Oleh: KH. Yakhsyallah Mansur, MA, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dan Pembina Ma’had Al Fatah Indonesia
Dalam kitab-kitab klasik, jihad tarbiyah tidak banyak dibahas seperti bentuk-bentuk jihad lain; jihad harta, jihad jiwa, jihad memerangi musuh dan sebagainya. Ini disebabkan karena pemahaman yang berkembang selama ini bahwa jihad lebih diidentikkan dengan perjuangan dalam bentuk perang bersenjata. Bisa jadi, ini juga yang menyebabkan sebagian kalangan menolak penggunaan kata “jihad” dalam bidang tarbiyah (pendidikan).
Padahal, saat sebagian besar umat Islam dalam kondisi lemah dan terbelakang dalam segala aspek kehidupan seperti yang terjadi di era ini, jihad dalam pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting, mengingat kondisi seperti di atas salah satu penyebab utamanya adalah keterpurukan umat Islam di bidang pendidikan.
Dr. Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya “Islamization of Knowledge” menulis, “Tidak mungkin diragukan lagi bahwa tempat penyemaian penyakit yang dialami umat adalah sistem pendidikan yang merata dan umum berlaku. Inilah tempat penyemaian penyakit tersebut. Di sekolah-sekolah, pengasingan murid-murid dari hal-hal yang berhubungan dengan Islam senantiasa ditimbulkan dan diabadikan. Sistem pendidikan seperti itu adalah laboratorium untuk mencetak kesadaran para pemuda Muslim dalam bentuk sebuah karikatur Barat. Disinilah hubungan seorang Muslim dengan sejarah masa lalunya dirusak dan keinginannya yang alamiah untuk mempelajari warisan para leluhurnya dihalangi.”
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Apa yang disampaikan oleh DR. Ismail Raji di atas menunjukkan bahwa Jihad Tarbiyah menjadi begitu penting demi mengembalikan dan mengembangkan pendidikan yang Islami agar mampu melahirkan manusia-manusia yang berkualitas, yang memiliki aqidah kuat, akhlaq yang mulia, dan berwawasan luas.
Jihad menurut bahasa berasal dari beberapa kata; pertama, dari kata “jaahad – yujaahidu – mujaahadatan wa jihaadan” artinya “mengarahkan dan mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan dalam bentuk perkataan dan perbuatan.”
Kedua, dari kata “al–jahdu” dan “al–juhdu.” Al-jahdu artinya “kepayahan, berlebih-lebihan, dan puncak.” Sedangkan al-juhdu artinya “daya dan kemampuan.”
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Ketiga, dari kata “jahada– yajhadu – juhdan dan ijtahad,” keduanya berarti “bersungguh-sungguh.” Jihad diungkapkan pula dengan kata “al–Sujar, al–Maghari, al–Qital, dan al–Harb.”
Jihad, sebagaimana dikatakan oleh al-Raghib al-Asfihani, yaitu mencurahkan kemampuan dalam menahan musuh. Jihad terbagi menjadi tiga, yakni berjuang menghadapi musuh yang tampak, berjuang menghadapi setan dan berjuang menghadapi hawa nafsu. Perjuangan tersebut dilakukan dengan tangan dan lisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jahidul kuffar bi aidiikum wa al-sinatikum.”
Sedangkan jihad menurut istilah, bila kata jihad fi sabilillah disebut secara mutlak berarti memerangi orang kafir untuk menegakkan kalimat Allah, mempersiapkannya dan bekerja pada jalannya.
Sedangkan Tarbiyah secara bahasa berarti “pendidikan”. Kata tarbiyah mulai digunakan untuk pengertian pendidikan sejak akhir abad ke-20 masehi bersamaan dengan lahirnya gerakan modernisasi pendidikan di dunia Arab. Pada sumber Arab klasik yang digunakan adalah “ta’lim, ta’dib, dan tahdzib.”
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Tarbiyah yang dimaksud disini adalah tarbiyah Islam. Menurut Yusuf al-Qaradlawi, “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya: akal dan hatinya; ruhani dan jasmaninya; akhlaq dan ketrampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kebenarannya, manis dan pahitnya.”
Dengan demikian, Jihad Tarbiyah adalah bersungguh-sungguh mengerahkan segala daya menegakkan kalimat Allah menggunakan sarana pendidikan dan segala komponennya; meliputi tujuan pendidikan, anak didik, pendidik, alat pendidikan, dan millieu (lingkungan).
Tarbiyah dapat dikategorikan telah menjalankan jihad bila memenuhi beberapa kriteria antara lain; pertama, berlandaskan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara sempurna. Kedua, menjadikan kejayaan Islam dan umat sebagai tujuan tertingginya melebihi segala bentuk tujuan duniawi.
Ketiga, mampu melahirkan pribadi Muslim yang siap memperjuangkan tegaknya Islam dengan ilmu yang dimilikinya dan sanggup mengorbankan apapun demi mencapai ridha Allah serta mencintai ilmu pengetahuan, mempelajari dan mengembangkannya demi kebaikan diri dan generasi sesudahnya.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Jihadnya Seorang Pendidik
Untuk mewujudkan Jihad Tarbiyah tersebut, faktor yang paling berperan adalah seorang pendidik. Ibarat sebuah pasukan, pendidik adalah seorang komandan yang akan menentukan kalah-menangnya pertempuran. Allah telah mengisyaratkan pentingnya peran seorang komandan dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik bagi orang yang mengharap (ridha) Allah dan hari akhir yang banyak mengingat Allah.” (Qs. al-Ahzab: 21).
Ayat ini turun dengan latar belakang perang Khandaq (Ahzab) yang terjadi di bulan Syawal pada tahun ke-5 hijriah. Perang Khandaq/Ahzab adalah perang yang paling berat dirasakan oleh para shahabat kala itu. Ummu Salamah Radliyallahu ‘anha berkata, “Aku telah menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beberapa peperangan yang hebat dan mengerikan, seperti Perang Muraisyi’, Khaibar, Hudaibiyah, Fathu Makkah dan Hunain. Tidak ada pada semua peperangan itu yang lebih membuat lelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan lebih membuat kami takut melebihi perang Khandaq. Pada waktu itu, umat Islam benar-benar terdesak dan terkepung, sedang Bani Quraidlah (Yahudi) telah melakukan pembelotan sehingga kota Madinah harus dikawal siang-malam.”
Dalam dalam kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetap tenang, tidak tampak keraguan sedikit pun, dan sangat yakin akan datangnya pertolongan Allah. Melihat sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam seperti itu, para shahabat pun menjadi tentram jiwanya, hingga akhirnya datang pertolongan Allah berupa angin puting beliung yang memporak-porandakan pasukan musuh.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
al-Ghazali mengatakan, pendidik yang berperan sebagai komandan bagi murid-muridnya, ibarat ukiran dengan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat diukir oleh orang yang tidak mengerti cara mengukir dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus sekiranya tongkatnya bengkok.
Demi keberhasilan Jihad Tarbiyah, maka seorang pendidik harus memiliki beberapa sikap antara lain sebagai berikut.
Pertama, SIKAP TERHADAP ALLAH. Terdiri dari; pertama, Ihtisab (mengharap pahala Allah). Yakni dengan mengikhlaskan jihadnya semata-mata hanya untuk Allah. Oleh karena jihad adalah ibadah dan ibadah tidak akan diangkat dan diterima kecuali jika ibadah itu dikerjakan semata-mata untuk Allah saja.
Kedua, Raja’ (pengharapan). Menggantungkan segala harapannya hanya kepada Allah. Seorang pendidik selalu memiliki harapan bahwa jihadnya akan ditolong oleh Allah walaupun harus melewati berbagai rintangan dan cobaan.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Ketiga, Tawakal (berserah diri). Berserah diri dan bersandar kepada Allah saja dalam jihad tanpa menengok banyaknya jumlah atau bekal atau perlengkapan. Apabila seorang mujahid telah menyandarkan kepada selain Allah maka Allah akan membiarkannya dan menyerahkan kepada diri mereka sendiri.
Kedua, SIKAP TERHADAP DIRINYA. Antara lain; pertama, Tazkiyah (mensucikan diri). Yakni mensucikan diri dengan jalan banyak bertaubat dan menjauhi perbuatan maksiat dan tempat-tempat yang menggelincirkan kepada perbuatan maksiat.
Kedua, Tahalliyah (berhias). Memperbagus diri dengan perbuatan baik dan terpuji serta bersegera berlomba-lomba dalam mengerjakannya. Ketiga, Takhaliyyah (mengosongkan diri dari dunia). Mengosongkan hati dari kecintaan terhadap dunia, tamak terhadapnya dan segala keindahannya. Sebaliknya mengisi hati dengan cinta kepada akhirat dan senantiasa merindukan pertemuan dengan Allah.
Ketiga, SIKAP TERHADAP TEMAN SEPROFESINYA. Antara lain; pertama, Mahabbah (cinta). Rasa cintanya karena Allah yang melingkupi seluruh relung hatinya sehingga menguasi perasaannya terhadap teman-teman seprofesinya. Tidak merasa senang kecuali bersama mereka dan tidak tenang kecuali duduk dan berkumpul dengan mereka.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Kedua, Ta’awun (tolong-menolong). Tolong-menolong dalam berbuat kebaikan dan taqwa. Bantu-membantu dalam melaksanakan tugas dan saling memperluas wawasan, pengetahuan dan pengalaman sehingga yang lemah menjadi kuat, yang sulit menjadi mudah, yang berat menjadi ringan, dan yang mustahil menjadi kenyataan.
Ketiga, Rahmat (kasih-sayang). Rasa kasih-sayang bisa diwujudkan dengan memenuhi hak mereka, menutup aib mereka, memaafkan kesalahan mereka, menyukai suatu kebaikan untuk mereka sebagaimana dia menyukai untuk dirinya bahkan mengutamakan mereka atas dirinya sendiri meski dia memerlukannya.
Keempat, SIKAP TERHADAP PIMPINANNYA. Antara lain; pertama, Tsiqat (percaya penuh). Seorang pendidik yang mujahid jangan sampai dihinggapi keraguan yang merusak dan prasangka yang keliru terhadap pimpinannya. Karena untuk naik ke tingkat pemimpin, seseorang harus melalui jenjang demi jenjang dan proses penyaringan di kalangan para mujahid yang terbaik. Maka, mereka yang menjadi pemimpin adalah yang terbaik di antara yang terbaik.
Kedua, Wala’ (loyalitas). Loyalitas kepada pimpinan dilakukan dengan jalan mendukung, membantu dan menopangnya dengan segala daya dan kemampuan yang dimiliki. Seorang mujahid tidak boleh melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jihad kecuali seizin pimpinan, dan tidak merahasiakan rencananya lantaran masih meragukan dan mengasingkannya.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Seorang mujahid hendaknya selalu menyertai pemimpinnya dalam keadaan suka dan duka untuk meringankan tanggung jawab dan beban pimpinannya. Dia tidak boleh menyibukkan dan disibukkan oleh perkara-perkara sampingan yang bisa mengganggu konsentrasi pada tugas-tugasnya yang utama.
Ketiga, Tha’at (patuh). Seorang mujahid akan patuh dengan segala yang diperintahkan pemimpinnya sepanjang tidak diperintah berbuat maksiat. Dia tidak boleh mempertahankan pendapatnya sendiri dan mengesampingkan pendapat pemimpinnya, meski merasa yakin pendapatnyalah yang benar. Tanpa ada kepatuhan, akan timbul kekacauan dan perpecahan sehingga shaff menjadi renggang. Akibatnya, kelemahan dan kehilangan kekuatan.
Kelima, SIKAP TERHADAP MURIDNYA. Antara lain; pertama, Adil. Seorang mujahid Tarbiyah harus memperhatikan urusan seluruh muridnya, berlaku adil kepada mereka dan menghormati mereka tanpa mengistimewakan satu atas yang lain. Seperti mengistimewakan kerabatnya atau mereka yang berharta atau mereka yang berpangkat.
Kedua, Lemah lembut. Lemah lembut adalah sikap pokok seorang pendidik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda, “Tidaklah kelemah-lembutan itu melekat pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya dan tiadalah kelemah-lembutan terlepas dari sesuatu melainkan ia akan memperburuknya.” (HR. Adl-Dliya’ – shahih)
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Berlaku lemah lembut terhadap murid dapat terwujud secara maksimal dengan memperhatikan murid yang paling lemah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, “Berjalanlah kalian menurut (kadar kemampuan) yang terlemah di antara kalian.” (al-Jihad Sabiluna).
Dalam sikap lemah-lembut, seorang pendidik harus memperlakukan muridnya seperti anaknya sendiri. Murid adalah amanah yang dititipkan Allah kepadanya yang kelak dimintai pertanggungjawabannya. Karena itu, murid jangan sampai dibawa ke tempat-tempat yang membahayakan jasmaninya dan rohaninya.
Ketiga, Tidak merasa berjasa. Artinya, seorang pendidik tidak boleh merasa berjasa dan lebih utama dari muridnya. Karena, tanpa adanya murid, maka seorang pendidik tidak akan memperoleh keutamaan-keutamaan dari kedudukannya yang didapatkan karena ilmu yang diajarkan kepada murid-muridnya.
Keenam, SIKAP TERHADAP ILMU. Antara lain; pertama, Berusaha terus Menambah. Allah Ta’ala tidak memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk minta ditambahkan segala sesuatu kecuali ilmu. Ini artinya, ilmu menjadi hal yang terpenting bagi seorang Muslim. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (Qs. Thaha: 114). Karena itu, seorang pendidik tidak akan merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya. Dia akan terus berusaha untuk menambah ilmunya.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Kedua, Menjaga. Ilmu yang telah didapat hendaknya terus dijaga dan dipelihara. Menjaga ilmu adalah salah satu sifat rabbani. Sebagaimana disebutkan oleh Allah yang artinya,“Jadilah kalian rabbani disebabkan kalian mengajarkan kitab dan terus mempelajarinya.” (Qs. Ali Imran: 79).
Ilmu adalah senjata utama bagi seorang mujahid tarbiyah. Oleh karena itu, dia harus dijaga seperti seorang mujahid di medan pertempuran menjaga senjatanya sehingga ilmunya dapat digunakan kapan saja diperlukan.
Ketiga, Mengamalkan. Seorang pendidik harus mengamalkan ilmunya jangan sampai amalnya bertentangan dengan ilmunya. Al-Ghazali berkata, “Siapa berilmu dan mengamalkannya, maka dialah yang disebut agung di kerajaan langit. Dia bagaikan matahari yang selain menerangi dirinya sendiri juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang harum dan memercikkan keharuman kepada orang yang berpapasan. Siapa yang menyibukkan diri dalam mengajar, berarti dia telah meraih perkara yang agung. Karena itu, seorang pendidik hendaklah memperhatikan adab dan tugas-tugasnya.” Wallahu a’lam bishawab.(R02)
Maraji’:
- Al-Qur’anul Karim
- Tafsir Al-Azhar: Hamka
- Ihya’ Ulumuddin : Al-Ghazali
- Al-Rahiq al-Mahtum: Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri
- Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Muhammad Munir Mursi
- Al-Jihad Sabiluna (Terjemahan): Abdul Baqi’ Ramdlun
- Panduan Jihad: Hilmy Bakar al-Mascaty
- Pendidikan Islam: Azzumardi Azra.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)