Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Ada orang yang mengerjakan shalat malam (tahajud) dengan rutin, tujuannya meminta kesuksesan dunia. Ada orang yang mengerjakan sholat dhuha tujuannya minta kelancaran rezeki dunia. Ada orang yang memperbanyak sedekah tujuannya agar mendapatkan balasan harta yang lebih baik dan banyak lagi. Ada juga orang yang berbuat baik tujuannya agar orang lain juga berbuat baik kepadanya. Ada lagi orang yang menghafal al Qur’an agar dia disebut sebagai hafidz Qur’an. Apakah semua itu salah? Mari perhatikan firman Allah Ta’ala berikut ini.
Dalam Qur’an surat Hud ayat 15 – 16, Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا نُوَفِّ إِلَیۡهِمۡ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فِیهَا وَهُمۡ فِیهَا لَا یُبۡخَسُونَ (15) أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ لَیۡسَ لَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِیهَا وَبَـٰطِلࣱ مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ (16)
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. (15) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (16)” [Qs. Hud (11): 15 – 16].
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Terkait ayat di atas, Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya orang-orang yang suka riya (pamer dalam amalnya), maka pahala mereka diberikan di dunia ini. Demikian itu karena mereka tidak dianiaya sedikit pun. Ibnu Abbas mengatakan, “Siapa yang beramal saleh untuk mencari keduniawian, seperti melakukan puasa, atau salat, atau bertahajud di malam hari, yang semuanya itu ia kerjakan hanya semata-mata untuk mencari keduniawian, maka Allah berfirman, ‘Aku akan memenuhi apa yang dicarinya di dunia, ini sebagai pembalasannya, sedangkan amalnya yang ia kerjakan untuk mencari keduniawian itu digugurkan, dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi’.”
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Anas ibnu Malik dan Al-Hasan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mujahid dan lain-lainnya juga mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang suka riya.
Sementara itu, Qatadah mengatakan, “Siapa yang dunia merupakan niat, dambaan, dan buruannya, maka Allah membalas kebaikannya di dunia ini. Dan bila ia datang ke akhirat, maka ia tidak lagi memiliki pahala amal kebaikan yang akan diberikan kepadanya. Adapun orang mukmin, maka amal kebaikannya dibalas di dunia ini, dan kelak di akhirat dia mendapat pahala dari amalnya itu.” Dalam hadis yang marfu’ telah disebutkan hal yang semisal dengan ini.
Antara riya’ dan dunia
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Syaikh Al Utsaimin telah membedakan antara riya’ dengan keinginan mendapat dunia. Riya’, ialah seseorang yang beribadah karena ingin dipuji agar dikatakan sebagai ‘abid (ahli ibadah), dan ia tidak menginginkan harta. Adapun keinginan terhadap dunia yang dimaksudkan dalam ayat ini, seseorang beribadah bukan karena ingin dipuji atau dilihat, bahkan sebenarnya ia ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Akan tetapi ia ingin mendapatkan sesuatu dari dunia, seperti harta, pangkat, kesehatan; baik pribadi, keluarga maupun anak, dan lain-lain. Jadi dengan amal ibadahnya ia inginkan manfaat dunia dan tidak menginginkan pahala akhirat.
Syaikh Utsaimin memberikan contoh-contoh bagaimana seseorang menginginkan dunia dengan amal ibadahnya. Misalnya: menjadi muadzin dengan niat mencari uang. Berangkat haji dengan tujuan mencari harta. Belajar agama di perguruan tinggi dengan niat mencari ijasah agar martabatnya naik. Melakukan beberapa jenis peribadatan dengan maksud menyembuhkan penyakit, atau supaya disenangi orang lain atau supaya tidak mendapat gangguan, atau maksud-maksud lain.[Al-Qaul al-Mufid ‘Ala Kitab at-Tauhid; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin]. Karena itu, kita harus berhati-hati, jangan sampai terjatuh ke dalam syirik niat sebagaimana yang disebutkan dalam surat Hud ayat 15-16 di atas.
Jika ada seorang da’i, saat berbicara tentang hikmah dan faidah ibadah, justeru menitikberatkan pada faidah-faidah duniawi. Misalnya, shalat adalah olah raga yang berfaidah menguatkan otot-otot, puasa berfaidah menghilangkan (mengurangi) lemak dan mengatur makan. Seharusnya seorang muslim tidak menjadikan faidah-faidah duniawi sebagai masalah pokok dalam beribadah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyebutkan yang demikian itu di dalam Al Qur’an.
Namun, Allah menyebutkan bahwa shalat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Begitu pula menyebutkan puasa sebagai penyebab orang bertaqwa. Faidah diniyah dalam ibadah inilah yang menjadi masalah pokok, adapun faidah duniawi merupakan masalah kedua. Sehingga bila seorang da’i berbicara di depan khalayak umum, maka yang lebih penting ialah menyampaikan atau menyebutkan faidah-faidah diniyahnya saja. Bila memang diperlukan, barulah disampaikan faidah diniyah dan duniawi. Setiap pembicaraan ada tempatnya. [Al Qaulul Mufid, II/245].
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Dalam Fathul Majid, disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah ditanya tentang ayat 15 dan 16 surat Hud di atas, lalu beliau menjawab, yang intinya, telah disebutkan oleh para ulama salaf, bahwa di dalam ayat tersebut mengandung penjelasan beragamnya perilaku amal manusia pada zaman ini dan mereka tidak mengerti maksudnya.
Pertama, banyak orang yang melakukan amal shalih untuk mencari ridha Allah, seperti shadaqah, shalat, menyambung tali persaudaraan, berbuat baik kepada manusia, meninggalkan kezhaliman, dan amal-amal lain yang dilakukan atau ditinggalkan manusia karena ikhlas kepada Allah. Akan tetapi, orang yang melakukannya tersebut tidak menginginkan pahalanya di akhirat. Dia hanya ingin agar Allah menjaga hartanya dan mengembangkannya, menjaga istri dan anak-anaknya, atau supaya Allah melanggengkan nikmat yang diberikan kepadanya.
Tidak terpikir olehnya untuk mencari surga dan lari dari neraka. Orang semacam ini diberi ganjaran amalnya di dunia, sedangkan di akhirat tidak ada bagian untuknya. Jenis perbuatan yang pertama ini disebutkan oleh Ibnu Abbas.
Kedua, seseorang yang beramal shalih, tapi niatnya untuk riya’ kepada manusia, tidak untuk mencari pahala akhirat. Maka perbuatan semacam ini akan segera mendapatkan balasan di dunia tapi di akhirat kelak semua amalnya akan dihapuskan dan ia dilempar ke neraka.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Ketiga, seseorang beramal shalih dengan tujuan harta, seperti berhaji karena ada harta yang akan diambilnya bukan karena Allah, berhijrah karena dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, atau berjihad untuk mendapatkan ghanimah. Begitu juga, seseorang yang belajar karena untuk kepentingan sekolah keluarganya, untuk pekerjaan mereka atau kepemimpinan mereka, atau belajar Al Qur’an dan rajin melakukan shalat karena untuk mencari pekerjaan di masjid seperti yang banyak terjadi sekarang.
Keempat, seseorang mengerjakan ketaatan kepada Allah murni hanya untuk Allah saja, akan tetapi dia melakukan perbuatan kufur yang membuatnya keluar dari agama Islam. Misalnya, orang Yahudi dan Nasrani yang menyembah Allah, bersedekah dan berpuasa untuk mencari ridha Allah dan akhirat. Dan seperti banyak orang dari umat ini, di antara mereka ada yang berbuat kufur dan syirik besar, sehingga mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan.
Bila mereka taat kepada Allah dengan murni untuk mengharapkan pahala Allah di akhirat, akan tetapi mereka melakukan perbuatan yang mengeluarkan mereka dari Islam dan menyebabkan tidak diterimanya amal. Macam ini juga telah disebutkan dalam penafsiran ayat ini, dari Anas bin Malik dan lainnya. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Dia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi, dia senang, tetapi jika tidak diberi, dia marah. Celakalah dia dan tersungkurlah. Apabila terkena duri, semoga tidak dapat mencabutnya. Berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan Allah) dengan kusut rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada di pos penjagaan, dia akan tetap setia berada di pos penjagaan itu. Bila ditugaskan di garis belakang, dia akan tetap setia berada di garis belakang itu. Jika dia meminta izin (untuk menemui raja atau penguasa), tidak diperkenankan. Jika bertindak sebagai perantara, tidak diterima perantaraannya.” [Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab Min Asy Syirki Iradatul Insan Bi ‘Amalihi Ad Dunya].
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Ayat lain yang terkait dengan penjelasan surat Hud ayat 15 – 16 di atas, yakni Allah Subhanau Wa Ta’ala berfirman,
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا كُلا نُمِدُّ هَؤُلاءِ وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلا}
“Siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan bagiannya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibatasi dengan baik kepada masing-masing golongan —baik golongan ini maupun golongan itu— Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya. (Qs. Al-Isra: 18-21).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala menjelaskan,
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ}
“Siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Qs. Asy-Syura: 20).
Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama
Seorang Tabi’in yang banyak berinteraksi dengan sahabat pernah ditanya, apakah surah dalam Qur’an yang paling sering membuat para sahabat menangis? Lalu dijawab, surah HUD. Kemudian ditanyakan lagi ayat berapakah dari surah tersebut yg membuat para sahabat menangis? Dia menjawab, ayat 15-16.
Inilah alasan kenapa Abdurahman bin Auf sering menangis ketika mendapatkan kenikmatan duniawi. Sahabat yang mulia ini khawatir bila kenikmatan di dunia saat ini merupakan nikmat akhirat yang disegerakan untuknya. Hingga kelak di akhirat tak didapatkannya lagi nikmat-nikmat itu. Mari luruskan niat kita dalam setiap melakukan amal ibadah, wallahua’lam.(A/RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil