BERADA di lingkungan yang gemar dengan permainan dan bergaya perlente ala anak SMA, Wahyudi muda justru memiliki minat berbeda. Ia gemar menghadiri majelis pengajian, memperdalam ilmu agama, dan rajin shalat berjamaah di masjid.
Saat bergaul dengan teman-temannya di SMA Negeri 1 Garut, Jawa Barat, Wahyudi menyimpan semangat membara untuk menggeluti ilmu agama, memperdalam ilmu-ilmu yang dapat mengantarkannya kepada kecintaaan kepada tuhannya.
Bagi Wahyudi muda, menghadiri majelis ilmu agama bukan hanya sekadar menjadi tempat untuk memperdalam pengetahuan dan memperkuat iman. Lebih dari itu, ia seakan mendapat energi positif berlipat ganda. Setiap kali selesai mengahadiri majelis ilmu, ia selalu merasa lebih bersemangat, terpancar aura luar biasa yang membuat sangat bergairah menjalani kehidupan.
Tidak berhenti di situ, Wahyudi muda pun berusaha mengajak teman-teman sekelasnya untuk bersama belajar mendalami ilmu agama. Maka, setiap hari Sabtu pada jam pelajaran terakhir, Wahyudi membuat halaqah kecil bersama sebagian teman sekelasnya untuk mengaji. Itulah saat pertama Wahyudi muda berceramah di hadapan teman-temannya, tepatnya sejak tahun 1985.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Ia lantas terus belajar berceramah, retorika berkhutbah dan banyak membaca buku-buku tentang dakwah. Wahyudi muda juga sering mendengar kisah-kisah inspiratif para ustadz dan ajengan yang berkhidmad dalam dunia dakwah. Hal itulah yang membuat benih-benih semangat dakwahnya semakin berkembang.
Wahyudi menyadari, berdakwah membutuhkan ilmu dan keterampilan. Maka ia persiapkan ilmu, wawasan dan keterampilan sebaik-baiknya, berlatih sesering mungkin agar mampu menyampaikan risalah dakwah dengan baik dan bijaksana.
Sebuah Panggilan Hati, Meniti Jalan Dakwah
Setelah lulus SMA, Wahyudi sempat masuk ke sebuah universitas, dengan jurusan statistik terapan. Beberapa lama belajar di jurusan tersebut, semangatnya untuk meniti dunia dakwah ternyata tidak terbendung lagi. Jurusan yang ia ambil rasanya tidak berhubungan langsung dengan dunia dakwah yang ia dambakan.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Setiap kali mendengar suara adzan di sebuah masjid kecil di dekat rumahnya, hatinya selalu terenyuh. Ia ingin sekali meneruskan dakwah di kampungnya, mengajak para tetangga shalat berjamaah, memakmurkan masjid itu.
Ada bisikan dan panggilan kuat dalam hatinya, di mana ia harus berbagi ilmu dan kebaikan. Suara hati terus mengajaknya untuk bangun, belajar dan berdakwah agar masyarakat di kampungnya, dan kampung-kampung selainnya, mengajak mengenal Tuhannya dengan benar, memahami tuntunan agamanya dengan baik.
Akhirnya, Wahyudi memutuskan untuk mengambil kuliah yang sesuai dengan panggilan hatinya. Ia mantap kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya, pada Fakultas Syariah, Jurusan Ahwalus Syakhshiyyah.
Memang, perjalanan dakwah tidak selalu mulus. Tidak sedikit yang meragukan kemampuannya, mencemooh ajakan dakwahnya. Sampai-sampai Wahyudi pernah diusir, ketika sedang menyampaikan dakwahnya kepada sebuah keluarga.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Namun ia tidak putus asa. Meski sebagian orang membencinya, ia tetap menjalankan dakwahnya. Bersama beberapa rekan di kampusnya, ia melakukan koordinasi dan kosolidasi, memperbaiki sistem dan metode yang belum sempurna.
Ia terus belajar menyempurnakan ilmu dan ketrampilan dakwahnya. Tidak segan-segan, Wahyudi mendatangi para ajengan, asatidz dan pondok pesantren untuk terus mendalami ilmu agama, memohon petunjuk dan arahan kepada para senior, tentang berdakwah yang bijaksana.
Dengan sabar, lelaki kelahiran 20 April 1968 ini terus mengajak para pemuda, tetangga dan masyarakat luas untuk mencintai Islam agamanya. Lambat laun, beberapa pemuda mulai tertarik. Ia mulai mendpat kepercayaan mengisi mejelis taklim di beberapa tempat, di daerah Garut, Tasikmalaya dan beberapa daerah di Jawa Barat.
Wahyudi mulai menyadari, dalam dunia dakwah, bukan yang paling pintar yang diterima, bukan yang paling ahli yang akan mendapat kepercayaan dan kemuliaan. Tapi ketulusan, keikhasan dan kesabaran lah kunci dari itu semua.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Ilmu dan keterampilan memang perlu. Namun ketulusan dan keikhasan serta sabar menjalaninya, itulah yang akan menjadi kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam berdakwah, ia berpegang pada nasihat gurunya, Ustaz Saefuddin Mardjuki rahimahullah. “Ingat selalu tiga hal dalam dakwah. Pertama, selalu ingat allah dalam kondisi apapun, kedua, selalu berpijak pada dalil Al-qur’an dan sunnah, dan ketiga, jangan dipolitisir (disertai kepentingan duniawi).”
Menjadi Dai Pemersatu Umat
Perjalanan dakwah Wahyudi di beberapa tempat di Jawa Barat mengantarkan ia ke Pondok Pesantren Al-Fatah di Desa Pasirangin, Cileungsi, Kabupaten Bogor. Di pondok tersebut, ia semakin mantap, berkhidmat dalam dunia dakwah, mengajak masyarakat mencintai agamanya, menjalankan syariatnya, membangun persatuan, dan persaudaraan antar sesama.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Wahyudi selalu teringat akan nasihat para senior-seniornya di Pondok Pesantren Al-Fatah tersebut. Ketika suatu hari, ia merasa gamang, mana yang harus didahulukan, apakah dakwah atau pendidikan, maka gurunya mengatakan, “Priorotaskan menjalankan dakwah dan amanah, maka Allah Ta’ala akan menguatkanmu dengan dunia.”
Nasihat itulah yang selalu menjadi penyemangat bagi Wahyudi untuk mantap tetap senantiasa berada di dunia dakwah. Baginya, dakwah adalah nomor satu. Berdakwah adalah amalan manusia-manusia terbaik, penerus risalah kenabian, pelanjut cita-cita para ulama.
Sejak 2003 hingga sekarang, Ustadz Wahyudi sudah berceramah di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu. Kepercayaan demi keparcayaan ia dapatkan. Hingga saat ini, ia sudah pernah menyampaikan dakwah berbagai wilayah, dari Sabang, Aceh hingga Timika, Papua.
Mahabenar janji Allah Ta’ala. Terbuktilah nasihat para kiyai senoirnya. Pada Agustus 2024, Wahyudi telah menyelesaikan studinya hingga jenjang doktoral di Universitas PTIQ Jakarta, jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Konsentrasi Pendidikan Berbasis Al-Qur’an.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Ustadz Wahyudi tercatat sebagai doktor ke-286 lulusan universitas tersebut, berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pembelajaran Akhlak pada Interaksi Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS Perspektif Al Qur’an.”
Gelar tersebut menambah rasa takut pada Allah Ta’ala karena bertambahnya tanggung jawab akademik. Di sisi lain, hal itu semakin membuat Ustadz Wahyudi untuk terus bersemangat dalam dunia dakwah, menjadi penyeru, mengajak umat kepada persatuan, persaudaraan mengamalkan kehidupan berjamaah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Baginya, tantangan terberat dalam dakwah adalah ketika mendapat sanjungan dan pujian. Hal itu dapat membuat seorang dai terlena, hingga tidak sadar bangga dengan prestasinya, lupa bahwa itu semua atas izin dan kehendak Allah semata.
Cita-cita yang diimpikan Ustadz Wahyudi dalam dakwah adalah mengajak umat Islam hidup berjamaah, menjalin ukhuwah, merajut persaudaraan, membangun sinergi, menyatukan potensi sehingga umat menjadi kuat, mampu menolong saudara-saudaranya yang terjajah dan teraniaya, khusunya di Palestina, dan di negeri-negeri minoritas lainnya.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Ustadz Wahyudi ingin menyampaikan risalah dakwah persatuan dan ukhuwah ini kepada semua umat Islam Indonesia, juga di berbagai negara.
“Saya bercita-cita membuka dakwah dan meratakan pemahaman tentang Islam dan persatuan umat ini di 83.763 desa, 7.277 kecamatan, 514 kabupaten, 38 provinsi dan 195 negara di dunia,”
Ia berharap, cita-cita itu tercapai. Jika pun belum kesampaian, Wahyudi KS yakin akan ada generasi setelahnya yang dapat melanjutkan estafet dakwah tersebut. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat