KITA sering mendengar istilah kaljasadil wahid—seperti satu tubuh. Rasulullah SAW menggambarkan ukhuwah Islamiyah sebagai tubuh yang saling terhubung; bila satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan pedih dan demam. Namun sayang, realitas hari ini jauh dari gambaran itu. Banyak di antara kita lihai berbicara indah tentang persaudaraan, tetapi kikir ketika dituntut untuk membuktikan dengan tindakan nyata.
Salah satu ujian ukhuwah yang paling sering hadir adalah dalam masalah harta. Kita memiliki uang, sementara saudara kita sedang benar-benar kepepet, meminta pertolongan sekadar pinjaman. Namun seringkali kita mengeraskan hati, menutup mata, dan berpura-pura tidak mampu. Padahal, pertolongan kecil yang kita berikan bisa jadi penyelamat besar bagi hidupnya.
Allah Ta’ala dengan tegas menjanjikan pahala berlipat bagi orang yang menolong saudaranya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Qs. Al-Baqarah: 245).
Ayat ini mengisyaratkan, setiap rupiah yang kita pinjamkan kepada saudara dengan niat lillahi ta’ala, hakikatnya kita sedang meminjamkan kepada Allah sendiri.
Baca Juga: 12 Efek Buruk Drakor bagi Akidah Generasi Muslim
Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sabdanya, “Barangsiapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan dunia, Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, Allah akan memudahkan (urusan) dirinya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).
Hadis ini jelas sekali menegaskan hubungan timbal balik: menolong saudara sama dengan menolong diri sendiri, bahkan menolong di akhirat.
Namun mengapa kita masih berat? Karena seringkali kita merasa takut kekurangan. Kita lupa bahwa harta yang kita genggam adalah titipan, bukan milik mutlak. Kita lupa janji Allah dalam QS. Saba’: 39, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya; dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” Allah sendiri menjamin, tidak ada harta yang hilang karena menolong sesama.
Bayangkan, jika kita yang sedang kepepet dan tidak ada seorang pun yang peduli, betapa hancurnya hati kita. Disinilah makna kaljasadil wahid diuji. Ukhuwah bukan sekadar senyum, pelukan, atau kata-kata manis di majelis. Ukhuwah sejati diuji ketika ada pengorbanan, ketika ada risiko yang harus diambil untuk membantu saudara kita.
Sungguh, Rasulullah SAW telah mencontohkan ukhuwah yang nyata. Kaum Muhajirin datang ke Madinah dalam keadaan miskin, sementara kaum Anshar rela berbagi rumah, harta, bahkan pekerjaan mereka. Allah memuji mereka dalam QS. Al-Hasyr, 9, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan (apa yang mereka berikan).” Inilah standar emas ukhuwah yang harus kita tiru.
Baca Juga: Serangan Drone Menghajar, Global Sumud Flotilla Tetap Berlayar
Hari ini, kita menyaksikan saudara kita sakit, terlilit hutang, anaknya butuh biaya sekolah, istrinya mau melahirkan atau sekadar uang makan harian. Tetapi kita menutup telinga. Padahal kita tahu, bisa jadi kita sedang diuji: apakah harta ini kita gunakan sebagai jalan menuju surga atau justru mengantarkan kita pada azab karena kikir?
Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini bukan sekadar perumpamaan indah, tetapi peringatan keras. Apabila kita tidak peduli, itu tanda tubuh kita sudah mati rasa.
Banyak orang mengira menolong hanya dengan uang besar. Padahal, sekecil apa pun bantuan itu tetap bernilai di sisi Allah. Bahkan senyuman adalah sedekah, apalagi pinjaman atau bantuan yang menyelamatkan hidup orang lain. Jangan meremehkan amal kecil, sebab bisa jadi di akhirat itulah yang paling berat timbangannya.
Sayangnya, kita sering lebih peduli dengan urusan dunia sendiri. Kita sanggup menghamburkan uang untuk makan enak, liburan, atau barang mewah, tapi berat hati saat ada saudara yang minta pertolongan. Bukankah ini tanda bahwa cinta dunia telah mengalahkan cinta ukhuwah?
Baca Juga: Pembelaan Sultan Abdul Hamid II terhadap Palestina
Padahal, Allah menjanjikan pertolongan-Nya bagi orang yang menolong saudaranya. Rasulullah SAW bersabdam “Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim). Artinya, setiap kali kita menolong, kita sedang membuka pintu pertolongan Allah dalam hidup kita.
Coba renungkan: mungkin kesulitan yang kita hadapi sekarang adalah cerminan dari sikap kita sendiri yang enggan menolong orang lain. Jika kita ingin Allah mudahkan urusan kita, mulailah memudahkan urusan saudara kita. Sebab hukum Allah berlaku adil: siapa yang menanam kebaikan, pasti menuai kebaikan.
Mari kita belajar dari kisah para sahabat, yang tidak hanya bicara tentang ukhuwah, tapi membuktikannya dengan pengorbanan nyata. Mereka mengajarkan bahwa persaudaraan bukan diukur dari manisnya kata, tetapi dari sejauh mana kita rela berbagi, meski diri sendiri juga butuh.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar menjadi bagian dari tubuh umat ini? Atau kita hanya menjadi beban, yang menutup mata pada sakitnya saudara sendiri? Semoga Allah melembutkan hati kita, menjauhkan dari sifat kikir, dan menjadikan kita bagian dari tubuh umat yang hidup, yang peduli, dan yang benar-benar kaljasadil wahid.[]
Baca Juga: Sam’i wa Thaat: Kultur Mulia dalam Kehidupan Al-Jama’ah
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Black Agenda Drakor: Misi Tersembunyi di Balik Layar