Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Aku bersaksi, tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah dengan benar melainkan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du;
Satu lagi, di antara surat-surat pendek yang sering kita dengar dan baca, yang mengharuskan kita untuk lebih paham makna dan isi kandungannya, serta mengetahui hukum dan pelajaran yang tersirat di dalamnya, yaitu Surat Al-Kautsar.
Asbabun Nuzul
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Salah satu riwayat yang masyhur tentang sebab turunnya surat ini adalah, dahulu kaum Quraisy mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tatkala keturunan terakhir beliau wafat dengan mengatakan bahwa kenikmatan kepada Rasulullah telah ‘terputus’. Maka dengan turunnya surat ini menjadi bantahan terhadap kaum Quraisy.
Surat ini turun ketika Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sedang tidur ringan, kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Lalu beliau ditanya oleh para shahabat: “Kenapa Anda tersenyum, wahai Rasulullah?
Baru saja turun kepadaku suatu surat. Lalu beliau membacakannya kepada para shahabatnya,
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar: 1-3)
Kemudian beliau berkata, “Tahukah kalian apa itu Al-Kautsar?” “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, jawab para shahabat.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِى. فَيَقُولُ مَا تَدْرِى مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Artinya: “Al-Kautsar adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabbku ‘azza wa jalla. Sungai tersebut memiliki kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang nanti akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat nanti. Bejana (gelas) di telaga tersebut sejumlah bintang di langit. Namun ada dari sebgaian hamba yang tidak bisa minum dari telaga tersebut. Allah berfirman: Tidakkah engkau tahu bahwa mereka telah berbuat bid’ah sesudahmu.” (H.R. Muslim)
Itulah kisah masyhur tentang asbabun nuzul Surat Al-Kautsar ini.
Luasnya Karunia Allah
Sungguh, betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti, kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat.
Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman.
Allah Ta’ala telah menyebutkan sebagian nikmat yang dikaruniakan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kepada umat beliau. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak” (QS Al Kautsar: 1)
Yang dimaksud ‘Al-Kautsar’ menurut Abul Fida’ Ibnu Katsir Rahimahullah adalah telaga yang panjangnya perjalanan satu bulan dan lebarnya juga perjalanan satu bulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Bejanannya sebanyak dan semengkilap bintang-bintang di langit. Baunya lebih harum dari minyak kasturi. Siapa yang meminum seteguk darinya, maka dia tidak akan merasa haus selamanya. Dan sungai ini adalah bagian dari nikmat yang banyak, yang diberikan Allah kepada umat Rasulullah.
Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah, setidaknya ada enam pendapat mengenai makna Al-Kautsar diantaranya;
Pertama, Al Kautsar adalah sungai di surga. Kedua, Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak yang diberikan pada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Ketiga, Al Kautsar adalah ilmu dan Al Qur’an. Demikian pendapat Al Hasan Al Bashri. Keempat, Al Kautsar adalah nubuwwah (kenabian), sebagaimana pendapat ‘Ikrimah. Kelima, Al Kautsar adalah telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang banyak manusia mendatanginya. Demikian kata ‘Atha’. Keenam, Al-Kautsar adalah begitu banyak pengikut dan umat. Demikian kata Abu Bakr bin ‘Iyas.
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya.
Sudah berapakah dalam kalkulasi kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan kalkulasi yang baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Ta’ala. Tahukah anda apa rahasia dibalik pemberian Allah Ta’ala tersebut?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Mensyukuri Nikmat Allah
Setelah menyebutkan nikmat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga kepada kita pada umumnya, pada ayat selanjutnya, Allah Ta’ala memerintahkannya kepada kita untuk mensyukuri nikmat itu dengan menjadikan shalat dan sembelihannya hanya untuk Allah Ta’ala. Tidak seperti orang-orang musyrik yang bersujud dan menyembelih (binatang) untuk selain Allah, seperti patung, para wali dan lain sebagainya.
Syaikh Musthafa Al ‘Adawy berkata, “Orang yang masih berada dalam fitrah yang selamat, tentu ketika diberi nikmat akan dibalas dengan syukur. Maka kebaikan yang banyak yang telah diberi ini dibalas dengan:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Artinya: “Dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.”(Q.S. Al-Kautsar: 2)
Yang dimaksud, ‘maka dirikanlah shalat karena Rabbmu’ dan berqurbanlah, adalah jadikanlah shalatmu hanya karena Allah dan jangan ada niatan untuk yang selain-Nya. Begitu pula jadikanlah hasil sembelihan unta ikhlas karena Allah. Jangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di mana mereka melakukan sujud kepada selain Allah dan melakukan penyembelihan atas nama selain Allah. Bahkan seharusnya shalatlah karena Allah dan lakukanlah sembelihan atas nama Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Q.S. Al An’am: 162-163)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Abu Qatadah Rahimahullah berpendapat, yang dimaksud ‘shalat’ di sini adalah shalat Idul ‘Adha. Adapun maksud ‘naher’ adalah penyembelihan pada hari Idul Adha sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid dan mayoritas ulama.
Dua macam ibadah ini secara khusus disebut karena keduanya merupakan ibadah yang paling utama dan yang paling mulia. Shalat mengandung ketundukan kepada Allah Ta’ala, di hati dan di anggota badan. Sedangkan menyembelih adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan harta berharga yang dimiliki manusia, yaitu onta, sapi dan kambing. Padahal jiwa manusia itu secara kodrati amat mencintai harta.
Tiada Kebaikan bagi Pencela
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, ‘wahai Muhammad, sesungguhnya orang yang membenci dan mencelamu itulah yang terputus dari semua kebaikan, terputus amal dan nama baiknya.
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (Q.S. Al-Kautsar: 3)
Yang dimaksudkan ayat ini adalah orang-orang yang membenci dan memusuhi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam akhirnya yang terputus dan tidak ada lagi penyebutan (pujian) untuknya setelah matinya.
Orang-orang Quraisy menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak lagi memiliki keturunan laki-laki (semuanya meninggal dunia). Maka Allah pun membalasnya dengan meninggikan pujian bagi beliau. Beliau dipuji oleh orang terdahulu dan belakangan di tempat yang tinggai hingga hari pembalasan. Sedangkan yang memusuhi beliau, itulah yang terputus di belakang.
Ibnu Katsir menjelaskan, yang dimaksud ‘Al-Abtar’ adalah jika seseorang meninggal dunia, maka ia tidak akan lagi disebut-sebut (disanjung-sanjung). Inilah kejahilan orang-orang musyrik. Mereka sangka bahwa jika anak laki-laki seseorang mati, maka ia pun tidak akan disanjung-sanjung.
Padahal tidak demikian. Bahkan beliaulah yang tetap disanjung-sanjung dari para syahid (tuan) yang lain. Syari’at beliau tetap berlaku selamanya, hingga hari kiamat saat manusia dikumpulkan dan kembali.”
Secara umum, pada surat ini menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, berisi penjelasan mengenai nikmat yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu beliau dikaruniakan kebaikan yang banyak.
Kemudian di dalamnya berisi perintah untuk mengerjakan shalat dan berqurban juga ibadah lainnya atas dasar ikhlas karena Allah. Kemudian terakhir dijelaskan bahwa siapa yang membenci Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan membenci satu saja dari ajaran beliau, merekalah yang nantinya terputus yaitu tidak mendapatkan kebaikan dan barokah. Wallahu A’lam. (P011/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)