Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

AQIDAH DAN JIHAD DI JALAN ALLAH

Ali Farkhan Tsani - Jumat, 31 Januari 2014 - 02:57 WIB

Jumat, 31 Januari 2014 - 02:57 WIB

1323 Views

Oleh Ali Farkhan Tsani,

Alumnus Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a, Yaman

Staf dai Ma’had Al-Fatah Al-Islamy Cileungsi, Bogor, Jawa Barat

Dalam ajaran Islam, aqidah yang lurus dan bersih, terbebas dari syirik, memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

Jika kita ingin menghadap Allah dalam keadaan muslim yang benar, maka factor aqidah adalah pondasi utamanya. Sehingga dengan landasan aqidah tersebut, Allah berkenan menerima amal shalih yang kita lakukan dalam hidup ini.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا 

Artinya : “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)

Pada ayat lain Allah menegaskan :

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya : “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az-Zumar [39] : 65).

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُ ۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۟ فَٱعۡبُدُونِ

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan [yang hak] melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al-Anbiya [21] : 25).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih 13 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat.

Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman,

Kekuatan Aqidah

Aqidah yang lurus akan menjadi benteng yang kuat untuk menolak berbagai godaan dunia, penyimpangan paham, bid’ah (ajaran baru) dan aliran sesat dari Islam. Kita akan tampil kuat dan percaya diri (yakin penuh pada ajaran Islam) di tengah godaan kehidupan dunia dan godaan ajaran yang menyesatkan di sekeliling kita.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Aqidah yang lurus juga akan menambah kecintaan kita pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan akan menambah kekhusyu’an kita dalam beribadah. Dengan menguatkan aqidah maka kita dapat mencintai Allah secara benar, mengharapkan-Nya secara benar dan takut pada-Nya secara benar pula. Kita mencintai Allah (Muhabbah) karena sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Lembut, Maha Sabar, Maha Suci dan Maha Adil.

Kita juga selalu mengharapkan-Nya (Raja’), karena kita tahu sifat-Nya yang Maha Pengampun, Maha Mengabulkan, Maha Pembalas Jasa, Maha Pemberi Rezki dan Maha Penolong. Kita juga merasa takut (Khauf) untuk melakukan dosa, karena kita tahu sifat-sifat Allah yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Mendengar, Maha Pembalas, Maha Pembuat Perhitungan dan Maha Menetapkan Hukum.

Kaitan Aqidah dengan jihad di jalan Allah

Allah menjadikan jihad Fi Sabilillah dengan harta dan jiwa sebagai harga yang pantas untuk memperoleh surga. Karena tidak ada amal yang lebih membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan besar melebihi jihad. Di mana seorang mujahid menyerahkan nyawa dan hartanya demi tingginya kalimat Allah dan tegak agama-Nya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah [9] : 111).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ () يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ () وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS Ash-Shaff [61] : 10-13).

Jihad Puncak Islam

Muadz bin Jabal mengatakan, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada perang Tabuk, lalu beliau bersabda: “Jika kamu mau akan kuberitahukan kepadamu tentang pokok urusan, tiangnya, dan puncaknya?” Aku menjawab, “Tentu saja mau wahai Rasulullah. …yang memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan :

رَأسُ الأمْرِ الإسلامُ ، وعَمُودُه الصَّلاةُ ، وذِرْوَةُ سَنامِهِ الجهاد

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Artinya : “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya itu shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR Al-Tirmidzi).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyerupakan Islam dengan seekor unta. Karena unta merupakan kendaraan yang bisa menghantarkan seseorang ke tempat yang dikehendakinya. Begitu juga Islam, ia menghantarkan seorang muslim dalam perjalanan duniawi kepada tempat yang terindah yang ditujunya, yakni surga.

Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyerupakan kepala unta dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan hampir setiap orang memungkinkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana seseorang bisa mencapai kepala unta dengan memegang atau melihatnya.

Hal ini berbeda dengan jihad yang diserupakan dengan punuk unta, bagian tertinggi darinya. Tidak setiap orang bisa sampai kepadanya kecuali orang yang tinggi. Begitu juga jihad tidak direngkuh kecuali oleh orang mukmin yang utama, tinggi cita-citanya, tiggi semangatnya, tinggi harapannya akan ridha Allah.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Makna lain diserupakannya jihad dengan punuk unta, karena ia adalah bagian tertinggi dari unta. Tak ada anggota badan unta yang sepadan tingginya dengan punuknya. Begitu juga jihad, tak ada amal dalam Islam yang sepadan dengannya.

Bisa juga dipahami, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyerupakan jihad dengan punuk unta karena siapa yang sampai di atas punuk unta maka ia telah menguasai seluruh anggota tubuh unta tersebut dan mengendalikannya. Begitu juga jihad, siapa yang telah Allah karuniakan kesempatan berjihad, seolah, Allah telah memberikan kepadanya semua keutamaan yang ada dalam Islam. Hal ini dikarenakan seorang mujahid tetap diberi pahala jihad perjalanannya, pahala jihad dalam capek dan lelahnya, pahala jihad dalam lapar dan hausnya, pahala jihad dalam setiap perkataan dan gerakannya. Bahkan pahala jihad dalam tidurnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata, ‘Ya Rasulallah, tunjukkan kepadaku satu amal yang menyamai jihad?’ Beliau menjawab, ‘Aku tidak mendapatkannya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Apakah kamu sanggup, apabila seorang mujahid keluar lalu kamu masuk ke dalam masjidmu kemudian kamu shalat tanpa berhenti dan berpuasa tanpa berbuka?! Ia menjawab, ‘Siapa yang sanggup melakukan itu wahai Rasulallah?’” (HR Al-Bukhari)

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad di jalan Allah?” beliau menjawab, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan  jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.” Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

Artinya : “Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang  mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Penghambat jihad

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

As-Syahid Sayyid Qutb menyimpulkan : Penghambat jihad adalah sifat-sifat munafiq, yang terasa pada mulai lemahnya keteguhan hati, mulai terbukanya sifat riya kepada orang lain, mulai munculnya ketakutan dan kelemahan jiwa mereka akan kerugian duniawi, yang terbaca dari nafsu ketika menerima perintah berjihad.

Lalu, mengapa sifat-sifat nifaq ini muncul? Inilah yang perlu kita perhatikan bersama :

    1. Kebodohan, tidak ada kemauan atau enggan ta’lim, belajar, membaca, memperhatikan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang merusak, menurut aqidah Islam.
    2. Fanatik terhadap sesuatu atau seseorang, sehingga meremehkan nasihat orang lain, kalau bukan yang ia sukai. Walaupun yang disampaikan adalah ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sekalipun.
    3. Taqlid, ikut-ikutan tanpa mengetahui landasan syariatnya.
    4. Ghaflah, lalai terhadap kebesaran dan sifat-sifat Allah di alam jagad raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan yang tertuang dalam Kitab-Nya (ayat-ayat Qur’aniyah). Adanya kerusakan di muka bumi, sebagai ujian, cobaan, musibah bahkan azab akibat kemaksiatan, sebagai pelajaran kita semua.
    5. Rumah tangga (keluarga) yang hampa dari ajaran Islam, yaitu para orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya, tidak peduli pada bacaan dan hafalan Al-Quran putera-puteri kesayangannya, tidak peduli apakah sudah shalat atau belum. Sementara sang anak tidak berbakti kepada orang tua, diperintah tidak taat, dinasihati malah membantah, diberi arahan maunya sendiri. Akibat apa? Karena lemahnya aqidah di dalam jiwa anak. Tidak seperti keteguhan jiwa Ismail ‘alaihis salam, yang ketika diperintah, bahkan ketika ayahnya mendapat amanat untuk menyembeluh dirinya. Ia pun dengan taat dan santun berkata, “Lakukan wahai Ayah apa yang Allah perintahkan kepada ayahanda”.
    6. Godaan lingkungan, yaitu berupa godaan cara dan gaya hidup yang menggunakan nilai-nilai kebaikan yang tidak sesuai syariah Islam, termasuk dalam hal ini godaan gaya hidup maksiat yang ditayangkan di televisi dan media massa lainnya. Apalagi televisi, 96 persen berisi hiburan. Sisanya 4 persen informasi, itupun informasi yang dikuasai Zionis. Lihatlah para pembuat program televisi : mulai dari acara kartun, pentas nyanyi, aneka kuis, tayangan mistik, infotaiment, hingga siaran olahraga. Semuanya merupakan kemasan Zionis dalam kemasan buka aurat, sarana khalwat laki-laki perempuan yang bukan muhrim, mempermainkan agama, dan melecehkan nilai-nilai mulia Islam. 
    7. Ghuluw atau alwahn, cinta berlebihan terhadap dunia, termasuk harta, keluarga, anak isteri, pekerjaan, hobi, dan lainnya melebihi cintanya kepada Allah, Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya.

Rekomendasi untuk Anda

MINA Millenia
Ramadhan 1445 H
Feature
Kolom