Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Saat putera Bugis ini memutuskan menerima pinangan sebagai Calon Wakil Presiden RI 2014-2019 pada Pemilu April 2014 lalu, mendampingi Joko Widodo, banyak kalangan yang menyayangkan langkahnya.
Sebagai tokoh Muslim yang mengetuai Dewan Masjid Indonesia dan politisi kawakan, kedudukan sebagai Calon Wakil Presiden adalah posisi yang dianggap rendah, apa lagi Calon Presiden RI yang diwakilinya dari partai berpaham nasionalis dan “konon” diperkuat oleh kalangan non-Muslim.
Namun, usai penghitungan suara Pemilu 2014, Muhammad Yusuf Kalla benar-benar akan menduduki posisi Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Dan menjadi tokoh Indonesia pertama yang menjabat Wakil Presiden RI sebanyak dua kali dengan presiden yang berbeda.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Kesuksesan langkah politiknya seolah kembali menunjukkan betapa ampuhnya “tangan dingin” miliknya.
Terlepas dari apa partai politik tunggangannya selama ini, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan itu, telah memposisikan dirinya sebagai tokoh sosial yang berulang kali tampil sebagai juru damai dalam berbagai konflik tanpa meninggalkan pembelaannya terhadap Islam.
Juru damai ulung
Pasca-lengser dari panggung politik, yakni setelah tidak jadi Wakil Presiden dan ketua umum partai menyusul kegagalannya di Pemilu Presiden 2009, Jusuf Kalla tidak lantas kehilangan kiprah di ruang publik. Lewat wadah Palang Merah Indonesia (PMI) yang dipimpinnya sejak 22 Desember 2009, sosok yang dikenal sigap dan cepat bertindak ini menjadi figur penting di balik penyelesaian berbagai konflik dan bencana.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Bagi JK –demikian ia biasa dipanggil– konflik tak akan meletup bila beberapa persyaratan terpenuhi.
”Kemakmuran harus lebih baik, pemerataan keadilan, dan diperlukan ketegasan aparat. Itulah kunci menghindari terjadinya konflik,” kata JK kepada GATRA beberapa tahun lalu.
Sebelum menjadi orang nomor satu di PMI, JK sebetulnya sudah malang melintang dalam urusan penyelesaian konflik di berbagai wilayah Indonesia, seperti kerusuhan sosial di Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah), dan konflik bersenjata berkepanjangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Perannya dalam konflik Ambon dan Poso makin nyata saat JK menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Di daerah konflik terdapat 40.000 pengungsi Poso. JK berpikir, jika bantuan terus diberikan tanpa penyelesaian konflik, tidak ada gunanya. Ia pun melakukan pendekatan kepada pihak-pihak yang bertikai. Ia mengundang kedua pihak untuk bertemu di Malino, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan. Kesepakatan damai yang berhasil dibuat disebut Perjanjian Malino I, diteken pada 20 Desember 2001.
Begitu pula yang dilakukan pada konflik di Ambon. Ia datang ke Ambon pada awal 2002. Mereka yang bertikai pun diajak berunding. Tempatnya sama, yakni di Malino. Dengan pengalaman bernegosiasi saat menjadi pengusaha, ia menyadarkan semua pihak bahwa konflik tidak menguntungkan sedikit pun.
Rupanya, kesejukan kota Malino berhasil mendinginkan emosi pihak yang bertikai yang hadir dalam perundingan, sehingga mereka sepakat untuk berdamai. Maka, terbitlah kesepakatan yang dikenal dengan Perjanjian Malino II, 22 Februari 2002.
Tatkala terpilih menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2009, JK tak beranjak dari wilayah konflik. Ketika itu, ia mulai memusatkan perhatian pada pergolakan bersenjata di Aceh yang tak pernah bisa terselesaikan sejak pemerintahan Presiden Soeharto.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
JK seperti mendapat “waktu yang tepat” untuk membangun perdamaian di Aceh ketika provinsi di ujung barat Indonesia ini disapu tsunami, menyusul gempa berkekuatan 9,3 skala Richter pada penghujung 2004. Ia meyakinkan seluruh warga Aceh bahwa konflik Aceh harus dihentikan lantaran rehabilitasi korban gempa dan tsunami hanya dapat berjalan baik dalam kondisi damai.
JK terus bekerja melunakkan tokoh-tokoh yang menginginkan Aceh terpisah dari NKRI lewat serangkaian pertemuan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk serangkaian perundingan di Helsinki, Finlandia, yang menjadi titik pijak terciptanya perdamaian. Guna menunjukkan keseriusan dalam mewudkan perdamaian di Aceh, pemerintah memenuhi beberapa persyaratan yang disodorkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setelah menjadi Ketua Umum PMI, gerak JK lebih leluasa. Di dalam negeri, dia langsung terjun ikut mendinginkan kerusuhan di Kalianda, Lampung. Bahkan kiprahnya merambah ke konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
JK jebol blokade Myanmar, dunia Islam tercengang
JK benar-benar membuktikan dirinya bukanlah politikus kacangan. Di saat semua rombongan kemanusiaan dunia gagal menembus blokade junta militer Myanmar terkait masalah kemanusiaan Muslim Rohingya, JK dan PMI dengan mulus mampu meyakinkan pemerintah Myamar dan menjadi misi kemanusiaan pertama yang diizinkan masuk ke lokasi pemukiman Muslim Rohingya di Siwee, kota di Rakhine.
Keberhasilan itu mengagetkan dunia Islam yang selama ini fokus memperhatikan persoalan pembantaian Muslim Rohingya.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Masuknya JK dan PMI tentu saja melambungkan nama Indonesia, karena menjadi negara pengirim bantuan kemanusiaan pertama yang masuk ke Myanmar.
“Bantuan kemanusiaan yang dipimpin Jusuf Kalla menjadi delegasi pertama yang diperbolehkan masuk ke Myanmar,” jelas Vice Chairman Committee for ASEAN Youth Cooperation, KRT Abhiram Singh Yadav.
Tidak mengherankan bila Presiden Myanmar, U Thein Sein, memberikan akses yang luas kepada JK untuk mengunjungi warga di sana, Agustus 2012. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh netral. Ia sanggup menyejukkan kelompok-kelompok yang bertikai. Meski perselisihan belum sepenuhnya pulih, JK telah menunjukkan sosoknya bahwa ia mampu meluluhkan hati warga yang berkonflik untuk berdamai.
Karena dinilai sukses mendinginkan api amarah antar-etnis di Myanmar, JK mendapat kunjungan kehormatan dari Ekmeleddin Ihsanoglu, Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Negara-Negara Islam (OKI) saat itu di kantor PMI.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Selain membicarakan urusan etnis Rohingya, pada pertemuan itu JK juga diminta urun rembuk untuk penyelesaian Jalur Gaza di Palestina.
Tetap bela Islam di tengah-tengah kaum Nasrani
Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, Fahmi Salim mengisahkan cerita dari JK ketika memimpin rapat Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jum’at (1/3/2013) terkait isu intoleransi umat Kristen di Indonesia.
Setelah Maghrib pada hari tersebut, JK bercerita bahwa dia baru saja berceramah di hadapan 700 pendeta di Makassar dalam rangka Konferensi Gereja.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta konferensi yang bertanya tentang gereja di Yasmin Bogor.
“Umat Kristiani sudah memiliki 56 ribu gereja di seluruh Indonesia dan tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih. Selain itu pertumbuhan gereja di Indonesia lebih besar daripada masjid. Lalu kenapa urusan satu gereja ini disampaikan oleh umat Kristiani ke seluruh dunia?” tanyanya retoris menjawab pertanyaan itu.
“Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja? Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan walikota”, jawab JK dengan nada yang tinggi.
Peserta lainnya pun bertanya, “Mengapa kantor-kantor mesti ada masjid?”.
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
“Justru ini dalam rangka menghormati Anda. Jum’at kan tidak libur, Anda libur hari Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan 5 kali shift, (sedangkan) ibadah Jum’at cuma sekali. Kalau Anda tidak suka ada masjid di kantor, apa Anda mau hari liburnya ditukar, Jum’at libur, Minggu kerja. Pahami ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen,” jelasnya.
Menjawab pertanyaan tentang larangan pembangunan gereja di Bogor itu, Kalla juga mengatakan, yang satu itu diributkan, tapi mendiamkan larangan pembangunan puluhan masjid di berbagai provinsi di Indonesia Timur.
JK anak ke-2 dari 17 bersaudara dari pasangan Haji Kalla dan Athirah, pengusaha keturunan Bugis yang memiliki bendera usaha Kalla Group. Bisnis keluarga Kalla tersebut meliputi beberapa kelompok perusahaan di berbagai bidang industri. Di Makassar, Jusuf Kalla dikenal akrab disapa oleh masyarakat dengan panggilan Daeng Ucu.
Tahun 1968, Jusuf Kalla menjadi CEO dari NV Hadji Kalla. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekedar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, dan telekomunikasi. (T/P001/P2)
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
disarikan dari berbagai sumber
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)