DALAM dunia bisnis dan kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang terjebak dalam satu obsesi: cepat kaya. Media sosial dipenuhi oleh gaya hidup glamor, kisah sukses instan, dan janji-janji penghasilan besar hanya dalam hitungan minggu. Namun, di balik gemerlap itu, banyak yang lupa bahwa kekayaan sejati bukanlah sekadar tumpukan harta, melainkan dampak dan manfaat yang kita berikan kepada orang lain. Prinsip inilah yang membedakan antara mereka yang sekadar kaya, dengan mereka yang benar-benar berharga.
Ketika seseorang hanya mengejar kekayaan materi tanpa nilai manfaat, maka arah hidupnya mudah goyah. Ia mungkin sukses sebentar, tetapi rapuh ketika diuji waktu. Sebaliknya, orang yang fokus memberi manfaat, justru menciptakan nilai yang tak lekang oleh zaman. Dalam bisnis, prinsip ini terbukti kuat: produk atau jasa yang hadir untuk menyelesaikan masalah orang lain, akan bertahan lebih lama dibanding sekadar bisnis yang hanya mengejar keuntungan cepat. Lihatlah kisah para pengusaha besar dunia—mereka tak memulai dengan uang, tetapi dengan niat untuk membantu. Dari niat itu, datanglah kepercayaan, dan dari kepercayaan tumbuhlah kekayaan.
Islam pun menuntun kita pada konsep ini. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menjadi dasar yang kuat bahwa keberkahan hidup bukan diukur dari seberapa banyak kita punya, tapi seberapa banyak yang bisa kita berikan. Seorang pengusaha Muslim sejati bukan hanya mencari laba, tapi juga menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan. Jika orientasi kita bergeser dari cepat kaya menjadi cepat bermanfaat, maka arah bisnis kita pun akan berubah menjadi ladang pahala.
Baca Juga: Bank Syariah Sragen Dorong Literasi Keuangan Masyarakat Desa
Kekayaan materi itu fana. Mobil mewah bisa rusak, rumah megah bisa lapuk, tapi manfaat yang kita berikan akan terus hidup bahkan setelah kita tiada. Lihatlah para tokoh yang dikenang dunia: mereka tidak dikenang karena harta, tapi karena manfaat besar yang mereka wariskan. Orang yang menanamkan nilai-nilai manfaat dalam bisnisnya sedang membangun sesuatu yang lebih dalam—legacy, warisan nilai yang membuat nama baiknya tetap harum meski ia sudah tidak lagi ada.
Dalam perjalanan menuju kesuksesan, fokus pada manfaat juga membuat kita lebih tangguh. Ketika hanya mengejar kekayaan, kegagalan terasa seperti akhir dunia. Namun ketika orientasi kita adalah manfaat, maka setiap kegagalan justru menjadi pelajaran untuk memperbaiki cara agar manfaat kita lebih besar lagi. Orang yang bermanfaat tak akan mudah menyerah, karena ia tahu bahwa perjuangannya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yang mungkin bergantung pada hasil kerjanya.
Banyak pebisnis besar yang memulai dengan tujuan sederhana namun bermakna. Mereka melihat penderitaan, lalu mencari solusi. Mereka tidak berpikir “berapa untungnya?”, tetapi “bagaimana ini bisa membantu banyak orang?” Ironisnya, justru dari niat memberi manfaat itulah kekayaan mereka mengalir deras. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Barang siapa yang menolong (kepentingan) orang lain, niscaya Allah akan meno longnya.” (QS. Al-Hadid: 11).
Ayat ini menegaskan hukum spiritual yang tak terbantahkan: ketika kita menolong, Allah menolong. Ketika kita memberi manfaat, Allah memberi keberkahan. Maka mengejar manfaat sejatinya adalah jalan tercepat menuju kekayaan yang halal, berkah, dan berkelanjutan.
Dalam konteks bisnis modern, orientasi manfaat bisa diwujudkan dalam banyak bentuk. Misalnya, menciptakan produk ramah lingkungan, memperlakukan karyawan dengan adil, menjaga etika dalam setiap transaksi, dan menggunakan sebagian keuntungan untuk kegiatan sosial. Langkah-langkah sederhana ini mungkin tak langsung membuat kaya raya, tapi ia menumbuhkan kepercayaan dan keberkahan. Dan dalam dunia bisnis, kepercayaan adalah modal yang jauh lebih berharga daripada uang.
Baca Juga: Demo Day 2025 HASAN.VC Hadirkan 50 Startup Global untuk Inovasi Halal dan Etis
Kita juga perlu berhati-hati dengan pola pikir “instan.” Banyak orang yang tergoda pada jalan pintas menuju kaya, hingga melanggar prinsip kejujuran, menipu pelanggan, atau menghalalkan segala cara. Padahal, rezeki yang cepat datang tanpa berkah juga cepat hilang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah harta yang diperoleh dari cara haram bertambah banyak, kecuali akan mengurangi keberkahannya.” (HR. Ahmad). Maka jangan iri pada mereka yang tampak cepat kaya, tapi belum tentu diridhai Allah. Lebih baik menjadi orang yang bertumbuh perlahan tapi membawa manfaat besar, daripada kaya cepat tapi kehilangan nilai kemanusiaan dan keberkahan.
Ingatlah, dunia ini bukan sekadar tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling kuat bertahan. Dan hanya mereka yang bermanfaatlah yang akan terus dikenang. Bisnismu akan dihormati bukan karena omzetnya, tapi karena kebaikan yang kau sebarkan lewatnya. Ketika pelanggan merasa terbantu, ketika karyawan merasa dihargai, dan ketika masyarakat merasakan manfaat dari kehadiran usahamu, di situlah kekayaan sejati lahir—bukan dari angka, tapi dari hati yang berterima kasih.
Maka mulai hari ini, ubah niat dan arah langkahmu. Jika kamu berbisnis, jangan hanya bertanya “berapa untungnya?”, tapi juga “berapa banyak orang yang terbantu karenanya?”. Jika kamu bekerja, jangan hanya berpikir “berapa gajiku?”, tapi juga “berapa banyak kebaikan yang bisa kulakukan dari pekerjaanku?”. Karena ketika manfaat menjadi prioritas, Allah sendiri yang akan menambahkan keberkahan di setiap langkahmu.
Jangan kejar cepat kaya, kejarlah cepat bermanfaat. Karena ketika manfaatmu besar, kekayaan akan datang dengan sendirinya—bukan hanya dalam bentuk harta, tapi juga dalam bentuk cinta, kepercayaan, doa, dan keberkahan yang tak ternilai. Itulah hakikat kesuksesan sejati: bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tapi tentang seberapa besar hidup kita memberi arti bagi orang lain.[]
Baca Juga: Bank Syariah Sragen Ajak Pelajar Lawan Pinjol Ilegal dan Judi Online
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 7 Cara Membangun Usaha yang Tahan Banting dan Berkembang Pesat