Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kajian Al-Baqarah 183 Kewajiban Puasa Ramadhan

Ali Farkhan Tsani - Senin, 15 Mei 2017 - 23:46 WIB

Senin, 15 Mei 2017 - 23:46 WIB

719 Views

ramadhan-1-300x212.jpg" alt="" width="300" height="212" />Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)  

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 183)

Sebab Turun Ayat

Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”

Sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Ketika sampai di Madinah (hijrah) beliau berpuasa di hari Asysyura dan berpuasa tiga hari setiap bulannya”.

Waktu itu umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan puasa wajib tiga hari setiap bulannya.

Setelah hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi di situ berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lalu beliau bertanya tentang sebab musababnya mereka berpuasa pada hari tersebut. Orang-orang Yahudi itu menyatakan bahwa pada hari tersebut Allah telah menyelamatkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya dari serangan Fir’aun. Oleh karena itu Nabi Musa ‘Alaihis Salam melaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram sebagai tanda syukur kepada Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengulas keterangan mereka itu dengan menyatakan, “Sesungguhnya kami (umat Islam) adalah lebih berhak atas Nabi Musa dibanding kalian”. Lalu beliau melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram dan memerintahkan seluruh umat Islam supaya berpuasa pada tanggal tersebut.

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

Beberapa waktu kemudian, pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriyah, Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan menurunkan ayat 183-184 dari surat Al-Baqarah.

Setelah itu, maka puasa pada tanggal 10 Muharram dan puasa tiga hari setiap bulannya berubah status menjadi puasa sunah. Sedangkan puasa Ramadhan sebulan penuh menjadi wajib.

Hampir sama sebenarnya, kalau dulu tiga hari tiap bulan dikalikan 12 bulan menjadi 36 hari. Ditambah puasa wajib tangal 10 Muharram. Jumlah totalnya menjadi 37 hari per tahun. Sedangkan bulan Ramadhan sebulan penuh sejumlah 29 atau 30 hari. Namun, tentu saja kandungan pahalanya jauh lebih banyak ibadah puasa Ramadhan itu.

Panggilan Kepada Orang Beriman

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Kata يَاأَيُّهَا merupakan kata panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ حرف النداء (kata panggilan). Ia sama dengan kata “Yaa”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.

Dalam Al-Qur’an, ditemukan penggunaan kata “Yaa ayyuha”, seperti pada kata “Yaa ayyuhalladzina amanu,” “Yaa ayyuhan naas,” “Ya ayyuhan nabiy”, “Ya ayyuhal mudats-tsir”, “Ya ayyuhal muzzammil”, dan lainnya. Artinya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu. Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu.

Di dalam Al-Qur’an sering digunakan perkataan, “يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا”. Di sini orang-orang beriman selalu disebut secara jama’ (kolektif). Al-Qur’an tidak mengatakan, “Yaa aiyuhal mukmin” (wahai seorang Mukmin). Atau tidak pernah dikatakan, “Yaa ayyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang mengimani). Akan tetapi, selalu dikatakan, “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman).

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, melalui surat Al-Baqarah ayat 183 ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala berbicara kepada orang-orang beriman dan memerintahkan shaum kepada mereka.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, apabila suatu ayat dimulai dengan panggilan : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواyang artinya “Hai orang-orang yang beriman”, menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung perihal atau perintah yang sangat urgent (penting) atau suatu larangan yang cukup berat.

Di Dalam Al-Quran terdapat lebih dari 80 ayat yang dimulai dengan seruan يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا berupa hal yang sangat penting atau berisi suatu larangan yang cukup berat.

Di sinilah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memang telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk menjalankan puasa Ramadhan hanyalah orang-orang yang beriman. Karena ibadah puasa ini adalah suatu perintah yang cukup berat menurut fisik nafsu manusiawi, disebabkan membutuhkan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan setiap hari.

Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, orang yang mengaku beriman kepada Allah sebagau Tuhannya, tentu dia akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan lapar dan dahaga, serta mengendalikan nafsunya demi memenuhi panggilan ilahi ini, yakni melaksanakan puasa secara penuh selama bulan Ramadhan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, bersedia bangun malam untuk makan sahur. Lalu bersedia menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri, sejak terbit fajar hingga maghrib, selama bulan Ramadhan.

Adapun perihal penting panggilan orang-orang beriman tersebut adalah perintah berpuasa : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ “diwajibkan atas kalian shaum”. Dalam hal ini, Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang-orang beriman.

Arti asal dari kata ‘kutiba’ sebenarnya : Telah dituliskan! Dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Kutiba adalah bentuk pasif dari kata ka-ta-ba, sehingga maknanya ‘dituliskan’.

Para ahli tafsir telah sepakat, bahwa kata ‘kutiba’ artinya adalah diwajibkan atau difardhukan. Sebagai ibadah wajib, sebagaimana rumus umumnya, jika dikerjakan mendapat pahala besar, jika ditinggalkan berdosa.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu muslim yang mampu mengerjakannya. Puasa Ramadhan sekaligus menjadi Rukun Islam, pilar atau tiang bangunan Islam dalam diri kita, selain : Syahadat, Shalat, Zakat dan Haji.

Adapun ibadah puasa itu sendiri, telah Allah wajibkan juga kepada umat-umat terdahulu. Dengan demikian berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa. Ini memberikan semangat agar orang beriman menunaikannya secara lebih sempurna dari apa yang pernah ditunaikan orang-orang sebelum mereka.

Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan, ibadah puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman sejak Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Di dalam Surat Maryam disebutkan, bahwasanya Nabi Zakaria ‘Alaihis Salam dan Maryam ibu Nabi Isa ‘Alaihis Salam pun mengerjakan puasa.

Memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Sesuatu yang berat jika diwajibkan kepada kebanyakan orang, maka bagi yang bersangkutan akan menjadi ringan melaksanakannya.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Tujuan Puasa Meraih Taqwa

Tujuan disyari’atkannya kewajiban puasa Ramadhan adalah : لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kalian bertaqwa”.

Ujung ayat ini merupakan tujuan puasa yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah (taqwallah). Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.

Semoga kita dapat meraih gelar taqwallah sebagai hasil dari ibadah puasa Ramadhan. Aamiin. (RS2/R01)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Tausiyah
Indonesia