BERSYUKURLAH kita karena telah Allah karuniakan nikmat besar: berada dalam barisan jama’ah. Di tengah zaman yang penuh fitnah, keterasingan iman, dan maraknya perpecahan, kita dipertemukan dalam satu barisan untuk sama-sama berjalan menuju ridha-Nya.
Namun, nikmat ini akan sirna jika tidak dijaga dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Betapa banyak jama’ah yang goyah bukan karena serangan dari luar, melainkan karena luka dari dalam: hujatan, prasangka, dan saling menyakiti.
Jama’ah bukanlah tempat mencari keunggulan pribadi, apalagi ajang mempertontonkan ego. Jama’ah adalah tempat di mana ukhuwah dibangun di atas dasar iman, cinta karena Allah, dan kesediaan untuk saling menanggung beban.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Bila satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Kisah Dr. Alaa Al-Najjar dan Genosida di Gaza, Dokter yang Tak Bisa Menyelamatkan Anaknya
Namun, kenyataannya, betapa sering kita justru saling menyakiti dengan kata-kata. Betapa mudahnya lidah ini menebarkan hujatan, menuduh tanpa tabayun, atau merasa paling benar sendiri. Saat satu saudara tergelincir, bukan tangan yang terulur, tapi caci yang dilempar. Saat satu hati sedang rapuh, bukan pelukan yang ditawarkan, tapi sindiran yang ditebar.
Sungguh, ini bukan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini bukan akhlak para sahabat. Ini bukan jiwa seorang mukmin yang sejati. Di mana rasa empati kita? Di mana tangis kita saat melihat saudara kita goyah imannya? Di mana jiwa pengorbanan kita saat melihat mereka tertatih dalam amal?
Ingatlah, tidak ada jama’ah yang sempurna. Yang ada adalah sekelompok hamba yang berjuang untuk terus memperbaiki diri dalam kebersamaan. Kita semua pernah salah. Kita semua pernah lalai. Tapi bukan untuk saling menyalahkan. Melainkan untuk saling menasihati dan menguatkan.
Jangan biarkan setan merusak rumah besar kita dengan api permusuhan yang dia nyalakan melalui bisikan kecil. Bisikan untuk iri. Bisikan untuk curiga. Bisikan untuk merasa lebih baik dari yang lain. Jangan beri ruang bagi bisikan-bisikan itu tumbuh menjadi kebencian.
Baca Juga: Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global
Kita tidak akan pernah bisa berjalan jauh jika terus membawa dendam. Kita tidak akan bisa meraih kemenangan jika saling menjatuhkan. Dan kita tidak akan bisa menggapai surga jika hati kita penuh luka yang kita biarkan bernanah karena enggan saling memaafkan.
Maka mari kita hentikan saling hujat. Mari kita rekatkan kembali barisan yang mulai retak. Mari kita buka hati dan genggam tangan saudara kita, lalu katakan, “Maafkan aku jika selama ini ada sikap atau kata yang menyakitimu.”
Sebab memaafkan bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan sejati seorang mukmin. Allah Ta’ala berfirman, “Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (Qs. Asy-Syura: 40)
Sungguh, hati yang memaafkan adalah hati yang akan diluaskan oleh Allah, diberi ketenangan, dan diangkat derajatnya. Jangan tunggu saudaranya meminta maaf, karena siapa tahu ia pun sedang menunggu kita untuk lebih dulu merendahkan hati.
Baca Juga: Jejak Pertama di Tanah Suci: Haru, Lelah, dan Syukur yang Membuncah
Pernahkah kita membayangkan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memaafkan orang-orang yang menyakitinya? Pernahkah kita pikirkan jika beliau menyimpan dendam kepada mereka yang melemparinya dengan batu, mencacinya, atau memboikotnya? Tapi justru dengan kelembutan dan kelapangan hatinya, beliau mengubah musuh menjadi saudara, mengubah kebencian menjadi pelukan ukhuwah.
Mari kita teladani beliau. Kita bangun kembali pondasi ukhuwah di atas keikhlasan, bukan kepentingan. Kita hidangkan nasihat dengan cinta, bukan dengan nada menghakimi. Kita luruskan kesalahan dengan kasih sayang, bukan dengan celaan yang menyayat hati.
Saudaraku, hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan permusuhan. Dunia ini terlalu sempit jika hati kita sempit. Tapi dunia akan menjadi luas jika hati kita luas untuk memaafkan dan mencintai karena Allah.
Mari kita buktikan bahwa kita benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan mencintai saudara kita seiman. Sebab tidak akan sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?
Jika hari ini engkau merasa terluka oleh saudaramu, maka ingatlah bahwa engkau pun mungkin pernah melukainya. Jika engkau merasa kecewa, maka bukalah hati untuk berdialog, bukan untuk mendendam. Jama’ah ini bukan milik pribadi. Ia adalah amanah dari Allah. Maka jagalah ia dengan ketulusan, bukan dengan bara dalam dada.
Marilah kita saling menguatkan. Jika saudaramu terjatuh, jangan biarkan ia sendiri. Rangkul, tuntun, dan doakan. Jangan lepas genggamannya hanya karena satu kesalahan. Jangan binasakan ukhuwah karena satu perbedaan.
Bangun komunikasi yang sehat. Sampaikan dengan adab. Nasihati dengan empati. Hargai perbedaan, karena setiap kita unik, dengan latar, watak, dan ujian yang berbeda-beda. Jangan ukur iman orang lain dengan standar pribadi, tapi lihatlah ia dengan mata kasih sayang.
Saudaraku, mari kita mulai dari diri sendiri. Mari kita tanamkan dalam hati: aku akan menjadi orang pertama yang meminta maaf, meski aku merasa tak bersalah. Aku akan menjadi orang pertama yang memeluk, meski aku yang dipukul. Aku akan menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan, meski tanganku yang ditarik menjauh.
Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani
Dengan cara inilah kita menjaga jama’ah. Dengan cara inilah kita menjemput keberkahan dari langit. Dengan cara inilah Allah akan ridha kepada kita.
Karena jama’ah bukan hanya tentang program dan aktivitas. Jama’ah adalah tentang cinta, kesetiaan, dan kebersamaan menuju surga. Maka jangan biarkan ia hancur hanya karena lisan yang tak dijaga, prasangka yang dibiarkan, dan hati yang enggan memaafkan.
Hari ini, mari kita saling memaafkan. Mari kita saling mendekap dalam doa. Mari kita kembalikan semangat berjama’ah sebagaimana awalnya kita dipertemukan: karena Allah, untuk Allah, dan menuju Allah.
Jama’ah adalah tempat ukhuwah, bukan ajang permusuhan. Mari kita jaga bersama, dengan cinta dan keikhlasan.[]
Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia
Mi’raj News Agency (MINA)