Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jejak Awal Kelahiran Drakor, Industri Hiburan atau Propaganda?

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Ahad, 7 September 2025 - 16:04 WIB

Ahad, 7 September 2025 - 16:04 WIB

13 Views

Fakta menunjukkan bahwa drakor adalah kombinasi keduanya: hiburan yang indah sekaligus propaganda yang cerdas.(foto: ig)

PADA tahun 1956, Korea menyaksikan kelahiran drama televisi pertamanya, Heaven’s Gate, yang ditayangkan di HLKZ-TV (Encyclopedia Britannica). Dari layar kecil itulah sebuah perjalanan panjang dimulai, yang kelak menjelma menjadi fenomena global bernama drakor.

Meski sederhana, karya tersebut menjadi simbol awal bahwa kisah dapat menyatukan bangsa yang kala itu masih berjuang keluar dari trauma perang. Drakor lahir bukan hanya untuk menghibur, tetapi untuk memberi napas baru pada masyarakat yang haus akan harapan. Sejak saat itu, layar kaca Korea tidak lagi sekadar hiburan, melainkan media pembentuk kesadaran kolektif.

Memasuki dekade 1960–1970, tiga stasiun besar—KBS, MBC, dan TBC—menjadi motor penggerak maraknya drama Korea. Seiring televisi mulai memasuki rumah-rumah warga, drama pun menjelma menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat.

Hiburan ini bukan hanya menyuguhkan cerita, tetapi juga menyisipkan nilai, pola pikir, dan gaya hidup baru. Seperti tarian budaya yang halus, drakor mengikat hati penontonnya sambil memperkenalkan wajah Korea modern. Inilah bukti bahwa hiburan selalu berjalan beriringan dengan misi sosial dan politik.

Baca Juga: Akankah Qatar Lakukan Serangan Balik ke Israel?

Jika dilihat sekilas, drakor adalah rangkaian kisah cinta, keluarga, dan konflik emosional yang menghibur. Namun dari sisi lain, pemerintah Korea Selatan menjadikannya sebagai instrumen nation branding yang disadari sepenuhnya.

Melalui gelombang budaya ini, Korea menanamkan citra diri sebagai bangsa yang dinamis, kreatif, dan penuh pesona. Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai soft power, yaitu kekuatan memengaruhi dunia tanpa senjata. Hiburan pun menjelma menjadi propaganda halus yang bekerja tanpa disadari.

Akhir 1990-an menjadi era penting, ketika drama seperti What Is Love? dan Winter Sonata meledak di Jepang dan Tiongkok. Winter Sonata bahkan mendongkrak pariwisata Korea, menarik ribuan wisatawan Jepang ke lokasi syutingnya (Kompas, Britannica).

Fenomena ini dikenal sebagai gelombang Hallyu, atau Korean Wave, yang menyebarkan budaya Korea ke seluruh Asia. Dari sekadar drama televisi, Korea kini membangun diplomasi budaya yang elegan. Hiburan sederhana berubah menjadi simbol nasional yang memesona.

Baca Juga: Mengapa Zionis Serang Petinggi Hamas di Qatar?

Memasuki era digital, popularitas drakor semakin tak terbendung. Pada tahun 2021, Squid Game mencetak sejarah dengan 1,65 miliar jam tayang dalam sebulan di Netflix (Britannica).

Angka ini bukan hanya rekor tontonan, melainkan bukti bahwa drakor telah menjadi fenomena global. Dunia seakan tersihir oleh kisah yang mengguncang hati, meski lahir dari realitas keras masyarakat Korea. Inilah saat hiburan menjadi kekuatan global yang menyatukan jutaan hati di berbagai belahan dunia.

Kesuksesan drakor membuat raksasa streaming seperti Netflix berinvestasi besar di Korea. Pada 2023, Netflix mengucurkan dana hingga US$2,5 miliar untuk produksi konten Korea (Britannica).

Angka ini menunjukkan bahwa drakor bukan lagi sekadar karya seni, tetapi juga mesin ekonomi yang berputar cepat. Korea Selatan menjual budaya sekaligus membangun citra diri di panggung dunia. Hiburan telah berubah menjadi komoditas strategis yang mengangkat kebanggaan nasional.

Baca Juga: 3 Warisan Nabi Adam untuk Menghidupkan Iman dan Perjuangan

Lebih dari sekadar tontonan, drakor juga menjadi cermin sosial bagi masyarakatnya. Drama seperti It’s Okay to Not Be Okay mengangkat isu kesehatan mental, sementara Weak Hero Class 1 menyoroti bullying dan diskriminasi.

Kedua karya ini menyentuh sisi kemanusiaan penonton dengan jujur dan menyayat hati. Penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga diajak merenung tentang luka yang tersembunyi dalam kehidupan nyata. Dengan cara halus, drakor mengubah empati menjadi kekuatan transformasi sosial.

Sebelum drakor modern lahir, Korea memiliki warisan seni klasik seperti Sandae-nori, drama tari topeng yang dikelola oleh lembaga pemerintahan (Wikipedia). Seni ini berfungsi sebagai hiburan sekaligus alat pendidikan sosial bagi masyarakat. Di sana terlihat bagaimana propaganda halus telah berakar sejak lama melalui seni pertunjukan.

Drakor modern hanyalah kelanjutan dari tradisi panjang tersebut dalam balutan teknologi baru. Dengan kata lain, hiburan dan propaganda memang tidak pernah terpisahkan.

Baca Juga: Kaljasadil Wahid Katanya, Atau Hanya Omdo?

Sejarah film Korea pun menunjukkan jejak yang serupa. Film pertama mereka, Righteous Revenge (1919), tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan perlawanan terhadap kolonialisme Jepang (Wikipedia).

Lewat medium seni, masyarakat menemukan cara untuk menyuarakan identitas dan perlawanan. Drama menjadi jembatan antara realitas keras dan harapan akan kebebasan. Dari sinilah kita paham bahwa sejak awal, hiburan di Korea sarat dengan makna politik dan nasionalisme.

Korea Selatan juga menjadikan hiburan sebagai sarana diplomasi. Dalam upaya meredakan ketegangan dengan Korea Utara, pemerintah pernah menggelar konser K-Pop di Pyongyang (Unud Journal).

Hiburan dipakai sebagai jembatan komunikasi, bukan sekadar tontonan. Drakor dan K-Pop menjadi bahasa universal yang lebih mudah dipahami ketimbang pidato politik. Di sini terlihat betapa budaya mampu melampaui batas ideologi.

Baca Juga: 12 Efek Buruk Drakor bagi Akidah Generasi Muslim

Dampak Hallyu tidak hanya terasa di Korea, tetapi juga di negara lain termasuk Indonesia. Penelitian menunjukkan penggemar drakor dan K-Pop di Indonesia sering meniru gaya hidup, fesyen, hingga produk kecantikan idolanya (Jurnal JPE Unej).

Dari tontonan, lahir perilaku konsumsi baru yang memengaruhi ekonomi lokal. Fenomena ini menunjukkan betapa besar daya pengaruh drakor terhadap gaya hidup masyarakat. Hiburan menjadi mesin pembentuk tren yang merasuk ke lapisan sosial.

Drakor juga memainkan peran dalam pendidikan dan komunikasi generasi muda. Studi menunjukkan, mahasiswa Generasi Z membentuk gaya komunikasi dan pola pikirnya melalui tontonan drama Korea (Jurnal UMJ). Teori kultivasi menjelaskan bagaimana media mampu membentuk realitas dalam benak penontonnya.

Dengan kata lain, drakor tidak hanya hadir di layar, tetapi juga meresap ke dalam cara kita berpikir. Inilah kekuatan budaya yang bekerja dalam diam namun efektif.

Baca Juga: Serangan Drone Menghajar, Global Sumud Flotilla Tetap Berlayar

Pasca krisis finansial Asia 1997, Korea Selatan justru bangkit dengan strategi baru: menjual budaya. Hallyu dijadikan alat untuk memperkuat citra Korea sebagai bangsa yang digital sekaligus berakar pada tradisi (The Guardian).

Langkah ini berhasil, karena kini Korea dikenal sebagai pusat kreativitas dunia. Drakor adalah wajah dari strategi kebangkitan ekonomi sekaligus pengakuan global. Dengan cara ini, propaganda dan hiburan menyatu menjadi satu gelombang besar.

Dari semua jejak itu, jelas bahwa drakor bukan hanya hiburan sederhana. Ia adalah karya seni yang diramu dengan cermat, dibungkus dengan narasi yang menyentuh hati, namun menyimpan motif ekonomi dan diplomasi.

Setiap kisah cinta, air mata, dan perjuangan yang disajikan membawa pesan yang lebih dalam. Di balik layar, ada misi untuk meneguhkan citra bangsa dan memperluas pengaruh. Drakor pun menjadi senjata halus dalam perang citra global yang nyaris tak terasa.

Baca Juga: Pembelaan Sultan Abdul Hamid II terhadap Palestina

Ketika kita larut dalam kisah-kisah drakor, sesungguhnya kita sedang berada dalam pusaran budaya yang sarat makna. Setiap adegan menyelipkan harapan, cinta, dan kerinduan kolektif yang mengikat hati penonton.

Namun pertanyaannya, apakah kita hanya sedang menikmati hiburan, atau sedang dipersuasi oleh sebuah ambisi bangsa? Fakta menunjukkan bahwa drakor adalah kombinasi keduanya: hiburan yang indah sekaligus propaganda yang cerdas. Dan di momen kita tersentuh oleh kisah-kisahnya, kita sadar bahwa hiburan bisa menjadi bahasa paling kuat untuk menggerakkan dunia.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Sam’i wa Thaat: Kultur Mulia dalam Kehidupan Al-Jama’ah

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Kolom