Oleh Akbar Razif Afdal, Koresponden MINA dari Makkah Al-Mukarramah
MAKKAH, tanah suci yang sejak kecil hanya bisa saya bayangkan dari cerita orang tua dan gambar-gambar di buku agama. Kini, setelah perjalanan panjang yang penuh harapan, saya menjejakkan kaki di sini. Hati saya berdebar, senang bercampur haru, meski tubuh terasa lelah luar biasa.
Mata saya seakan tak sanggup terbuka lama. Rasa kantuk yang mendalam membawa saya terlelap di atas kursi bus, sementara dalam mimpi, saya membayangkan Ka’bah berdiri megah, menanti kedatangan saya.
Pagi pertama di Makkah menjadi momen yang tak terlupakan. Ketika saya membuka tirai kamar hotel, pandangan saya disambut oleh langit yang biru cerah dan udara panas yang menyelimuti tubuh. Panasnya berbeda dengan panas di Jambi, kampung halaman saya.
Baca Juga: Kisah Dr. Alaa Al-Najjar dan Genosida di Gaza, Dokter yang Tak Bisa Menyelamatkan Anaknya
Di Jambi, panas membuat saya berkeringat, tetapi di sini, panasnya kering dan menusuk. Suhunya mencapai 41 derajat Celsius, membuat kulit saya kering dan bibir pecah-pecah. Meski demikian, saya menyadari bahwa inilah bagian dari perjuangan. Saya merasa Allah Ta’ala sedang menguji kesungguhan niat saya untuk menjadi tamu-Nya di rumah yang suci ini.
Perjalanan haji ini penuh dengan tantangan, tetapi di setiap sudut perjalanan, saya menemukan kemudahan yang Allah hadirkan melalui tangan-tangan para petugas haji.
Pelayanan mereka sungguh luar biasa. Semua begitu rapi, terorganisir, dan sangat membantu kami, para jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Transportasi yang jelas dan tepat waktu, tempat tinggal yang nyaman dengan fasilitas lengkap, hingga makanan yang lezat dan air mineral yang melimpah menjadi sumber kekuatan kami di tengah cuaca yang ekstrem. Informasi yang mereka sampaikan pun mudah dipahami, sehingga kami tidak merasa tersesat di negeri yang jauh ini. Mereka benar-benar mengingatkan kami bahwa kami adalah tamu Allah yang istimewa.
Baca Juga: Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global
Dan akhirnya, tibalah saat yang paling saya nantikan: melihat Ka’bah untuk pertama kalinya. Dengan langkah yang tertatih karena kelelahan, saya mendekat ke Masjidil Haram. Saat mata saya pertama kali menangkap bayangan Ka’bah yang berdiri megah di tengah pelataran masjid, air mata tak terbendung lagi.
Semua rasa lelah, kantuk, dan panas yang menyengat seketika hilang. Hati saya penuh dengan rasa syukur. Saya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Allah.
“Labbaik Allahumma Labbaik,” saya ucapkan dengan suara bergetar. Dalam hati, saya berbisik, “Ya Allah, inilah saya, hamba-Mu yang penuh dosa, datang memenuhi panggilan-Mu.”
Di depan Ka’bah, saya memanjatkan doa yang selama ini terpendam di hati. Saya memohon ampunan atas segala kesalahan, memohon keberkahan untuk keluarga, dan berharap agar perjalanan ini menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya merasa begitu dekat dengan Allah, seakan-akan Dia mendengar setiap kata yang saya bisikkan.
Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?
Setiap langkah di tanah suci ini membawa pelajaran berharga. Cuaca yang ekstrem mengajarkan saya tentang kesabaran, pelayanan petugas mengingatkan saya akan pentingnya keikhlasan, dan pemandangan ribuan jamaah dari berbagai bangsa yang bersama-sama melaksanakan ibadah menunjukkan keindahan persatuan dalam Islam. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Semua bersatu dalam ketundukan kepada Sang Pencipta.
Hari-hari berikutnya di Makkah menjadi perjalanan spiritual yang mendalam. Setiap shalat di Masjidil Haram, setiap tawaf mengelilingi Ka’bah, dan setiap doa yang dipanjatkan membuat hati saya semakin terisi dengan rasa cinta kepada Allah.
Suasana di masjid yang dipenuhi oleh ribuan jamaah dari berbagai negara menghadirkan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebersamaan yang tulus, ada doa-doa yang mengalir tanpa henti, dan ada harapan yang meluap di setiap detiknya.
Saya juga teringat pada petuah orang tua saya sebelum berangkat haji. Mereka mengatakan, “Haji adalah perjalanan hati. Perjalanan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwa dan raga.”
Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani
Kata-kata itu kini terasa begitu nyata. Perjalanan ini bukan hanya tentang kuatnya fisik, tetapi juga tentang ketulusan hati untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Saat akhirnya saya harus meninggalkan Makkah, hati saya terasa berat. Ada rasa rindu yang belum selesai, ada doa-doa yang masih ingin saya panjatkan di depan Ka’bah.
Namun, saya tahu, pengalaman ini akan selalu melekat dalam hati saya. Perjalanan ini telah mengubah cara pandang saya terhadap hidup. Saya merasa lebih dekat dengan Allah, lebih memahami arti bersyukur, dan lebih menghargai setiap nikmat yang Allah berikan.
Makkah bukan hanya tempat suci. Makkah adalah sekolah kehidupan, tempat di mana Allah mengajarkan kita tentang ketundukan, kesabaran, dan keikhlasan. Di sini, saya belajar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup haruslah untuk mencari rida-Nya.
Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia
Allahu Akbar. Betapa mulianya menjadi tamu di rumah-Nya. Dan saya berdoa, semoga setiap langkah saya di tanah suci ini menjadi saksi atas usaha saya untuk mendekat kepada-Nya.
Semoga perjalanan ini tidak hanya menjadi pengalaman, tetapi juga menjadi titik awal untuk hidup yang lebih baik, lebih berarti, dan lebih dekat dengan Allah. Amin. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam