Pada 26 Juli 2019, Azmat Ali Mir yang berusia 26 tahun mendarat di kota asalnya, Srinagar. Sehari kemudian, ketidakpastian dan kepanikan mencengkeram lembah Kashmir. Ia melihat yatris (peziarah) Amarnath dan wisatawan lainnya sedang dievakuasi, ada penggelaran militer yang besar dan luas, sementara laporan berita mengklaim bahwa mungkin ada ancaman terhadap perbatasan.
Namun, Mir memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan di kota kelahirannya itu. Ia memiliki acara yang direncanakan sebagai bagian dari startup Kurator Manzar Experience, yang mempromosikan seni, budaya dan mode Kashmir yang dibuat dan diproduksi secara lokal untuk audiens di luar Kashmir, terutama di Bengaluru ibu kota Negara Bagian Karnataka, tempat ia sekarang tinggal.
Mir merasa sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu di Kashmir. Pemerintah pendudukan India akan memberlakukan jam malam, yang artinya masyarakat di Lembah, khususnya di Srinagar harus memiliki ransum di rumah. Namun sampai saat itu, orang-orang Kashmir tetap harus melakukan pekerjaannya.
Mir memiliki waktu yang sangat sedikit di Kashmir, karena ia sudah memesan tiket pulang untuk 5 Agustus, padahal ada begitu banyak pekerjaan. Ia tidak punya waktu untuk pergi berkeliling, menandatangani kontrak atau menyelesaikan sesuatu.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Kondisi Kashmir baginya segera menjadi jelas bahwa keadaan akan berbeda kali ini dibandingkan ketegangan-ketegangan di masa lalu. Pada 1 Agustus, ketakutan dan ketegangan meningkat. Rumor perang semakin kuat, pasukan tambahan India kembali diterbangkan ke Lembah.
Pemimpin agensi yang akan mempromosikan secara online acara Mir menyarankan mereka harus menunggu dan melihat bagaimana perkembangan kondisi itu. Sebab, kehidupan mereka, baik pribadi maupun profesional, diatur berdasarkan kalender politik Kashmir.
kashmir-dalam-ingatan-bag-1-pengakuan-ham-yang-dihilangkan-oleh-uu/">Baca juga: Kashmir dalam Ingatan (Bag.1): Pengakuan HAM yang Dihilangkan oleh UU
Orang-orang muda Kashmir dan organisasinya ini telah didorong kepada keadaan buruk yang hampir tidak pernah dikenal sejak 5 Agustus, ketika pemerintah Persatuan mencabut Pasal 370 Konstitusi, yang memberikan status khusus kepada Negara Bagian Jammu dan Kashmir, dan kemudian mengirim lembah itu kepada pemadaman komunikasi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Dua setengah bulan kemudian, hanya telepon rumah dan layanan seluler pascabayar (tidak termasuk SMS) yang telah dipulihkan. Internet dan layanan data tetap ditutup.
Adanya ribuan penangkapan, contoh-contoh kekerasan dari kedua pihak (militan dan Angkatan Bersenjata) hanya dilaporkan oleh pers internasional, sebagai dampak besar dari penutupan media lokal.
Kondisi itu juga menimbulkan kerugian biaya moneter yang besar. Sebuah laporan di BBC yang diterbitkan pada 8 Oktober 2019 menyatakan, Kamar Dagang dan Industri Kashmir memperkirakan penutupan itu telah menelan biaya lebih dari 1,4 miliar dolar AS di kawasan itu dan membuat ribuan pekerjaan telah hilang. Terlebih internet belum dipulihkan untuk umum hingga akhir 2019.
Di Kashmir, selalu tentang bekerja dari awal, karena setiap kali ada penutupan internet, Anda akan mulai dari nol.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Sejak 5 Agustus 2019, bukan hanya saluran komunikasi yang dihantam oleh pemerintah New Delhi, tapi juga ada pembatasan pergerakan di Lembah.
Ketika Mir akhirnya mendarat kembali di Bengaluru pada pagi hari tanggal 5 Agustus 2019, dia mogok setelah mendengar berita hari itu. Pembayaran macet dengan vendor dan Mir tidak mampu berkomunikasi dengan pengrajin dan wazanya (koki Kashmir) di Lembah. Situs web kuratornya memberi pengumumam yang berbunyi, “Semua vertikal Kurator Pengalaman Manzar saat ini tidak beroperasi karena penguncian yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kashmir.”
Dia takut. Usahanya yang bertujuan berbicara tentang Kashmir di seluruh India, telah kehilangan semua makna dan tujuan.
Kondisi Kashmir yang telah diciptakan negara saat itu membuat Mir tidak berani keluar dan melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Menurutnya, tidak aman bagi seorang Kashmir membuka tempat di Bengaluru yang menyajikan makanan asli Kashmir. Jika ia melakukannya, mungkin tempat usahanya akan dibakar massa Hindu keesokan harinya.
“Ke mana saya harus pergi dari sini?” tanyanya, karena ia merasa terancam jika orang mengetahuinya sebagai orang Kashmir dalam masa-masa seperti itu.
Rugi dan menjadi pengangguran
Pada tanggal 26 Juli 2019 pula, di seberang kota Srinagar, Sheikh Samiullah (28 tahun) dari pusat kota Srinagar berada di sebuah kafe bernama ZeroBridge Fine Dine. Ia bersama dengan timnya dan perwakilan dari administrasi negara bagian, termasuk Wakil Komisaris Shahid Choudhary untuk meluncurkan aplikasi Android FastBeetle perusahaannya. Startup logistik yang diluncurkan tahun lalu oleh Samiullah dan salah satu pendiri Abid Rashid Lone, sering disebut “Kashmir’s Dunzo”, yang menyediakan layanan pengiriman dari rumah ke rumah untuk bisnis, mulai dari pedagang grosir dan eceran hingga apotek dan perorangan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Peluncuran aplikasi iOS mereka dijadwalkan 13 Agustus. Namun, agenda itu harus dibatalkan beberapa hari kemudian karena situasi yang berlaku di Lembah. Hari itu, operasi FastBeetle — yang berjalan di internet — telah berhenti.
Padahal, Samiullah menginvestasikan seluruh tabungannya di perusahaan ini. Baginya, tidak mungkin menjalankan usaha online itu ketika internet diblokir. Kegagalan itu membuatnya memulai dari awal.
Kondisi itu memaksanya pergi ke New Delhi. Ia beralih dari menjalankan bisnis yang menguntungkan menjadi seorang pengangguran dan memulai dari awal mencari pekerjaan.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Mematikan startup
Di wilayah yang diliputi konflik bersenjata puluhan tahun dengan kehadiran angkatan bersenjata India dalam jumlah besar, kewirausahaan bukanlah hal yang mudah. Orang Kashmir biasanya memilih pekerjaan sektor publik, tetapi pengusaha Lembah setuju bahwa selama dekade terakhir ini, pria dan wanita muda serta tangguh dari Lembah telah bekerja untuk mengubahnya dengan usaha online dan offline.
Bahkan, ekosistem startup di Kashmir tampaknya telah siap untuk pertumbuhan. Khususnya pada bulan September 2018. Institut Pengembangan Kewirausahaan Jammu dan Kashmir (JKEDI), yang didirikan oleh pemerintah negara bagian, mengeluarkan Kebijakan Startup J&K 2018, yang bertujuan meningkatkan ekosistem startup dengan memberikan kepada para pendiri uang saku bulanan hingga Rs12.000 untuk periode satu tahun selama inkubasi. Startup yang diakui akan diberikan bantuan satu kali hingga RS12 lakh untuk riset dan pengembangan produk, pemasaran, dan publisitas.
Sekitar waktu inilah Samiullah memulai FastBeetle. Dia telah memperhatikan bahwa meskipun perusahaan logistik ada, mereka melayani sebagian besar organisasi besar seperti Amazon. FastBeetle terikat dengan bisnis yang lebih kecil, termasuk hampir 200 wanita di Lembah yang membuat dan menjual pakaian serta barang lainnya di Instagram. Menurutnya, para wanita bisnis online itu akan mengalami kesulitan keluar setiap hari pada banyak pengiriman karena itu adalah masyarakat yang konservatif.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
FastBeetle memiliki lebih dari 30 pedagang dalam bulan pertama operasinya. Selama lima bulan pertama, mereka telah tumbuh menghasilkan 100 pengiriman per hari, mempekerjakan tim beranggotakan enam orang, mendapatkan ruang kantor dan dua sepeda motor. Dalam setahun, mereka telah menghasilkan arus kas positif meskipun banyak pemadaman internet diberlakukan di Lembah.
Namun sejak 5 Agustus 2019, perusahaan itu telah terperosok ke dalam apa yang Samiullah yakini sebagai penurunan yang tak berkesudahan. Dia memperkirakan kerugian moneter sekitar RS15 lakh, tidak termasuk RS4 lakh yang dia investasikan di aplikasi Android dan beberapa lakh lainnya pada aplikasi iOS yang tidak pernah lepas landas. Dalam kondisi yang tidak pasti bahwa pembatasan akan dicabut segera di Lembah, itu akan menuntut biaya tambahan sebesar Rs10 lakh untuk memulai kembali perusahaan.
Selain kerugian finansial, waktu dan semangat yang telah Samiullah investasikan dalam bisnis tidak akan kembali lagi. Para karyawan mudanya juga menghadapi masa depan yang tidak pasti. (A/RI-1/P1)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sumber: Livemint.com
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang