TANAH suci Palestina bukan hanya saksi lahirnya para nabi, tetapi juga menjadi saksi bisu penderitaan yang tak berkesudahan. Sejak puluhan tahun lalu, bumi yang diberkahi itu terus berlumuran darah akibat kebiadaban Zionis Israel. Di balik tembok-tembok kota tua Yerusalem, di jalanan Gaza yang porak-poranda, tersimpan jejak luka yang tak pernah kering. Inilah tanah yang seharusnya menjadi tempat kedamaian, namun berubah menjadi ladang pembantaian.
Seorang ibu di Gaza pernah berteriak lirih di tengah reruntuhan rumahnya yang hancur. Dengan tangan bergetar, ia memeluk jenazah bayinya yang masih merah. “Apa dosa anakku?” serunya. Pertanyaan itu menggema, menembus hati nurani siapa pun yang mendengarnya. Namun dunia seakan tuli, membiarkan Israel terus menumpahkan darah tanpa ada rasa bersalah.
Kekejaman Zionis tidak hanya menyasar para pejuang, tetapi juga anak-anak yang sedang belajar di sekolah, para jamaah yang sedang shalat di masjid, hingga lansia yang tak lagi berdaya. Mereka menembakkan peluru seolah tidak ada kehidupan yang berharga di depan mata. Rumah sakit dibom, ambulans ditembaki, bahkan jenazah pun dibiarkan terkapar tanpa dihormati.
Sejarah panjang agresi Israel mencatat fakta yang memilukan. Setiap gencatan senjata hanyalah jeda untuk persiapan serangan berikutnya. Di balik jargon “pertahanan diri”, Israel menutupi wajah aslinya: mesin penjajah yang haus tanah dan darah. Padahal, Al-Qur’an dengan tegas menyebut Palestina sebagai tanah suci yang diberkahi bagi seluruh umat manusia, bukan milik segelintir kelompok yang merampas dengan kekerasan.
Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Banjir Bali: Sesajen Bukan Penolong, Allah-lah Pelindung
Jejak darah di tanah suci itu kini menjadi warisan luka bagi generasi demi generasi Palestina. Anak-anak tumbuh besar tanpa ayah, tanpa rumah, bahkan tanpa mainan selain batu dan puing-puing. Namun, di mata mereka yang bening, tetap ada api keberanian. Mereka melempar batu menghadapi tank baja, dengan tekad yang tidak pernah bisa dibeli oleh kekuatan dunia.
Dunia menyaksikan semuanya. Media internasional menayangkan gambar anak-anak dengan wajah penuh debu dan darah. Namun ironisnya, banyak negara justru bungkam. Mereka menutup mata, seakan kemanusiaan bisa ditukar dengan kepentingan politik dan ekonomi. Inilah wajah nyata dunia modern: begitu cepat bersuara ketika kepentingan mereka terganggu, tetapi begitu bisu saat nyawa Muslim Palestina melayang sia-sia.
Salah satu momen yang paling menggetarkan adalah saat serangan udara menghantam Masjid Al-Aqsha, tempat suci ketiga umat Islam. Jamaah yang sedang sujud digempur dengan gas air mata dan peluru karet. Bayangkan, rumah Allah yang seharusnya menjadi benteng kedamaian justru dinistakan dengan begitu keji. Jejak darah di pelataran masjid itu adalah saksi kebiadaban yang tak akan dilupakan sejarah.
Namun, dari balik kengerian itu, kita menemukan cahaya iman yang tak pernah padam. Setiap kali rumah hancur, rakyat Palestina berkata, “Kami akan membangunnya kembali.” Setiap kali anak-anak mereka gugur, mereka berkata, “Mereka syahid di jalan Allah.” Keteguhan itu membuat dunia terperangah, karena meski dipenjara, disiksa, dan dibantai, semangat mereka tidak pernah patah.
Fakta-fakta kekejaman Israel bukan sekadar angka korban jiwa. Di balik setiap angka ada wajah, ada cerita, ada kehidupan yang direnggut paksa. Seorang dokter yang kehilangan seluruh keluarganya, tetapi tetap mengobati pasien dengan senyum. Seorang guru yang mengajar murid-muridnya di bawah tenda, meski sekolahnya rata dengan tanah. Inilah potret heroik bangsa yang tidak menyerah meski diinjak-injak.
Bagi umat Islam, Palestina bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal iman. Rasulullah SAW pernah bersabda tentang keutamaan Masjid Al-Aqsha dan tanah sekitarnya. Membela Palestina berarti membela kehormatan umat Islam. Maka, jejak darah yang tertinggal di tanah suci itu adalah panggilan bagi kita semua: sampai kapan kita akan diam?
Kekejaman Zionis Israel adalah ujian besar bagi hati nurani dunia. Mereka yang memilih diam berarti telah ikut membiarkan penjajahan terus berlangsung. Sedangkan mereka yang bersuara, yang berdoa, yang membantu dengan apa yang bisa mereka lakukan, adalah bagian dari barisan kebenaran. Allah menjanjikan kemenangan bagi mereka yang sabar dan istiqamah di jalan-Nya.
Bayangkan jika darah yang tumpah itu adalah darah anak kita. Bayangkan jika rumah yang hancur itu adalah rumah kita. Maka, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak sementara saudara-saudara kita di Palestina menatap langit dengan ketakutan, tidak tahu kapan roket berikutnya akan jatuh?
Baca Juga: Ketika Doa dan Air Mata Menyatu di Baitullah, Kisah Perjalanan Umrah Arsih Fathimah
Jejak darah di tanah suci adalah cermin betapa dunia ini penuh ketidakadilan. Namun, ia juga menjadi tanda bahwa perjuangan belum berakhir. Setiap darah syuhada adalah benih yang menumbuhkan keberanian baru. Setiap tangisan adalah doa yang menembus langit. Dan setiap luka adalah saksi yang akan menjerat para penjahat di hadapan Allah kelak.
Kini saatnya kita memilih: menjadi penonton yang hanya menggeleng kepala, atau menjadi bagian dari sejarah yang berpihak pada kebenaran. Palestina menunggu doa kita, harta kita, suara kita, dan keberanian kita. Karena jejak darah di tanah suci itu tidak boleh dibiarkan sia-sia.
Pada akhirnya, Zionis Israel bisa saja menodai tanah Palestina dengan darah, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memadamkan cahaya iman. Allah telah berjanji, kebenaran akan menang, meski seluruh dunia bersekongkol melawan. Dan hari itu pasti datang. Sampai saatnya tiba, kita tidak boleh berhenti berdoa, berjuang, dan bersuara.[]
Mi’raj News Agency (MINA)