Jangan Merasa Lebih Mulia

Oleh Bahron Ansori, Redaktur MINA

BISA jadi karena berbagai faktor, manusia yang satu merasa lebih mulia dari manusia yang lain. Tak jarang, dalam kehidupan sehari-hari saja, terkadang terbetik di hati saat melihat pengemis lewat di jalan, kita sudah merasa lebih baik dan mulia darinya. Tapi, tahukah kita, bisa jadi pengemis yang baru saja kita lihat itu jauh lebih mulia di mata Allah dibanding kita yang selalu duduk di kursi empuk dan mobil mewah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki  seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49:13).

Ayat di atas secara tegas menyampaikan tentang asal mula manusia yang diciptakan dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu dari penciptaan laki-laki dan wanita itu Allah jadikan umat manusia ini bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Untuk apa dijadikan bersuku-suku dan berbangsa itu?  Supaya kita saling kenal-mengenal satu dengan yang lain.

Kelanjutan ayat itu, Allah Ta’ala mengatakan tidak ada satu manusia pun yang lebih mulia di atas manusia yang lain kecuali atas dasar ketakwaan. Di dalam kata “Takwa” itulah sejatinya letak kemuliaan manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataannya, pandangan tentang kemuliaan seseorang itu kini sudah bergeser jauh. Takwa bukan lagi sebagai standar kemuliaan seseorang baik dihadapan manusia bahkan dihadapan Allah Ta’ala.

Standar mulia di mata manusia hari ini hanya terfokus kepada tiga “TA” antara lain; Harta (kekayaan materi), Takhta (kekuasaan dan pengaruh), dan Wanita. Ketiga hal itu yang kini justeru menjadi penilaian mulia tidaknya seseorang. Seolah-olah dengan harta kekayaan semua bisa dibeli dan dimiliki. Dengan kekuasaan semua bisa dikendalikan dan dengan mempunyai istri-istri cantik semua bisa terpuaskan.

Belajarlah dari Zahid

Bukalah sirah kehidupan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama para sahabatnya. Dari sekian banyak kisah, pilihlah kisah Zahid, seorang shahabat yang tidak seterkenal Abu Bakar As Shiddiq, Umar, Utsman atau lainnya. Zahid orang miskin dan berparas tidak rupawan. Ia melamar seorang muslimah yang cantik dan anak seorang yang kaya raya di masa itu. Berikut kisahnya.

Di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada seorang pemuda bernama Zahid. Usianya sudah 35 tahun tapi belum juga berumah tangga. Ia termasuk ahlus shuffah di masjid Madinah. Suatu hari ketika Zahid sedang duduk-duduk, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghampirinya dan mengucapkan salam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Wahai Zahid sahabatku, selama ini engkau sendiri saja.”

“Allah bersamaku ya Rasulullah,” jawab Zahid.

“Maksudku mengapa kamu selama ini membujang saja. Apakah kau tidak mau menikah?” tanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

“Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, wajahku jelek, siapa
yang mau denganku ya Rasulullah?” ucap Zahid sedih.

“Asal engkau mau, Allah akan memudahkanmu,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar seorang wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik.

Akhirnya, surat itu dibawa Zahid ke rumah Said. Lalu Zaid memberikan surat tersebut dan diterima oleh Said. “Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku.”

Said menjawab, “Adalah suatu kehormatan buatku.” Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab pernikahan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus menikah dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus menikah dengan orang kaya, itulah yang dinamakan sekufu.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?” Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong?”

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini? Bukankah lebih baik jika diajak masuk?”

“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.

Di saat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tidak mau ayah!” Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau, bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama Rasul?”

Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.”

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah tidak mengatakan bahwa yang melamar ini atas perintah Rasulullah, kalau begitu segera nikahkan aku dengan pemuda ini.”

Begitulah jawaban orang beriman ketika Allah dan Rasul-Nya memanggil. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 24: 51)

Maka pada hari itu Zahid merasa senang sekali karena akan segera menikah. Ia pun segera pamit, pulang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasul yang bahagia melihat Zahid diterima lamarannya pun bertanya, “Sudah ada persiapan?”

Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.” Akhirnya Rasulullah memintanya pergi menemui Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan pernikahan.

Pada hari yang sama, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap-siap menghadapi kaum kafir yang akan menyerang kaum Muslimin. Sesaat setelah Zahid sampai di masjid, para sahabat dan kaum muslimin sedang bersiap-siap dengan perlengkapan perang.

Zahid bertanya, “Ada apa ini?” Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menyerang  kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Kalau begitu perlengkapan nikah ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”

Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”

Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!” Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan- Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9: 24).”

Akhirnya Zahid yang kadang ada yang memanggilnya Aswad (Si Hitam), setelah akad nikah, beberapa menit kemudian pamit untuk berangkat perang memenuhi amanah Rasulullah. Ia bersama kaum Muslimin lainnya maju ke medan pertempuran, dan ia gugur syahid di jalan Allah.

Sepulang dari pertempuran, demi mendengar kabar itu, Zahid yang belum menyentuh isterinya dan belum berbulan madu, berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”

Lalu Rasulullah membacakan Al Quran, yang artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Ali Imran [3]: 169-170).

Juga ayat, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang- orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Begitulah kehidupan, jangan pernah merasa diri lebih dan mulia dibanding orang lain. Bisa jadi kita punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, tapi sebaliknya orang lain juga bisa jadi punya kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kelemahan kita. Karena itu, jangan pernah merasa lebih mulia di hadapan siapa pun termasuk orang yang  berkulit hitam dan berwajah tidak tampan.

Perlu diingat, kemuliaan hanya milik Allah dan Rasul-Nya, dan orang yang paling mulia di bumi dan di langit, adalah orang yang paling takwa di antara manusia, wallahua’lam. (A/RS3/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.