Jakarta, MINA – Wakil Presiden RI yang ke 10 dan 12, M. Jusuf Kalla (JK), membahas soal perdamaian dalam perspektif Islam di hadapan para mediator dan calon mediator perdamaian, dari berbagai negara dan organisasi internasional. Ia mengatakan bahwa damai merupakan bagian dari ajaran tersebut.
“Jangan pernah lagi bertanya tentang ajaran Islam mengenai perdamaian. Setiap kita bertemu orang, selalu kita awali dengan assalamualaikum. Salam damai,” kata JK di konferensi tentang perdamaian dunia European Resources For Mediation Support, di Kota Brussel, Belgia, Kamis (19/10) melalui pernyataan tertulisnya.
“Ini berarti, dalam kehidupan sosial itu, damai adalah dasar untuk melakukan interaksi sosial. Damai adalah pondasi aktivitas keseharian bersama dengan orang lain,” imbuh JK yang jadi pembicara utama di hari kedua acara konferensi tersebut.
Orang Islam itu, lanjut Jusuf Kalla, melakukan kewajiban 5 kali sehari shalat. Tiap shalat diahiri dengan salam dua kali, yakni, sekali menghadap ke kanan, dan sekali menghadap ke kiri. Berarti, ada minimal sepuluh kali minimal, orang Islam itu memberi salam damai.
Baca Juga: Peserta Apel 1.000 Relawan untuk Palestina Mulai Berdatangan di Buperta Cibubur
“Salam ke kiri dan kenan, bermakna sapaan kepada yang lain secara damai. Jadi apa yang mau disoal lagi,” tegas Jusuf Kalla.
Mengapa Islam dipersepsikan sebagai agama yang anti toleransi dan cenderung menggunakan dan menghalalkan cara-cara kekerasan? Jusuf Kalla menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya. “Itu semua karena kita memberi penilaian dan persepsi secara subjektif belaka,” tegasnya.
JK kemudian mengulas soal Uni Soviet menginvasi dan mengokupasi Afghanistan selama 10 tahun. Di mana rakyat Afghanistan Bersama pelbagai bangsa lain, terutama Amerika Serikat, saling membantu mengusir Uni Soviet.
“Para mujahidin itu digelar sebagai pahlawan, termasuk gelar tersebut diberikan oleh Amerika Serikat. Namun, ketika Amerika Serikat menyerbu ke Irak karena kesalahan informasi, rakyat Irak yang melawan dilabel sebagai teroris. Di mana letak keadilan dari perspektif ini?” jelas JK.
Baca Juga: Ribuan Warga Ponpes Al-Fatah Cileungsi Ikuti Konvoi Apel 1.000 Relawan Al-Aqsa
“Begitu juga ketika kekuatan barat menyerbu, menghantam Syria dan Libya, semua lantaran perspektif teroris, minimal merek dicap sebagai ekstremis. Mereka melawan kekuatan hegemoni karena mereka mempertahankan kedaulatan mereka. Perlawanan mereka adalah ikhtiar untuk mempertahankan milik dan martabat mereka, papar JK.
JK mengatakan bahwa “kita harus objektif melihat kondisi kekinian dan masa lalu yang pernah ada. Paham ekstrimism itu, bukan monopoli Islam. Paham dan praktek ekstrimism juga ada di Kristen, Hindu dan Budha,” tuturnya.
Tatkala para penjajah dari barat memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan di Afrika dan Asia, kata JK, negara-negara Islam yang mereka jajah itu tidak pernah mengatakan bahwa negara mereka dijajah oleh kolinialisme Kristen atau Katolik.
“Mereka mengutuk kolonialisme itu dengan lebel nama negara, misalnya Inggris, Prancis dan Spanyol. Ini menunjukkan bahwa negara-negara Islam sangat menghormati agama lain. Tidak mau sembarang melebel, karena faktanya memang, yang melakukan kolonialisme itu adalah nama negara dan bangsa,” ungkapnya lagi. (R/R4/P2)
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah: Pengibaran Bendera di Selat Sunda, Komitmen Tulus untuk Al-Aqsa
Mi’raj News Agency (MINA)