DALAM hidup ini, hampir semua orang senang ketika dipuji. Kata-kata manis terdengar seperti angin sejuk yang menyentuh hati dan membuat kita merasa berarti. Namun, tidak semua pujian membawa kebaikan. Sebaliknya, banyak pujian justru menjadi jerat yang perlahan menjerumuskan jiwa.
Imam Asy-Syafi‘i rahimahullah mengingatkan sebuah nasihat emas yang sangat relevan untuk zaman penuh pencitraan seperti hari ini. Beliau berkata, “Orang yang paling zalim terhadap dirinya sendiri adalah: (1) orang yang merendahkan diri kepada pihak yang tidak menghargainya, (2) berharap kasih sayang dari orang yang tidak memberi manfaat baginya, dan (3) menerima pujian dari orang yang bahkan tidak mengenalnya.” (Manaqib Asy-Syafi‘i, 2/193)
Perkataan ini bukan sekadar kalimat indah. Ia adalah cambuk bagi siapa pun yang hidup di era media sosial, ketika like, komentar, dan pujian seolah menjadi standar kebahagiaan. Tanpa sadar, banyak orang rela merendahkan martabatnya demi mendapatkan pengakuan dari manusia. Padahal, penghargaan manusia tidak pernah menjamin kebahagiaan sejati.
Pertama, Merendahkan Diri kepada Orang yang Tidak Menghargai
Baca Juga: Hati-hati Jebakan Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza
Sering kali seseorang menurunkan harga dirinya demi menarik perhatian orang lain. Ia rela mengikuti gaya hidup yang tidak sesuai prinsip, hanya agar diterima atau dipuji. Padahal Allah Ta‘ala telah memuliakan setiap hamba-Nya yang beriman.
Allah berfirman,
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8)
Bagaimana mungkin kita merendahkan diri kepada manusia yang tidak memberi nilai apa pun, padahal Allah sudah menempatkan kita pada derajat yang mulia?
Baca Juga: Fitnah Takkan Menguasai Muslim yang Berjama’ah
Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk memiliki izzah (harga diri) yang benar. Beliau bersabda,
لَا تَكُنْ إِمَّعَةً
“Janganlah kamu menjadi orang yang mudah terbawa arus (tanpa prinsip).” (HR. Tirmidzi)
Ketika seseorang rela merendahkan diri demi pujian, sebenarnya ia telah melukai martabatnya sendiri. Ia mengijinkan dirinya menjadi kecil hanya agar tampak besar di mata manusia.
Kedua, Mengharap Kasih Sayang dari Orang yang Tidak Memberi Manfaat
Baca Juga: Al-Jama’ah, Tempat Merawat Hati dari Fitnah Akhir Zaman
Banyak orang memberikan seluruh energinya untuk dicintai manusia, padahal tidak semua manusia mampu atau mau membalas cinta yang tulus. Kadang, kita berharap perhatian dari orang yang tidak peduli sedikit pun terhadap kita. Kita kejar mereka, padahal mereka tidak pernah memberikan kebaikan bagi akhirat atau kehidupan kita.
Allah Ta‘ala mengingatkan,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ
“Sesungguhnya itu hanyalah setan yang menakut-nakuti kalian dengan para pengikutnya.” (QS. Ali ‘Imran: 175)
Setan membuat seseorang takut kehilangan perhatian manusia sehingga ia memaksa diri untuk diterima. Padahal, perhatian yang tidak membawa manfaat hanya menambah luka batin dan melemahkan keimanan.
Baca Juga: Ayah yang Tak Sempurna Tapi Selalu Berusaha
Cinta manusia tidak kekal, sedangkan cinta Allah-lah yang paling tulus. Nabi SAW bersabda,
مَنْ التَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ
“Barangsiapa mencari ridha Allah meski manusia tidak suka, Allah akan meridhainya dan menjadikan manusia pun ridha kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, untuk apa mengejar kasih sayang manusia yang tidak memberi manfaat, sementara Allah menawarkan cinta yang abadi?
Ketiga, Terlena oleh Pujian dari Orang yang Tidak Mengenalmu
Baca Juga: Ayat-Ayat Kauniyah di Gaza
Inilah jebakan terbesar pada zaman ini. Banyak orang senang ketika dipuji oleh orang asing di internet—orang yang tidak mengetahui siapa dirinya, tidak mengetahui perjalanan hidupnya, tidak mengetahui keadaan hatinya. Pujian yang tidak berdasar sering menipu, membuat seseorang merasa sudah cukup baik, padahal masih banyak kekurangan yang harus ia perbaiki.
Rasulullah SAW bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ
“Jika kalian melihat orang yang suka memuji berlebihan, maka taburkanlah tanah ke wajah mereka.” (HR. Muslim)
Ini bukan perintah melukai, tetapi peringatan agar jangan terlalu memanjakan pemuji, karena pujian yang berlebihan bisa merusak hati.
Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Mulai Retak, Ada Hati yang Masih Ingin Berjuang
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Pujian itu seperti sembelihan, kecuali bagi orang yang benar-benar mengenalmu.” Artinya, pujian dapat “membunuh” hati jika tidak berhati-hati.
Jangan biarkan pujian menjadi racun yang membuatmu lupa diri. Jangan biarkan perhatian manusia menjadi alasan kamu kehilangan kemuliaan. Belajarlah menerima pujian hanya sebagai motivasi untuk memperbaiki diri, bukan sebagai tempat bersandar.
Jadilah seperti tanah yang subur: ia tidak butuh dipuji untuk tetap memberi manfaat. Ia cukup tahu bahwa Allah melihatnya.
Ingatlah, kemuliaanmu bukan berasal dari sanjungan manusia, tapi dari hubunganmu dengan Allah. Pujian manusia boleh datang dan pergi, tapi nilai dirimu di sisi Allah adalah yang paling berharga.[]
Baca Juga: Jahannam Tidak Butuh Penghuni, Tapi Manusia Sendirilah yang Memilihnya
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Nabi Sulaiman Alaihi Salam Raja Muslim Terbesar Sepanjang Masa
















Mina Indonesia
Mina Arabic