Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Januari 2016, Bulan Paling Maut Bagi Pengungsi

Rudi Hendrik - Sabtu, 30 Januari 2016 - 20:48 WIB

Sabtu, 30 Januari 2016 - 20:48 WIB

458 Views

Pengungsi tiba di pantai pulau Yunani. (Foto: Antonio Masiello/NurPhoto/Zuma Press)
<a href=

Pengungsi tiba di pantai pulau Yunani. (Foto: Antonio Masiello/NurPhoto/Zuma Press)" width="735" height="459" /> Pengungsi tiba di pantai pulau Yunani. (Foto: Antonio Masiello/NurPhoto/Zuma Press)

Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Januari 2016 menjadi bulan rekor kematian bagi pengungsi dan migran yang menyeberangi Laut Mediterania menuju negara-negara Eropa.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat, sedikitnya 244 pengungsi dan migran meninggal ketika berusaha mencapai Eropa melalui Laut Mediterania, hampir 200 persen lebih tinggi dari 82 orang yang meninggal pada Januari tahun lalu. Sedangkan pada Januari 2014 sebanyak 12 orang.

Sebagaimana laporan Al-Jazeera, lonjakan rekor pada Januari ini memicu kepanikan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk mencegah kematian terus berlanjut di kalangan pengungsi dan migran.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Data IOM menyebutkan, sebanyak 55.528 pengungsi dan migran telah tiba di Eropa sepanjang tahun ini.

Angka UNHCR serupa. Badan pengungsi PBB itu melaporkan bahwa 236 orang tewas atau hilang selama bulan ini, dengan kedatangan melalui laut sebanyak 54.518 orang.

Cari Solusi

Untuk memerangi fenomena ini, kelompok hak asasi manusia dan individu yang bekerja untuk meningkatkan nasib pengungsi menunjukkan bahwa pemerintah harus menyediakan rute yang lebih aman dan jalur hukum yang lebih baik, seperti menerbitkan paspor kemanusiaan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

“Hal ini terjadi karena lebih banyak orang putus asa yang melarikan diri dari negara mereka datang ke Eropa untuk menemukan tempat yang aman,” kata Eva Cosse, seorang peneliti yang berbasis di Human Rights Watch (HRW) Yunani.

“Meskipun jaraknya pendek antara Kepulauan Aegean dan Turki, perahu karet yang penuh sesak tidak dapat membawa banyak orang. Orang-orang mengenakan jaket palsu. Jika ada perahu karam, orang tenggelam,” katanya.

Jarak antara pantai Turki dan Lesbos, pulau utama pendaratan para pengungsi di Yunani, sekitar tiga mil.

“Kami membutuhkan respon kolektif (dari Uni Eropa) untuk memastikan orang-orang ini melakukan perjalanan yang aman ke Eropa, untuk memastikan bahwa orang tidak mempertaruhkan hidup mereka untuk mencapai Yunani. Saya sudah berada di pulau itu berkali-kali. Otoritas Yunani yang meregang. Bantuan lebih lanjut diperlukan dalam operasi pencarian dan penyelamatan,” ujar Cosse.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Yunani disalahkan

Dalam beberapa pekan terakhir, Yunani menjadi semakin terisolasi di panggung diplomatik Eropa. Beberapa menteri dalam negeri Uni Eropa menyalahkan Yunani karena dianggap tidak berbuat cukup untuk membendung aliran pengungsi, dan mengancam melakukan pengusiran terhadap pengungsi dari Area Schengen yang mencakup 26 negara Eropa.

“Ini adalah perbatasan laut. Bagaimana bisa (Yunani) mengamankan perbatasan? Dengan mendirikan pagar mengambang?” kata Cosse menanggapi tekanan terhadap Yunani. “Setelah perahu berada di perairan Yunani, ada kewajiban untuk menyelamatkan mereka, tapi sedikit yang Pemerintah Yunani dapat lakukan.”

IOM mengatakan, dengan 3.771 kematian, 2015 adalah tahun paling mematikan bagi para migran dan pengungsi melintasi Mediterania dalam upaya mencapai Eropa. Sebagai perbandingan, ada 3.279 kematian tercatat di Mediterania pada tahun 2014.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Secara global, IOM memperkirakan lebih dari 5.350 migran yang meninggal tahun lalu.

Mark Micallef, Editor Eksekutif Migrant Report mengatakan kepada Al Jazeera, jumlah orang yang mencoba menyeberang dari Turki ke Eropa meningkat di tengah rasa takut bahwa penutupan perbatasan Eropa semakin dekat.

“Kesan yang saya dapatkan dari berbicara dengan para migran di Turki, tersebar isu luas bahwa Eropa akan menutup pintu,” kata Micallef.

Akibatnya, pengungsi berebut untuk segera mencapai Eropa sebelum terjadi penutupan perbatasan. Hal itu yang membuat semakin banyaknya orang yang meninggal di laut Aegean tahun ini dibanding Januari tahun lalu.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Migrant Report adalah proyek non-profit yang mengukur, menyelidiki dan mendokumentasikan efek perpindahan manusia.

“Penyelundup manusia mengambil keuntungan dari permintaan ini dan jarak yang relatif pendek. Mereka memberikan migran jaket yang tidak layak, dan menempatkan terlalu banyak pengungsi di perahu yang tidak memadai untuk berlayar,” kata Micallef.

Biaya untuk mencapai Pulau Lesbos dari Turki saat ini antara US$ 600 hingga US$ 700 (sekitar Rp 8,5 juta hingga 9,6 juta). Namun, ketika musim panas dan cuaca lebih baik dan lebih aman, harga melonjak menjadi $ 1.000 hingga $ 2.000 (sekitar Rp 18 juta hingga 36 juta).

Relawan di pulau <a href=

Yunani menolong para migran yang datang dengan perahu sarat penumoang. (Foto: GlobalNews.ca)" width="720" height="480" /> Relawan di pulau Yunani menolong para migran yang datang dengan perahu sarat penumoang. (Foto: GlobalNews.ca)

Kembali ke negara awal penampung pengungsi

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Menurut Micallef, untuk mengurangi pertumbuhan jumlah pengungsi di perbatasan dan memperkecil angka kematian, harus ada lebih banyak dukungan kepada negara-negara penampung awal pengungsi seperti Yordania, Lebanon dan Turki.

“Negara-negara ini membutuhkan bantuan,” katanya. “Turki harus didorong untuk memberikan hak-hak dan perlindungan hukum. Sekarang, jika Anda pengungsi, Anda tidak bisa bekerja di sana secara legal.”

Sementara itu, untuk mengurangi tekanan pada Pemerintah Athena dan membendung aliran manusia, pejabat Belanda menimbang rencana untuk mengangkut pengungsi yang tiba di Yunani kembali ke Turki.

Peneliti Yunani dan Siprus asal Amnesty International, Kondylia Gogou, menuding Turki sebagai negara yang tidak aman bagi pengungsi.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

“Turki tidak dapat dianggap sebagai negara yang aman bagi para pengungsi,” kata Gogou. “Dalam beberapa bulan terakhir, pengungsi secara ilegal kembali ke Irak dan Suriah.”

“Skema pemukiman skala besar untuk pengungsi dari Turki ke Uni Eropa adalah ide yang baik, tetapi menyeberangi perbatasan dengan tidak teratur sama saja dengan barter dalam kehidupan (nyawa) manusia,” katanya.

Amnesty memperkirakan bahwa pada Januari 2016, lebih dari 160 orang telah tenggelam dalam usahanya untuk menyeberangi Laut Aegean, termasuk banyak anak-anak di antaranya.

“Dalam beberapa tahun terakhir, memblokir satu rute ke Eropa telah pasti menyebabkan pengungsi mengambil rute lain, sering lebih berbahaya,” jelas Gogou.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

“Menawarkan rute hukum yang aman ke Eropa adalah satu-satunya solusi yang berkelanjutan untuk situasi pengungsi. Sekarang pengungsi sering mengambil rute yang lebih berbahaya, termasuk jalur laut untuk mencari perlindungan dan kami melihat peningkatan dramatis dalam jumlah bangkai perahu dan kematian,” tambahnya.

Sebanyak 3.000 orang terus berdatangan setiap hari di Yunani, meskipun kondisi cuaca berbahaya. (P001/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Dunia Islam
Feature
Internasional
Indonesia