Oleh: Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
“Jangan Munafiq lo…” Begitulah kata-kata latah yang sering kali terucap dari kalangan generasi muda termasuk generasi muda Islam hari ini. Munafiq, ungkapan ringan yang kini sering jadi bahasa gaul anak muda sering kali dianggap biasa yang jika dilakukan seolah tak mengusik imannya. Padahal, kemunafikan bisa memberi dampak sangat besar dan berat bagi pelakunya. Orang munafiq disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan menempati kerak neraka terbawah.
Karena pentingnya seorang muslim mengetahui masalah munafiq ini, sampai-sampai dalam surat Al Baqarah di awal, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia; kaum mukminin, orang-orang kafir, orang-orang munafik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memaparkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan kerasnya permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan. Allah berfirman yang artinya, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.”Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 11-12).
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?”Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu.” (Qs. Al-Baqarah: 13).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memperolok mereka, “Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Qs. Al-Baqarah: 15).
Di antara bentuk balasan dari Allah Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya.
Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami), dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Qs. Al-Hadid: 12-14).
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu Ta’ala berfirman yang artinya, “Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam.Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (Qs. At-Taubah: 63).
Di dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam.Mereka kekal di dalamnya.” (Qs. At-Taubah: 68).
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (Qs. An-Nisa: 145).
Banyak lagi nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
- Definisi Nifaq
Nifaq (اَلنِّفَاقُ) berasal dari kataنَافَقَ-يُنَافِقُ-نِفَاقاً ومُنَافَقَةً yang diambil dari kata النَّافِقَاءُ (naafiqaa’). Nifaq secara bahasa (etimologi) berarti salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lobang yang lain. Dikatakan pula, ia berasal dari kata النَّفَقُ (nafaq) yaitu lobang tempat bersembunyi. (Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (V/98) oleh Ibnul Atsiir).
Nifaq menurut syara’ (terminologi) berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.”(Qs. At-Taubah: 67).
Yaitu mereka adalah orang-orang yang keluar dari sya-ri’at. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan kebenaran masuk ke jalan kesesatan. (Tafsir Ibnu Katsir (II/405), cet. Daarus Salaam).
Allah menjadikan orang-orang munafiq lebih jelek dari orang-orang kafir. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.”(Qs. An-Nisaa’: 145).
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Allah Azza wa Jalla juga berfirman dalam ayat lain yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka…” (Qs. An-Nisaa’: 142). Lihat juga Al-Quran surat al-Baqarah ayat 9-10.
- Jenis Nifaq
Nifaq ada dua jenis: Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali
Nifaq I’tiqadi (Keyakinan)
Yaitu nifaq besar, pelakunya menampakkan keislaman, tapi menyembunyikan kekufuran. Nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari Islam dan dia berada di dalam dasar Neraka. Allah menyifati pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan mencaci agama dan pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Orang-orang munafiq jenis ini senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam dan mereka tidak mampu membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan seperti itu, mereka masuk ke dalam Islam untuk melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama kaum muslimin dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka. Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Hari Akhir, tapi dalam batinnya mereka berlepas diri dari semua itu dan mendustakannya.
Nifaq jenis ini dibagi menjadi empat (4) macam, yaitu: Pertama, mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
Kedua, membenci Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
Ketiga, merasa gembira dengan kemunduran agama Islam. Keempat, tidak senang dengan kemenangan Islam.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Nifaq ‘Amali (Perbuatan)
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq, tetapi masih tetap ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika perbuatan nifaqnya banyak, maka bisa menjadi sebab terjerumusnya dia ke dalam nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia melewati batas.” (HR. Al-Bukhari (no. 34, 2459, 3178), Muslim (no. 58), Ibnu Hibban (no. 254-255), Abu Dawud (4688), at-Tirmidzi (2632), an-Nasa-i (VIII/116) dan Ahmad (II/189), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu).
Terkadang pada diri seorang hamba terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan buruk, perbuatan iman dan perbuatan kufur dan nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa sesuai konsekuensi dari apa yang ia lakukan, seperti malas dalam melakukan shalat berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang munafiq.Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, sehingga para Sahabat radhiallahu ‘anhuma sangat begitu takutnya kalau-kalau dirinya terjerumus ke dalam nifaq.
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullahu berkata, “Aku bertemu dengan 30 Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.” (Fat-hul Baari (I/109-110)).
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
- Perbedaan antara Nifaq Besar dengan Nifaq Kecil
Para ulama membagi kemunafikan menjadi dua macam, yakni; kemunafikan besar (kubra) dan kemunafikan kecil (asghar). Paling tidak ada empat perbedaan mendasar antara nifaq besar dengan nifaq kecil antara lain sebagai berikut:
Pertama, nifaq besar mengeluarkan pelakunya dari agama, sedangkan nifaq kecil tidak mengeluarkannya dari agama. Kedua, nifaq besar adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal keyakinan, sedangkan nifaq kecil adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal perbuatan bukan dalam hal keyakinan.
Ketiga, nifaq besar tidak terjadi dari seorang Mukmin, sedangkan nifaq kecil bisa terjadi dari seorang Mukmin. Keempat, pada umumnya, pelaku nifaq besar tidak bertaubat, seandainya pun bertaubat, maka ada perbedaan pendapat tentang diterimanya taubatnya di hadapan hakim. Lain halnya dengan nifaq kecil, pelakunya terkadang bertaubat kepada Allah, sehingga Allah menerima taubatnya. (Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/434-435) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 88) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”(Qs. Al-Baqarah: 18).
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Juga firman-Nya yang artinya, “Dan tidakkah mereka (orang-orang munafiq) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” (Qs. At-Taubah: 126).
Bahaya Kemunafikan Asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata, “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus berada dalam kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik akbar.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
Orang Beriman Selalu Khawatir Terjatuh ke dalam Kemunafikan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata, “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan, “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu).
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Mengapa Rasulullah Tidak Membunuh Orang Munafik?
Setidaknya ada empat hikmah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik (dalam hal ini mereka yang memiliki jenis nifaq i’tiqadi), padahal beliau mengetahui sendiri tokoh-tokoh mereka itu. Berikut adalah di antara hikmahnya:
Pertama, agar jangan sampai ada yang mengatakan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membunuh sahabatnya sendiri sehingga menimbulkan fitnah. Disebutkan dalam kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengatakan kepada Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu: “Aku tidak suka kalau nanti bangsa Arab ini memperbincangkan, bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.”
Artinya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada banyak orang Arab untuk masuk Islam, karena mereka tidak mengetahui hikmah dari pembunuhan tersebut. Padahal pembunuhan yang beliau lakukan terhadap orang munafiq itu karena kekufuran. Sedang mereka hanya melihat pada yang mereka saksikan, lalu mereka mengatakan, “Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.”
Kedua, sebagai pelajaran bagi seorang penegak hukum agar tidak memutuskan perkara dengan pengetahuannya semata, namun membutuhkan saksi-saksi yang menguatkan. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik, “Sebenarnya Rasulullah menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik itu dimaksudkan untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan pengetahuannya semata.”
Al-Qurthubi mengatakan bahwa para ulama telah sepakat bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuannya semata, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai hukum-hukum lainnya.
Ketiga, sebagai dalil bahwasanya yang dinilai adalah zhahir (yang nampak), adapun batinnya adalah urursan Allah Ta’ala. Imam asy-Syafi’i mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik atas tindakan mereka menam-pakkan keislaman, meskipun beliau mengetahui kemunafikan mereka itu, karena apa yang mereka tampakkan itu mengalahkan apa yang sebelumnya (kemunaqikan).
Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka berada di tangan Allah.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Artinya, siapa yang telah mengucapkan kalimat “Laa ilaha Illallaah” itu, maka berlaku baginya secara zhahir seluruh hukum Islam, dan jika ia meyakininya, ia akan mendapat pahala di akhirat kelak. Dan jika ia tidak meyakininya, maka tidak akan mendapatkan manfaat baginya (di akhirat nanti) perlakukan hukum terhadapnya di dunia.
Adapun keadaan mereka yaitu bercampur baur dengan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, tetapi kamu mencelaka–kan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah.’” (Qs. Al Hadid: 14).
Maksudnya, mereka bersama-sama dengan orang-orang mukmin di beberapa tempat di padang mahsyar, dan jika hari yang telah ditetapkan Allah itu tiba, maka perbedaan mereka tampak jelas dan akan terpisah dari orang-orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan dihalangi antara mereka dan apa yang mereka inginkan…” (Qs. Saba’: 54).
Keempat, keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menjadikan orang munafik tidak dapat berbuat apa-apa. Di antaranya adalah apa yang dikatakan sebagian ulama, bahwa Nabi tidak membunuh orang-orang munafik itu, karena kejahatan mereka tidak dikhawatirkan dan disebabkan keberadaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di tengah-tengah mereka, beliau membacakan ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Adapun setelah beliau wafat, mereka dibunuh jika mereka menampakkan kemunafikkannya dan hal itu diketahui oleh umat Islam.
Imam Malik mengatakan, “Orang munafik pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah zindiq pada hari ini.”
Mengenai hal itu Ibnu Katsir berkata, para ulama telah berbeda pendapat mengenai pembunuhan terhadap zindiq. Jika ia menampakkan kekufuran, apakah ia harus diminta bertaubat atau tidak, atau apakah harus dibedakan antara penyeru (kepada kezindikkannya) atau tidak, atau apakah kemurtadan berulang-ulang pada dirinya atau tidak? Ataukah ke-Islaman serta keluarnya dari Islam karena kemauan sendiri atau dipengaruhi orang lain? Mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan dan penetapannya sudah diberikan dalam kitab-kitab fiqih.
Jauhi Sifat-Sifat Munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin.
Padahal kemunafikan amali sangat fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu, “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
- Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
- Mengingkari janji
- Mengkhianati amanah
- Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadis ini ada dua:
- Perjanjian dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepadaNya.
- Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjian-nya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Qs. Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik.Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubung–kannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Qs. Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (Qs. At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan, “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, “Siapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya; “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)
Mewaspadai Berbagai Bentuk Kemunafikan
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah.”
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata, “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada PERGERAKAN POLITIK, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan, ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan, ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan, “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)
Saudaraku …
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Wallahua’lam bis shawab.(R02/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)