Oleh Siti Aminah, S.Pd.I., M.Pd., Koordinator Muslimah Learning Center (MLC) dan Maemunah Center Indonesia (MaeCI) Biro Jawa Barat
KETIKA takbir menggema di seluruh penjuru dunia pada 10 Dzulhijjah, saat jutaan muslim menunaikan ibadah haji dan jutaan lainnya menyembelih hewan qurban, sesungguhnya kita sedang menapaktilasi jejak spiritual keluarga besar yang luar biasa: Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, istri-istrinya Hajar dan Sarah, serta anak-anak mereka, Ismail dan Ishaq.
Mereka bukan hanya tokoh sejarah, tetapi representasi nyata dari ketauhidan, ketaatan, dan pengorbanan dalam skala yang tidak bisa dijangkau oleh nalar biasa.
Ketaatan yang Melampaui Logika
Baca Juga: Bidadari Dunia: Menjadi Muslimah Tangguh di Zaman Penuh Ujian
Puncak pengorbanan dalam sejarah manusia adalah ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail. Secara logika, perintah itu terasa mustahil.
Bagaimana mungkin seorang ayah diminta mengorbankan anak yang sangat dicintai, anak yang telah ia tunggu selama puluhan tahun? Namun, Ibrahim tidak mendebat. Ia tidak menawar. Ia tidak mendahulukan akal atau perasaan. Ia langsung berserah.
Ketaatan Ibrahim bersumber dari ketauhidan yang murni: keyakinan bahwa Allah tidak pernah memerintahkan sesuatu kecuali mengandung hikmah yang agung, meski tersembunyi dari pandangan manusia. Dan Ismail, yang juga dibesarkan dalam lingkungan keimanan yang kuat, merespons perintah itu dengan ucapan yang mengguncang hati, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dari sini kita belajar, iman sejati adalah mendahulukan perintah Allah di atas logika, rasa, bahkan naluri kemanusiaan yang paling dalam. Logika bisa terbatas. Perasaan bisa berubah. Tetapi wahyu Ilahi adalah mutlak. Maka, siapa yang mengikuti perintah Allah dengan keyakinan, akan Allah bimbing menuju kebaikan yang tak pernah terbayangkan.
Baca Juga: Tips Islami Menjadi Istri Idaman: Menyentuh Surga Lewat Cinta dan Taqwa
Kekuatan Perempuan dalam Iman dan Ikhtiar
Dalam kisah keluarga ini, Hajar bukan hanya ibu dari Nabi Ismail, tetapi juga simbol kekuatan perempuan yang bertumpu pada iman. Saat ia ditinggalkan oleh Ibrahim di tanah gersang yang kelak menjadi Makkah, ia hanya bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Dan ketika dijawab, “Ya,” ia tidak meratap atau memberontak. Ia berkata yakin, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Kalimat itu lahir dari hati yang telah mengenal Allah, Tuhan yang Maha Pemelihara.
Tanpa menyandarkan nasib pada manusia, Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah, mencari air demi buah hatinya. Usaha itu tidak sia-sia. Dari bawah kaki Ismail, Allah pancarkan zamzam, air kehidupan yang terus mengalir hingga hari ini. Maka, ikhtiar yang dilakukan dengan tawakal akan menghasilkan keberkahan yang langgeng, bahkan melampaui usia pelakunya.
Sarah, istri pertama Ibrahim, juga tak kalah mulia. Ia menanti kehadiran seorang anak selama puluhan tahun, tetap setia dan taat. Bahkan ketika Hajar hadir dalam rumah tangga mereka dan melahirkan Ismail, Sarah tidak larut dalam cemburu yang memecah keimanan. Di usia senja, Allah mengabulkan doanya dan mengaruniainya seorang putra, Ishaq. Dari Sarah, kita belajar bahwa kesabaran adalah bentuk ketaatan yang paling tenang, dan ridha adalah mahkota perempuan beriman.
Baca Juga: Suara Aktivis Maemuna Center Indonesia Kuatkan Dukungan untuk Gaza
Qurban, Haji, dan Keluarga yang Mewariskan Tauhid
Setiap tahun, jutaan muslim menunaikan ibadah haji dan menyembelih hewan qurban. Tetapi apakah kita menyadari bahwa inti dari semua itu adalah pengulangan nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga Ibrahim?
Saat kita melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, kita mengenang perjuangan Hajar. Saat kita menyembelih hewan qurban, kita memperingati pengorbanan Ibrahim dan ketundukan Ismail. Ketika jamaah haji melontar jumrah, wukuf di Arafah, thawaf mengelilingi Ka’bah, semua adalah napak tilas terhadap jejak orang-orang yang menempatkan Allah di atas segalanya.
Keluarga Ibrahim adalah contoh nyata bahwa rumah tangga bisa menjadi lokasi pewarisan tauhid. Ayah yang patuh, ibu yang sabar, dan anak yang taat. Rumah yang tidak selalu nyaman secara materi, tetapi dipenuhi dengan keberkahan dan perlindungan Ilahi.
Baca Juga: Bukan Zamannya Lagi Muslimat Cengeng: Saatnya Tegar, Cerdas, dan Berilmu
Refleksi untuk Keluarga Muslim Hari Ini
Di era modern, banyak rumah tangga rapuh bukan karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya nilai iman dan ketaatan kepada Allah. Kita terlalu mengandalkan logika dalam mengatur hidup, terlalu cepat mempertanyakan takdir, terlalu mudah menolak perintah agama karena dianggap tidak “masuk akal.” Padahal, Ibrahim mengajarkan kita untuk taat dulu, baru mengerti kemudian.
Momentum Idul Adha dan musim haji seharusnya tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi pembaharuan iman dalam rumah tangga. Apakah kita masih sanggup menempatkan Allah di atas ambisi pribadi? Apakah kita mampu menahan ego, cemburu, dan rasa kepemilikan seperti Sarah? Apakah kita bisa berlari dengan ikhlas seperti Hajar, bahkan ketika tidak ada jaminan hasil di depan?
Warisan Abadi dari Keluarga Langit
Baca Juga: Tadrib Al-Quds dan Palestina untuk Muslimah, AWG: Zionis Tak Berhak Atas Tanah Palestina
Keluarga Ibrahim telah menorehkan kisah agung dalam sejarah manusia. Mereka tidak mewariskan istana atau kerajaan, tetapi iman yang membumi dan membekas dalam jiwa jutaan manusia hingga hari ini. Maka, tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi meneladani. Jadikan rumah kita tempat bertumbuhnya ketauhidan. Jadikan keluarga kita ladang pengorbanan dan kesabaran. Jadikan hati kita seperti Ibrahim, yang selalu berkata “sami’na wa atha’na” meski logika tak sepenuhnya mengerti.
Sebab iman bukan tentang mengerti, tapi tentang percaya. Dan qurban adalah bukti bahwa cinta tertinggi adalah ketika kita menyerahkan yang paling kita cintai kepada Allah—tanpa ragu dan tanpa tanya.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: DPP Perempuan ICMI Desak Pemerintah Percepat Pemulihan Komnas Lansia