Washington, MINA – Momen perayaan 50 tahun Microsoft berubah menjadi panggung protes internal di Redmond, Washington pada Jumat (4/4). Perusahaan itu diprotes karena dituduh telah mendulung Israel dengan penjualan teknologi AI untuk membunuh rakyat Gaza.
Seorang karyawan dari divisi kecerdasan buatan (AI) , Ibtihal Aboussad, naik ke panggung saat CEO Microsoft AI Mustafa Suleyman tengah berpidato, dan menyuarakan penolakannya terhadap keterlibatan perusahaan dalam konflik di Timur Tengah.
Protes ini memicu sorotan besar karena langsung menyentuh isu kemanusiaan.
Aboussad menuding Microsoft turut mendukung militer Israel melalui penjualan teknologi AI, yang menurutnya digunakan untuk serangan terhadap warga sipil Palestina.
Baca Juga: Trump Akan Kunjungi Saudi, UEA, dan Qatar Pekan Depan
Dalam sebuah video yang tengah ramai dibagikan menunjukkan seorang insinyur perangkat lunak Microsoft bernama Ibtihal Aboussad, yang bekerja di divisi kecerdasan buatan (AI), secara tiba-tiba menyuarakan protes terkait konflik di Palestina.
Dalam aksinya, Aboussad berteriak, “Hentikan dukungan terhadap militer Israel yang menggunakan teknologi AI dari Microsoft!”
Ia juga menyindir Mustafa Suleyman, pimpinan divisi AI, dengan mengatakan, “Mustafa, kamu memalukan. Kamu bicara soal AI untuk kebaikan, tapi justru menjual teknologi AI ke militer Israel. Sudah 50 ribu orang tewas, dan Microsoft ikut berkontribusi dalam genosida terhadap rakyat kami!”
Meski menjadi sasaran protes, Suleyman tampak tetap tenang dan tidak menanggapi langsung.
Baca Juga: Menlu Iran Desak India dan Pakistan Menahan Diri
Dengan nada emosional, Aboussad melanjutkan, “Memalukan! Kalian meraup untung dari penderitaan. Hentikan penggunaan AI untuk genosida. Darah ada di tanganmu. Microsoft harus bertanggung jawab.”
Aksi tersebut berakhir saat Aboussad dikawal keluar dari lokasi. Ia diketahui merupakan bagian dari tim pengenalan suara dalam divisi AI Microsoft.
Pasca-aksi itu, Aboussad mengirimkan email kepada Suleyman dan sejumlah petinggi Microsoft, termasuk CEO Satya Nadella, CFO Amy Hood, COO Carolina Dybeck Happe, serta Presiden Brad Smith.
Dalam surat elektronik tersebut, ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa tidak memiliki pilihan moral selain bersuara setelah mengetahui timnya ikut berperan dalam konflik di Palestina.
Baca Juga: Kampanye Solidaritas Suriah Gelar Protes di Depan Kedutaan Besar Israel di London
Ia juga menyampaikan bahwa dalam satu setengah tahun terakhir, komunitas Arab, Palestina, dan Muslim di Microsoft mengalami tekanan, intimidasi, dan pelanggaran privasi, bahkan hingga ada dua karyawan yang diberhentikan hanya karena mengadakan doa bersama.
Menanggapi insiden ini, juru bicara Microsoft menegaskan bahwa perusahaan menjunjung tinggi prinsip etika dalam menjalankan bisnis. Ia menambahkan bahwa Microsoft menyediakan ruang bagi karyawan untuk menyampaikan pendapat, namun berharap hal tersebut dilakukan tanpa mengganggu aktivitas perusahaan. Jika terjadi gangguan, peserta akan diminta untuk menyalurkan pendapat di tempat lain.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan teknologi besar yang mengembangkan AI mulai membuka diri terhadap kerja sama dengan militer.
Pada November lalu, misalnya, Anthropic dan Palantir menjalin kemitraan dengan Amazon Web Services untuk menyediakan model AI Claude kepada lembaga intelijen dan militer Amerika Serikat. []
Baca Juga: Donald Trump Ungkap Keinginan Jadi Presiden Tiga Periode
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Maskapai Penerbangan Asing Tangguhkan Penerbangan Tel Aviv Pasca Serangan Yaman