Kaleidoskop 2020: Muslim Rohingya

Foto: DW

Etnis , yang umumnya Muslim punya sejarah lama di Myanmar, walaupun tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah.

Mereka dianggap sebagai “imigran gelap” dari negara tetangga Bangladesh. Akibatnya, mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan, sekolah, dan pekerjaan.

Muslim Rohingya juga mengalami diskriminasi ekstrim dalam kehidupan bermasyarakat maupun pemerintahan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.

Apa lagi sejak terjadinya kekerasan berkobar pada Agustus 2017, militer Myanmar diduga membunuh ribuan orang Rohingya, memperkosa perempuan dan anak perempuan, menyeret laki-laki dan anak laki-laki ke fasilitas penahanan, tempat mereka disiksa dan membakar ratusan rumah serta desa.

Sejak saat itulah, lebih dari satu juta warga Rohingya yang diperkirakan menetap di Myanmar, populasinya semakin kecil karena mereka terus berbondong-bondong menyelamatkan diri dari kekerasan dan penindasan di negara-bagian Rakhine, Myanmar Barat.

Sebagian besar Muslim Rohingya pindah dan mencari perlindungan ke kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, India, dan Myanmar.

Meski Pemerintah Bangladesh telah menampung orang Rohingya, namun tidak memberikan status pengungsi yang luas sehingga membuat mereka tidak memiliki status hukum di kedua sisi perbatasan.

Bertahun-tahun di Bangladesh, orang Rohingya hidup berdesakan di tempat penampungan yang sebagian besar terbuat dari terpal tipis dan bambu.Cox Bazar, tempat sebagian besar pengungsi Rohingya berada, sangat padat dengan kepadatan 40.000 orang per kilometer persegi.

Pihak berwenang Bangladesh juga memberlakukan pemblokiran internet di kamp-kamp pengungsi, membuat komunitas ini semakin terisolasi dan tidak dapat mengakses informasi penting tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dalam pandemi, bahkan ketika COVID-19 mengancam akan menewaskan banyak orang di kamp-kamp yang sempit.

Hidup dalam kondisi apartheid di Myanmar dan terhambat oleh kurangnya peluang mata pencaharian di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, orang Rohingya telah berupaya mencapai Malaysia, Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain.

Tidak adanya visa, dokumen perjalanan dan pembatasan ketat terhadap pergerakan mereka yang membuat perjalanan darat hampir mustahil, seringkali menjadikan kapal sebagai pilihan terbaik dan satu-satunya.

Tidak jarang mereka dilaporkan terombang-ambing di laut di dalam sebuah kapal reyot yang kelebihan muatan.

Hingga tahun 2020, banyak cerita dan peristiwa mengenai etnis Rohingya yang masih tak pernah jauh dari gambaran suram, menyedihkan, dan menyayat hati. Namun, ada juga beberapa pihak berjuang untuk mengembalikan kebahagian dan hak-hak mereka.

MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) dari Indonesia menginisiasi pembangunan Rumah Sakit Indonesia di wilayah itu bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) dan ummat Budha Indonesia. Rumah sakit ini akan melayani semua fihak di sana.

Terombang-ambing di Lautan

Pada January 14, sebuah kapal kayu dengan 66 Muslim Rohingya yang diduga dari Bangladesh dicegat di dekat Pulau Sentinel Utara, gugusan Kepulauan Andaman dan Nikobar, Teluk Benggala, Wilayah Persatuan India.

Sumber mengatakan, kapal diduga pergi dari Bangladesh lebih dari dua pekan lalu. Kapal kemudian dicegat oleh Polisi Nicobar, sekitar 34 kilometer dari Pulau Sentinel Utara, rumah bagi suku Sentinel yang terasing dari dunia luar.

Selain itu pada 26 April, sebanyak 382 pengungsi Rohingya juga berhasil diselamatkan oleh penjaga pantai Bangladesh dan 24 orang dinyatakan meninggal setelah selama dua bulan hanyut di lautan dalam sebuah kapal yang gagal menuju Malaysia.

“Mereka terapung-apung di laut selama dua bulan dan mereka kelaparan,” kata seorang petugas penjaga pantai Bangladesh.

Kebanyakan dari para pengungsi Rohingya adalah perempuan, anak-anak dan beberapa sangat kurus. Mereka merupakan kapal ketiga yang berlayar ke Malaysia.

Pada tanggal yang sama, Malaysia juga kedatangan kapal pembawa 200 pengungsi Rohingya, Namun mereka menolaknya karena khawatir mereka membawa virus corona

Menurut petugas pantai, rencananya mereka semua akan dikembalikan ke kamp pengungsian di Myanmar

Pada 24 Juni, berbeda dengan India dan Malaysia, Pemerintah Indonesia menerima 99 orang pengungsi etnis Rohingya memasuki perairan Aceh Utara.

“Keputusan ini dilandasi oleh prinsip-prinsip kemanusiaan. Para pengungsi berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan sangat membahayakan keselamatan jiwa mereka,” kata Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan persnya.

Para pengungsi kemudian ditampung di bekas Kantor Imigrasi Lhoksemauwe. Fokus utama Pemerintah adalah pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian penampungan sementara, dan pelayanan kesehatan.

Selain itu, Masyarakat Aceh Utara dan Lembaga Sosial Masyarakat Indonesia juga aktif memberikan bantuan kemanusiaan.

Bagi Indonesia, upaya menciptakan kondisi kondusif di Rakhine State penting untuk terus dilakukan agar etnis Rohingya dapat kembali secara sukarela, aman dan bermartabat di rumah mereka, di Rakhine State.

Konflik di Rakhine masih Berlanjut

Pada 2 Maret, setidaknya lima warga Muslim Rohingya, termasuk seorang anak, terbunuh dan beberapa lainnya terluka dalam bentrokan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat.

Anggota parlemen regional, Tun Thar Sein, mengatakan pada 1 Maret pertempuran hari Sabtu pecah setelah pemberontak Tentara Arakan, kelompok etnis bersenjata yang mayoritas beragama Buddha menyerang konvoi militer yang melewati daerah itu.

Tentara membalas dengan tembakan dan menembaki dua desa di wilayah yang bermasalah itu, tambah anggota parlemen itu.

Dukungan Terhadap Muslim Rohingya

Pada 13 Januari, Pelapor Khusus yang ditunjuk oleh PBB telah mengajukan permohonan dalam sidang Mahkamah Agung untuk mencegah deportasi warga Muslim Rohingya dari India, berdasarkan hukum internasional.

Mahkamah Agung berusaha mencegah Pemerintah India mendeportasi semua Muslim Rohingya yang diperkirakan berjumlah sekitar 40.000, kembali ke Myanmar.

Pada 18 Januari, pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN membahas mengenai masalah Rohingya.

Para Menlu, termasuk Menlu RI Retno Marsudi menegaskan kembali perlunya ASEAN lebih terlihat dan memainkan peran yang ditingkatkan dalam mendukung Myanmar melalui memberikan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi proses repatriasi, dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan di Negara Bagian Rakhine.

Pada 30 Juni, Menlu RI juga kembali menegaskan, Pemerintah Indonesia akan terus melakukan upaya untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat asalnya yaitu di Rakhine State, Myanmar.

Hal tersebut ia sampaikan saat mengikuti Pertemuan Khusus Para Menlu Se ASEAN-Australia secara virtual.

“Prioritas utama kita adalah membawa kembali para pengungsi Rohingya ke negara asalnya di Rakhine State, Myanmar dengan cara yang aman, sukarela dan bermartabat,” kata Menlu RI.

Indonesia juga mendorong agar Myanmar segera menciptakan situasi yang kondusif di Rakhine State.

Pada 30 Januari, Inggris memberikan donasi sebesar 8 juta euro (10 juta dolar AS) kepada Organisasi Pangan Dunia PBB (WFP) untuk mendukung orang-orang Rohingya yang dianiaya Myanmar dan mengungsi di Bangladesh.

WFP di Bangladesh menyambut kontribusi baru dari Departemen Pembangunan Internasional (DFID) dari Inggris itu untuk mendukung para pengungsi Rohingya di pantai tenggara Bangladesh.

Selain itu pada 27 Februari, Menteri Pembangunan Jerman Gerd Müller berjanji meningkatkan bantuan pendidikan bagi kaum muda di kamp-kamp pengungsi Rohingya, dana senilai 15 juta Euro (lebih dari Rp230 miliar).

Müller berharap, peningkatan pendanaan akan membantu kehidupan kaum muda Rohingya di kamp-kamp pengungsi serta di masyarakat tuan rumah Bangladesh.

Bangladesh Pindahkan Pengungsi Rohingya ke Pulau Terpencil

Pada 4 Desember, Pemerintah Bangladesh  mulai memindahkan gelombang pertama pengungsi Rohingya yang terdiri dari 1.642 orang ke pulau Bhashan Char yang baru muncul 20 tahun lalu di Teluk Benggala.

Gelombang kedua relokasi pada 28 Desember, sekitar 15 bus membawa hampir 1.000 pengungsi ke pelabuhan selatan Bangladesh City of Chottogram dari Cox’s Bazar.

Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengeklaim, pulau seluas 13.000 hektar itu aman untuk pengungsi, dilengkapi fasilitas modern umum, masjid, sekolah, infrastruktur yang layak, air tawar dan listrik yang terus mengalir,  2 rumah sakit dan 4 klinik, fasilitas komunikasi, kantor polisi, tempat perlindungan dari topan, bendung pelindung kompleks relokasi, lahan pertanian, danau yang indah, taman bermain anak dll.

Namun Dewan Rohingya Eropa, sebuah kelompok hak asasi Rohingya yang berbasis di Eropa menyatakan keprihatinannya mengenai relokasi pengungsi Rohingya itu yang dikatakannya tidak pernah dihuni, terpencil, rawan topan, rawan bencana alam

Beberapa pakar hak asasi manusia memperingatkan, hal itu dapat memicu krisis kemanusiaan baru.

Yanghee Lee, Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia di Myanmar, mengatakan, setelah mengunjunginya tahun lalu dia takut akan “krisis baru” jika warga Rohingya dibawa ke pulau itu.

Myanmar Harus Bertanggung Jawab atas Genosida

Pada 23 Januari, Mahkamah Internasional (ICJ) dalam persidangan di Den Haag, Negeri Belanda, memerintahkan Myanmar untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan tertentu terhadap genosida Muslim Myanmar.

Dengan demikian mahkamah menerima gugatan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang diajukan oleh Gambia atas nama OKI sebelumnya.

Ketua ICJ Hakim Abdulqawi Ahmed Yusuf menyatakan, mahkamah memberikan batas waktu empat bulan bagi Myanmar untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan memastikan bahwa Muslim Rohingya di negara itu tidak akan dirugikan

Muslim Rohingya yang dianiaya adalah kelompok yang dilindungi di dalam Myanmar di bawah Konvensi Genosida PBB 1948, dan menambahkan bahwa keputusan itu sama sekali tidak “menilai baik buruknya kasus aktual mengenai apakah Myanmar bertanggung jawab atas genosida. (A/RE1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.