Oleh: Nurhabibi,M.P, Pemerhati Timur Tengah, Tinggal di Nangroe Aceh Darussalam
Di antara prinsip penting, sebagai hasil rumusan dari Konferensi Asia-Afrika I, 18-24 April 1955 yang dikenal dengan istilah Dasasila Bandung, adalah “Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil”. Pointer penting ini merupakan pengejawantahan dari hak untuk merdeka, hak untuk hidup damai, layak dan sentausa serta hak untuk tidak diintervensi, dijajah dan diinvansi oleh negara lain.
Setelah 60 tahun berlalu rumusan “suci” dari Dasasila Bandung ini belum terealisasikan. Dikatakan “suci” karena memuat spirit hak dasar suatu bangsa, yang mana di dalamnya terdapat manusia-manusia suci ciptaan-Nya, yang ingin pula merasakan hidup layak dan sentausa tanpa ada gangguan dari manusia serta bangsa lainnya.
Sedangkan dikatakan belum terealisasikannya pointer penting untuk “Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil”, karena sampai 60 tahun salah satu dari 10 amanat para pendahulu Konferensi Asia Afrika I ini yang diemban oleh negara-negara Asia Afrika, termasuk Indonesia di dalamnya, belum mampu mengembalikan kedaulatan Bangsa Palestina sebagai bangsa utuh yang merdeka dan berdaulat sejajar dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!
Penjajahan Israel
Tujuh tahun sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika I, tepatnya pada tahun 1948 semenjak didirikannya “negara” Israel secara sepihak di atas tanah jajahan mereka di bumi Bangsa palestina, berbagai penyiksaan fisik maupun mental di luar batas prikemanusiaan kerap mereka perlakukan terhadap rakyat Palestina.
Sepanjang hari, minggu, bulan bahkan sampai bertahun-tahun jeritan rakyat Palestina selalu kita dengar. Berkali-kali sudah Konferensi Asia Afrika ini diselenggarakan dan berkali-kali pula bom-bom kebengisan terlontar dari tank-tank dan pesawat-pesawat tempur Israel yang mengenai sasaran tepat di atas kepala-kepala rakyat Palestina.
Bukan kah rakyat Palestina merupakan rakyat Asia-Afrika yang oleh para ahli katakan bahwa Ibu Kota Asia-Afrika adalah Bandung, Indonesia. Artinya jika memang Indonesia merupakan Ibu Kota Asia-Afrika, sudah selayaknya yang terlebih dahulu kita “jewer” telinganya adalah Indonesia untuk terus membantu kemerdekaan Palestina tanpa bermain mata dengan Israel sebagai musuh dalam negerinya sendiri.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Para Founding Father penyelenggara Konferensi Asia Afrika ini dahulu tentu saja tidak hanya sekedar menyelenggarakan pertemuan yang sifatnya seremonial belaka.
Dasasila Bandung merupakan amanah sejarah yang tidak berlaku pasang surut, maju mundur dalam pengembanannya. Diperlukan mental baja dalam menjalankannya. Tidak setengah-setengah.
Founding Father punya komitmen kuat untuk memeredekakan Bangsa Asia-Afrika. Inilah amanah yang wajib dipegang kokoh oleh Bangsa Indonesia untuk memerdekakan saudara kandungnya, Palestina dari jajahan Israel.
Dukungan Palestina
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Bukankah Palestina merupakan bangsa yang selalu berdiri terdepan untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulu, sebagai bangsa yang berdaulat aman dan sentausa. Dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan,Lc.
Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil Presiden pertama Republik Indonesia), M. Natsir (mantan Perdana Menteri Republik Indonesia), Adam Malik (Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ketika buku ini diterbitkan) , dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution.
Zein Hassan,Lc.,Lt. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada halaman 40, menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
“… pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebarluaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan.”
Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat di negeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia , Muhammad Ali Taher.
Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia ..”
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Setelah seruan itu, maka negara daulat yang berani mengakui kedaulatan Republik Indonesia pertama kali oleh Mesir 1949. Pengakuan resmi Mesir itu (yang disusul oleh negara-negara Timur Tengah lainnya) menjadi modal besar bagi Republik Indonesia untuk secara sah diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
Pengakuan itu membuat Republik Indonesia berdiri sejajar dengan Belanda (juga dengan negara-negara merdeka lainnya) dalam segala macam perundingan & pembahasan tentang Indonesia di lembaga internasional.
Setelah itu, sokongan dunia Arab terhadap kemerdekaan Indonesia menjadi sangat kuat. Para pembesar Mesir, Arab dan Islam membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Para pemimpin negara dan perwakilannya di lembaga internasional PBB dan Liga Arab sangat gigih mendorong diangkatnya isu Indonesia dalam pembahasan di dalam sidang lembaga tersebut.
Di jalan-jalan terjadi demonstrasi-demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah. Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur-Tengah khususnya Mesir. Sholat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer Belanda ke-1, 21 juli 1947, pada 9 Agustus. Saat kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said.
Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor-boat dengan bendera merah-putih tanda solidaritas berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motor-motor boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air & makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan. Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk “Volendam” bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr. Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir.
Wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10. 08. 1948 melaporkan: “Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu kejuruan lain.”
Melihat fenomena itu, majalah TIME dengan nada salib menakut-nakuti Barat dengan kebangkitan Nasionalisme Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa.”
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Ini lah fakta sejarah yang wajib diungkap, inilah hutang budi Indonesia, sebagai Ibu bagi negara-negara Asia-Afrika, khususnya Palestina. Bahkan Indonesia banyak berhutang budi kepada Palestina, sampai dengan saat ini.
Rakyat Palestina yang selalu dalam kekurangan, kelaparan, kemiskinan, ketakutan, kehilangan tempat tinggal, kerap menggalang dana untuk membantu saudara mereka yang terkena bencana alam di Indonesia, seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di Padang, gempa di Jogjakarta (Walaupun tidak pernah diungkap di media).
Dari Palestina lah, Bangsa Indonesia belajar banyak tentang Al-Qur’an, belajar banyak tentang Sunnah Nabi Muhammad SAW, belajar banyak tentang pengamalannya, belajar banyak tentang kesabaran, belajar banyak tentang keikhlasan, belajar banyak bagaimana cara membantu kesusahan saudaranya sesama Muslim.
Indonesia belum banyak menolong Palestina, Rumah Sakit Indonesia di Palestina bukan bantuan atas nama pemerintah Indonesia, bukan bantuan atas nama Presiden Republik Indonesia, bukan bantuan atas nama para menteri Indonesia, tapi bantuan keikhlasan rakyat Indonesia, huluran tangan-tangan dermawan rakyat indonesia dari yang berpunya, para tukang becak, para petani, pedagang, tukang ojek, supir angkutan kota, sampai para pengemis yang biasa ditemui hidup di trotoar jalanan, perempatan serta lampu merah di seluruh provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Lantas, kepada siapa lagi saudara kandung kita Palestina layak meminta bantuan? apakah kepada PBB? Tidak. PBB bukan harapan Palestina. Harapan Palestina hanya pada Indonesia. Namun, Palestina tidak pernah meminta “uang” kepada Indonesia. Mereka hanya butuh do’a dari kita untuk tetap bersama-sama meraih kemerdekaan yang hakiki sebagaimana yang dirasakan oleh Bangsa Indonesia. Harapan keikhlasan mereka seharusnya ditangkap secara jernih oleh Indonesia dengan tetap bermental baja menjalankan amanah suci Dasasila Bandung pada Konferensi Asia Afrika 1955.
Harapan KAA 2015
Pada usianya yang ke-60, Konferensi Asia-Afrika kembali digelar di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2015. Apa makna yang bisa ditangkap pada Konferensi Asia-Afrika kali ini.
Semoga kemerdekaan Palestina bisa menjadi agenda penting yang terus disuarakan pada Konferensi Asia-Afrika kali ini oleh Indonesia khususnya, bukan disuarakan lagi oleh Bangsa Palestina, melihat keletihan mereka dalam meminta bantuan untuk menyuarakan kemerdekaan bangsanya sendiri, Indonesia seharusnya mengambil peran dan inisiatif untuk membulatkan tekad seluruh negara Asia-Afrika dalam memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Bangsa Palestina.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi menilai prakarsa Indonesia dalam memberikan dukungan bagi kemerdekaan Palestina sangat penting karena KAA pertama digelar di Indonesia. ”Harus lebih optimal lagi, terutama sebagai tuan rumah,” kata Sekretaris Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI tersebut.
Dalam debat calon presiden putaran ketiga, Presiden Joko Widodo juga tegas mendukung Palestina untuk merdeka. ”Ini momen penting untuk segera merealisasi janji Presiden,” kata dia. Menurut dia, Indonesia juga perlu bekerja sama dengan negara- negara Asia-Afrika lainnya, terutama di kawasan Asia Tenggara, dalam mempercepat kemerdekaan Palestina.
Dalam pandangan Yon Machmudi, isu Palestina adalah pekerjaan rumah bersama Asia-Afrika. Hal ini tak berlebihan karena Palestina merupakan satu-satunya negara di dunia yang belum mendapat kemerdekaan. ”Ini juga memiliki relevansi yang kuat dengan agenda KAA yang berkaitan dengan isu perdamaian dan kesejahteraan negara Asia-Afrika,” kata Yon.
Deklarasi dukungan tersebut, lanjut dia, akan memberi pengaruh besar terhadap perjuangan Palestina. Seperti diketahui, semangat KAA pertama tahun 1955 adalah menghilangkan kolonialisme dan imperialisme Barat di negara Asia- Afrika sehingga hal itu dapat direvitalisasi untuk Palestina.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pengamat politik internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati juga berharap KAA mencari terobosan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di negara Asia-Afrika, misalnya persoalan Boko Haram.
”Agenda untuk menyelesaikan masalah Asia-Afrika sehingga bisa menjadi kekuatan baru di tengah kekuatan yang sudah ada,” katanya.
Indonesia pun dapat memanfaatkan kekuatan tersebut untuk kepentingannya. Di sisi lain, KAA juga diharapkan dapat lebih mengembangkan kemitraan strategis Asia-Afrika baru.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai peringatan 60 tahun KAA akan memberikan relevansi dan signifikansi ketika semangat serta cita-citanya diwujudkan, yaitu membebaskan anggotanya dari penjajahan.
”Saat ini tersisa satu Bangsa Asia-Afrika yang belum lepas dari penjajahan, yaitu Palestina, kita menunggu apa yang akan dihasilkan dari pertemuan KAA ini,” kata dia. Dia juga menjelaskan relevansi dan signifikansi KAA diukur pula pada bagaimana agenda pembangunan dan kemakmuran negara-negara anggotanya bisa diwujudkan. ”Saya menilai konflik di kawasan Timur Tengah juga harus menjadi agenda serius dalam KAA tersebut,” katanya.
Kemerdekaan Bangsa Palestina merupakan agenda yang tidak bisa dihilangkan, meski hal itu bisa terganjal oleh negara-negara pemilik Hak Veto di PBB, kita memiliki hak suara yang banyak,” kata pengamat Politik Timur Tengah Fahmi Salsabila di Jakarta, Senin (20/4), menanggapi salah satu agenda Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika yang berlangsung di Jakarta sejak 19 hingga 24 April 2015 di Jakarta dan Bandung.
Fahmi mengatakan menghilangkan Hak Veto memang masih sangat sulit, karena PBB dikuasai oleh negara besar yang memiliki pengaruh. “Bagaimanapun kerasnya mendukung Palestina menjadi negara merdeka, kalau Amerika Serikat dan sekutunya memveto, semuanya akan sia-sia saja,” katanya.
Namun, negara yang terhimpun di KAA sebenarnya bisa melakukan upaya lain, seperti embargo ekonomi. “Kalau itu bisa efektif, itu bisa bersepakat tidak mau berhubungan ekonomi dengan Israel. Sebenarnya Israel negara lemah yang hanya mengandalkan dukungan ekonomi dari negara besar,” ujarnya.
Diungkapkan, perlawanan fisik rakyat Palestina selama ini tidak berhasil, karena Israel didukung oleh negara kuat di dunia. Dengan demikian, melalui perlawanan ekonomi diharapkan akan bisa jauh lebih efektif.
Sebenarnya, tekan Fahmi, negara-negara Asia Afrika jumlahnya cukup banyak, sehingga bila bersepakat mendukung negara yang terjajah ingin merdeka, pasti akan berhasil. “Asal tegas, tidak plin plan,” tandasnya.
Dukungan real antara setuju dengan tidak setuju terhadap kemerdekaan Palestina merupakan kebulatan tekad yang disuarakan bangsa Asia-Afrika, khususnya Indonesia sejak dahulu. Namun pengaplikasiannya di lapanganlah yang diperlukan, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur Palestina yang berkelanjutan inilah wujud kongkret yang bisa diambil bagian oleh Indonesia.
Hapus segala bentuk penjajahan, hapus segala bentuk intervensi terhadap negara lain, stop “bermain” dengan negara penjajah, stop untuk tidak menggunakan produk negara penjajah, stop untuk mengizinkan investor penjajah berinvestasi di dalam negeri, stop untuk menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, stop untuk bekerjasama militer, ekonomi, hankam, budaya dan perdagangan dengan Israel. Inilah makna spirit suci Dasasila Bandung pada Konferensi Asia Afrika 1955 yang bisa diaplikasikan oleh Bangsa Indonesia saat ini sebagai Ibu dari negara-negara Asia-Afrika.
Melihat peliknya usaha kita untuk merdeka, semoga Bangsa Indonesia yang saat ini merasakan nikmatnya hidup berdaulat tidak melupakan peran bangsa bangsa Arab, khususnya Palestina dalam membantu perjuangan kita, Bangsa Indonesia.
Menilik berbagai peristiwa yang terjadi di Palestina dari hari ke hari semakin banyak dukungan yang mengalir untuk kemerdekaan Palestina, penulis yakin bahwa angkara murka dan segala bentuk kejahatan Zionis Israel akan segera berakhir, hanya perlu waktu.
Diadakannya Konfrensi Asia Afrika di Bandung, menjadi bukti bahwa Indonesia tidak pernah mau menerima segala macam bentuk penjajahan di muka bumi ini. Oleh sebab itu jika betul Indonesia amanah terhadap isi konferensi tersebut sudah sepantasnya tidak perlu bermain mata dengan Zionis Israel.
Menutup tulisan ini, penulis optimis akan kemenangan dan kemerdekaan Bangsa Palestina sebagaimana Indonesia yang dijajah selama kurang lebih 350 tahun oleh Belanda walaupun berbekal bambu runcing sudah cukup untuk berjuang memerdekakan tanah air dari penjajah.
Kini Palestina mengikuti jejak kita, melemparkan batu, sebagai senjata tradisional perlawanan untuk mengusir penjajah Zionis Israel, akankah batu bisa menjadi senjata hebat dalam perjuangan kemerdekaan? Optimis kata kuncinya dengan tidak serta merta melupakan kebaikan Bangsa Palestina membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Semoga spirit suci Dasasila Bandung pada Konferensi Asia Afrika I 1955 bisa diaplikasikan oleh Bangsa Indonesia saat ini sebagai ibu kota dari negara-negara Asia-Afrika dalam memperjuangkan secara konsisten kemerdekaan Bangsa Palestina. Wallohu A’lam (T/Hbb/K08/P4).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)