Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA, Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi-Bogor
Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan sebuah pertanyaan:
فَلَا ٱقۡتَحَمَ ٱلۡعَقَبَةَ (١١) وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ مَا ٱلۡعَقَبَةُ (١٢)
Artinya: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS Al-Balad [90]: 11-12).
Ayat ini berbicara soal jalan kebaikan yang dikatakan sebagai jalan yang sukar, sulit ditempuh lagi menanjak. Hanya orang-orang yang sabar saja yang mampu dan mau melakukannya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Apa jalan mendaki itu? Allah menjawab pada ayat-ayat berikutnya, yakni:
فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣) أَوۡ إِطۡعَـٰمٌ۬ فِى يَوۡمٍ۬ ذِى مَسۡغَبَةٍ۬ (١٤) يَتِيمً۬ا ذَا مَقۡرَبَةٍ (١٥) أَوۡ مِسۡكِينً۬ا ذَا مَتۡرَبَةٍ۬ (١٦) ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡمَرۡحَمَةِ (١٧)
Artinya: “[yaitu] melepaskan budak dari perbudakan, (13) atau memberi makan pada hari kelaparan, (14) [kepada] anak yatim yang ada hubungan kerabat, (15) atau orang miskin yang sangat fakir. (16) Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. ”(17). (QS Al-Balad [90]: 13-17).
Rincian jalan kesukaran itu adalah:
Pertama, melepaskan budak dari perbudakan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Hal ini karena Allah hanya menginginkan penghambaan yang sempurna kepada Dzat-Nya saja. Bukan perbudakan sesama manusia. Karena itulah salah satu misi utama agama Islam adalah menghapus dan menghilangkan perbudakan manusia atas manusia lain, penghambaan manusia kepada manusia atau benda lain. Beralih menjadi penghambaan hanya kepada Allah.
Ini akan mewarnai seluruh kehidupannya. Sehingga ia akan menjadi orang yang beribadah, berjuang, bermasyarakat, bershadaqah, hanya karena Allah.
Kedua, memberi makan pada hari kelaparan.
Memberi pertolongan pada saat dibutuhkan adalah sesuatu yang mulia. Dan hal tersebut tidaklah mudah. Apalagi jika tidak didahului oleh permintaan tolong dari pihak yang memerlukan bantuan, sungguh hal tersebut menjadi berat. Hanya orang tertentu saja yang memiliki kepekaan hati dan diringankan untuk membantu.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Ia adalah orang yang bukan sekedar memiliki simpati atas kekurangan atau musibah yang menimpa orang lain. Namun lebih dari itu, empati yang nyata. Ia bukan sekedar “saya turut berduka…”. Namun juga diiringi dengan pemberian shadaqah sesuai kemampuannya.
Ia bukan sekedar “kasihan ya”. Namun juga berupaya membantu, walau tidak dengan uang, tapi dengan saran solusinya.
Ketiga, memberi makan anak yatim yang ada hubungan kerabat.
Memuliakan dan menolong anak yatim adalah salah satu amal yang utama. Apalagi jika sang yatim tersebut masih ada hubungan kekerabatan, tentu akan menambah nilai plus. Membantu dan sekaligus menjaga tali kekerabatan (silaturrahmi).
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Bantuan bisa dengan memberi makanan, uang, beasiswa, perlindungan tempat tinggal, dan sebagainya. Menyekolahkan, memberikan modal usaha, dan seterusnya. Dan itu, jalan cukup terjal, alias tidak mudah, kecuali bagi mereka yang memiliki jiwa iman.
Keempat, memberi makan orang miskin yang sangat fakir.
Orang-orang yang miskin dan tertekan kemiskinannya adalah orang yang berada di prioritas pertama untuk dibantu. Jiwa mereka tertekan karena lidah mereka tak lagi sanggup mengungkapkan permintaan tolong. Hati mereka juga sakit menanggung malu. Tapi mereka memiliki iman yang menahannya dari menghalalkan segala cara.
Mereka inilah yang sangat perlu diutamakan untuk ditolong, seperti para pengungsi Palestina di wilayah Lebanon, Turki, dan sebagainya. Warga Suriah yang mengembara tak tentu arah di mancanegara. Penduduk ‘tanpa warganegara’ Rohingya di kamp-kamp Bangladesh. Orang-orang miskin yang berjuang di jalan Allah, tapi terjerat hutang, dan sebagainya.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Kelima, orang-orang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Untuk mendaki ke puncak prestasi, dan puncak prestasi tertinggi orang-orang beriman adalah taqwallah, mesti dilakukan dengan cara yang sabar dan saling menasihati dengan kasih sayang.
Karena manusia tempat lupa dan salah, mudah lupa dan kerap salah. Di sinilah perlunya saling membantu, saling mengingatkan, saling menyabarkan, saling bergandeng tangan, bak satu per satu meraih puncak gunung kejayaan.
Tidak dengan mengabaikan yang lain, meremahkan yang dhuafa, atau membiarkan kesalahan berlarut-larut. Namun justru semakin erat bergandengan hati, agar jalan terjal terasa nikmat, jalan mendaki serasa terbang, bahagia menaklukkan tantangan. Hingga tampil sebagai pemenang, bukan pecundang.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Perjuangan menegakkan kalimah Allah, melalui kemampuan yang dimiliki, lisan, tulisan, perilaku, aklak, semuanya adalah pilihan yang memiliki konsekuensi tanggung jawab. Sama seperti enggan, malas, masa bodoh, menyerah, putus asa, itupun pilihan sendiri yang berkonsekwensi pada diri sendiri pula. Sebab tanpa kita masih ada yang lain yang akan menggantikan, yang boleh jadi lebih berkualitas dari kita.
Dan pilihan mendaki itu tidaklah sia-sia, karena Allah telah menyediakan balasan dan ganjaran yang melebihi bayangan seseorang. Bahkan dengan sesuatu yang belum terbayang-kan sebelumnya.
Allah menyebutnya dengan kelompok kanan, seperti pada ayat selanjutnya:
أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡمَيۡمَنَةِ (١٨)
Artinya: ‘Mereka [orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu] adalah golongan kanan.” (QS Al-Balad [90]: 13-17).
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Sebaliknya, jika pilihan seseorang adalah jalan yang salah, yang nyaman, menurun lagi meninabobokan. Enak, banyak tidur, berpihak pada kemalasan, tak peduli manusia lain yang memerlukan, apalagi tak peduli perjuangan. Maka konsekwensinya ya jalan kiri, jalan kesalahan, jalan kegagalan bagi dirinya sendiri.
Orang-orang yang berbaris di golongan kiri tersebut akan digiring ke neraka Allah, yang tak ada celah bagi siapapun untuk lari dan menghindar darinya. Gagal di dunia, sengsara di akhirat. Na’udzubillaah.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَٔايَـٰتِنَا هُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡمَشۡـَٔمَةِ (١٩) عَلَيۡہِمۡ نَارٌ۬ مُّؤۡصَدَةُۢ (٢٠)
Artinya: “Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (QS Al-Balad [90]: 13-17).
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Begitulah, seperti dikatakan Imam Qatadah, bahwa jalan mendaki adalah jalan kesulitan yang sangat berat lagi menyusahkan. Namun orang-orang beriman menceburkan diri dalam kesulitan mentaati Allah Ta’ala. Sulit menurut kadar hawa nafsu, tapi lezat menurut kadar iman (khalaawatul imaan).
Untuk menaklukkan jalan mendaki itu, hanya dapat dihadapi oleh manusia-manusia yang benar-benar paham hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Untuk apa ia hidup? Untuk siapa dia hidup? Dan akan ke mana akhir hidup?
Dengan pemahaman yang benar tentang hakikat kehidupan inilah, manusia-manusia pilihan akan berupaya komitmen dengan nilai-nilai kebenaran dan konsisten menuju puncak ketakwaan dan keimanannya.
Tekadnya selalu membara menghadapi ujian dan tantangan, diiringi terus meningkatkan segala potensi dirinya untuk meraih dan mencapai keridhaan Allah.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Dengan tekad dan kekuatan potensi dirinya, ia akan senantiasa melakukan pengorbanan dengan apa yang ia miliki, dengan apa yang ia cintai, dan dengan apa yang ia kuasai demi bertahan dalam perjuangan hidup, demi kehormatan Islam dan kaum Muslimin, “Li izzil Islam wal Muslimin”.
Mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa melukiskan tinta emas amal unggulan dalam lembaran-lembaran dan kanvas kehidupannya. Mereka tidak pernah mengenal kata “lelah, letih dan sulit” dalam menapaki jalan terjal perjuangan. Yang ada dan terus ditancapkan adalah “Lillaah…. Lillaah… Lillaah”. (A/RS2//P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika