yang mencatat amal kita. Maka jangan pernah remehkan izin, jangan abaikan imam, dan jangan tinggalkan jama’ah. Karena di sanalah Allah letakkan rahmat, hidayah, dan kemenangan.

Betapa sering hati kita merasa tenang saat berada dalam dekapan jama’ah yang kokoh, dipimpin oleh imam yang bijaksana, dan diatur dengan adab izin yang penuh cinta. Dalam kehidupan berjama’ah, tidak ada satu langkah pun yang diambil tanpa arahan, tidak ada satu keputusan pun yang diputuskan tanpa musyawarah. Di situlah kita belajar untuk tidak hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup bersama, saling menguatkan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Jama’ah bukan sekadar tempat berkumpul, melainkan ladang subur tempat tumbuhnya keimanan, keikhlasan, dan ketaatan.

Baca Juga: Pekan ke-10 Berteriak di Depan Kedubes AS

Ketika seseorang telah menetapi jalan jama’ah, sejatinya ia sedang melatih jiwanya untuk tunduk pada ketetapan Allah melalui arahan para pemimpin yang telah diberi amanah. Hidup dalam jama’ah bukan selalu mudah, karena dibutuhkan pengorbanan, kejujuran, dan kesabaran. Tapi justru di situlah nilai dan kemuliaannya. Ia membentuk pribadi yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan senantiasa terjaga dalam barisan. Orang yang istiqamah dalam jama’ah, sesungguhnya sedang membangun pondasi akhirat yang kuat, sebab mereka memilih hidup dalam sistem yang Allah ridai.

Satu kata “izin” mungkin terdengar ringan di lisan, tetapi besar nilainya di sisi Allah. Izin bukan sekadar administrasi, melainkan tanda kesiapan hati untuk taat dan tidak mendahului imam. Izin mengajarkan kita adab dalam berjama’ah—bahwa kita tidak berjalan semaunya, tetapi dengan arahan, komando, dan pertimbangan. Di situlah adab lebih utama daripada sekadar ilmu. Betapa banyak orang yang berilmu, tapi tersesat karena kehilangan adab. Dan betapa banyak orang yang diselamatkan karena ia tahu batas dirinya, dan meminta izin sebelum melangkah.

Imam dalam jama’ah bukan hanya pemimpin administratif, tapi penjaga visi, penjuru arah, dan perantara kebijaksanaan. Ulil amri yang shaleh tidak hanya memimpin dengan suara, tapi dengan teladan dan doa. Mereka adalah orang-orang yang memikul beban besar agar jama’ah tetap berada di jalur Allah. Maka kewajiban kita adalah mencintai mereka, mendoakan mereka, dan mendengar serta taat selama mereka tidak menyuruh kepada maksiat. Di situlah keberkahan hidup bermula—dari hati yang tunduk dan tidak merasa lebih tahu dari pemimpinnya.

Ketika engkau berada dalam jama’ah, sejatinya engkau telah menemukan rumah bagi jiwamu. Sebuah tempat di mana engkau bisa menangis bersama, tertawa bersama, berjuang bersama, dan bahkan wafat dalam barisan yang satu. Kebersamaan dalam jama’ah adalah bekal saat menghadapi kerasnya zaman yang penuh fitnah dan guncangan. Tidak sedikit orang yang dulunya kokoh, namun roboh karena memilih jalan sendiri. Maka berpegang teguhlah pada jama’ah, karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Baca Juga: Gaza di Ambang Bencana Kelaparan

Izin dalam jama’ah juga mengajarkan kita untuk tidak egois dan tidak merasa paling benar. Ia melatih kita untuk mendengar, untuk sabar, dan untuk merendahkan hati. Setiap keputusan dalam jama’ah, saat dilandasi oleh musyawarah dan adab, akan membawa ketenangan dan persatuan. Berbeda dengan keputusan pribadi yang sering diwarnai nafsu dan kekeliruan. Maka ketika engkau hendak melangkah, bertanyalah: “Apakah imamku tahu? Apakah jama’ah merestui?” Sebab langkah yang diberkahi adalah langkah yang mendapat izin dan doa dari pemimpin yang tulus membimbing.

Jama’ah adalah benteng perlindungan. Saat engkau lemah, ada yang menguatkan. Saat engkau lupa, ada yang mengingatkan. Saat engkau futur, ada yang menarikmu kembali ke jalan. Tidak ada kemuliaan yang lebih besar daripada menjadi bagian dari barisan yang lurus, teratur, dan penuh ketaatan. Di dalam jama’ah, engkau akan temukan makna sejati dari ukhuwah, dari perjuangan, bahkan dari cinta yang tulus karena Allah. Maka jagalah amanah ini, jangan sia-siakan kesempatan emas berada dalam barisan jama’ah yang haq, sebab tidak semua orang mendapatkannya.

Terakhir, ingatlah bahwa Allah mencintai keteraturan. Bahkan dalam shalat, kita diperintahkan untuk merapatkan shaf, mengikuti imam, dan tidak mendahuluinya. Jika dalam ibadah pribadi saja kita diajarkan untuk taat dan rapi, apalagi dalam kehidupan berjama’ah yang lebih kompleks. Maka, jangan pernah meremehkan izin, jangan menyimpang dari arahan, dan jangan keluar dari barisan. Karena keselamatanmu, kemuliaanmu, dan keberkahan hidupmu tersembunyi dalam kepatuhanmu kepada sistem yang Allah ridai: sistem berjama’ah dengan imam yang amanah.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bansos, Vasektomi, dan Etika Islam

Rekomendasi untuk Anda