Kashmir Era Modi, Kebencian Terhadap Islam

New Delhi, MINA – Ketika pemerintah Perdana Menteri Narendra secara sepihak mencabut otonomi terbatas dan kenegaraan yang dikelola India pada 2019, ia mengklaim langkah itu akan menghapus puluhan tahun pemberontakan bersenjata di wilayah tersebut, dan mengantarkan perdamaian dan pembangunan.

Namun, hampir tiga tahun kemudian, perdamaian tak kunjung diperoleh di kawasan lembah Himalaya yang disengketakan itu, dengan pembunuhan hampir setiap hari terhadap kelompok pejuang, pejabat keamanan India, dan warga sipil dalam aksi baku tembak.

Saat umat Hindu Kashmir menghadapi pembunuhan yang ditargetkan, ratusan orang melarikan diri dari lembah itu pada separuh tahun tahun 2022 ini. Sementara lebih dari 100 pejuang Kashmir, kebanyakan pemuda berusia antara 18 dan 26, telah dibunuh oleh polisi dan militer India.

Para pejuang dituduh membunuh sedikitnya 16 orang tahun ini, tujuh dari mereka rermasuk komunitas minoritas Hindu.

Sejak pencabutan status khusus Kashmir yang dikelola India pada 5 Agustus 2019, catatan menyebutkan setidaknya 197 personel keamanan, 675 pejuang Kashmir, dan 131 warga sipil tewas dalam gelombang kekerasan yang melanda lembah itu.

Gelombang kekerasan yang meningkat telah mendorong para kritikus mengatakan kegagalan kebijakan represif pemerintah Modi terhadap satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di negara itu.

‘Keterasingan hanya semakin dalam’, begitu komentar para pengamat politik terhadap PM Modi, setelah berkuasa pada tahun 2014.

Dalam beberapa bulan setelah pemilihannya kembali, Kashmir yang dikelola India dilucuti dari otonomi parsialnya, dibagi menjadi dua wilayah federal dan di bawah kendali langsung pemerintah pusat New Delhi.

Langkah mencabut otonomi terbatas Kashmir yang dikelola India didukung oleh pengerahan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjadikan di tempat sebagai salah satu wilayah paling militeristik di dunia.

Sebagai bagian dari langkah represif yang diberlakukan oleh pemerintah Modi di wilayah yang bergolak itu, ratusan politisi termasuk mantan menteri utama, aktivis hak asasi, pengacara dan mahasiswa ditangkap. Sementara penutupan keamanan di lembah berlanjut selama berbulan-bulan.

Sebuah undang-undang domisili baru pun diperkenalkan yang memungkinkan orang luar untuk menetap secara permanen di Kashmir yang dikelola India. Hak ini semakin meningkatkan kekhawatiran akan perubahan demografis dan tuduhan “proyek kolonial pemukim” di wilayah tersebut.

Pemerintah Modi juga merilis daftar daerah pemilihan yang didesain ulang di wilayah tersebut, yang memberikan perwakilan yang lebih besar ke daerah-daerah Hindu. Langkah tersebut menuai kecaman dari partai-partai oposisi yang menuduh New Delhi “bersekongkol” di wilayah tersebut untuk melemahkan umat Islam.

Langkah pemerintah nasionalis Hindu Modi hanya menambah sentimen anti-Islam di lembah itu.

“Keterasingan hanya semakin dalam. Semakin banyak orang yang kecewa dan putus asa adalah hal yang biasa,” kata mantan legislator dan pemimpin sayap kiri Mohammad Yousuf Tarigami kepada Al Jazeera, Rabu (15/6/2022).

Seorang Kashmiri Hindu, Mehbooba Mufti, mantan kepala menteri wilayah, menuduh pemerintah Modi mendorong para pemuda ke arah perlawanan bersenjata melalui pendekatan yang mengancam.

“Semakin banyak anak muda yang melarikan diri dari rumah dan bergabung dengan militansi. Itu karena kemarahan dan lingkungan yang diciptakan oleh BJP,” katanya kepada wartawan.

“Mereka para pemuda dibunuh dalam waktu 2-3 hari setelah bergabung dengan perjuangan bersenjata. Beberapa bahkan belum mengambil senjata. Di mana-mana itu adalah darah orang Kashmir yang ditumpahkan,” ujarnya.

BJP memperoleh suara di seluruh India “atas kebijakan pertumpahan darah ini di mana mereka menunjukkan seberapa besar mereka dapat menekan” orang-orang Kashmir.

“Lihat berapa banyak mereka yang dipenjara dan berapa banyak kekuatan yang mereka tunjukkan,” katanya.

Kebijakan Berdasarkan Kebencian

Mohamad Junaid, seorang akademisi Kashmir yang berbasis di Massachusetts College of Liberal Arts di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kebijakan BJP di Kashmir didasarkan pada “kebencian terhadap Muslim dan bukan pada prinsip yang tidak berbahaya” tentang persamaan hak dan kewarganegaraan.

“Ini adalah kebijakan yang berusaha untuk menghapus warga Kashmir dan suara mereka dari ruang publik, serta menunjukkan bahwa pemerintah Modi memenuhi keinginan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) untuk mengubah Muslim Kashmir menjadi minoritas,” katanya, merujuk pada RSS, mentor ideologis sayap kanan BJP yag dibentuk pada tahun 1925.

RSS berbasis sama seperti garis Nazi di Eropa untuk menciptakan negara etnis Hindu dari India sekuler.

Para ahli mengatakan ,kebencian anti-Muslim di balik kebijakan Kashmir Modi juga telah mengancam kehidupan minoritas Hindu di wilayah tersebut, yang dikenal sebagai Pandit.

Hampir 200.000 Pandit terpaksa meninggalkan lembah setelah perlawanan bersenjata melawan pemerintahan New Delhi.

Pada tahun 2010, pemerintah federal meluncurkan paket rehabilitasi untuk Pandit, yang mencakup pekerjaan pemerintah dan perumahan. Namun, sejak tahun lalu, beberapa Pandit yang kembali ke wilayah tersebut di bawah skema tersebut telah menjadi korban pembunuhan karena konflik bersenjata.

Pandit mengatakan mereka merasa tidak aman di tengah meningkatnya kekerasan.

“Kami tidak pernah merasa tidak aman seperti yang kami lakukan hari ini. Tidak ada yang berubah bagi kami dalam tiga dekade. Bagaimana kita bisa hidup ketika kita terancam?” Ashwini Kumar, seorang Pandit Kashmir berusia 40 tahun mengatakan kepada Al Jazeera.

Kumar telah kembali ke desa asalnya di Kashmir yang dikelola India pada 2010 setelah mengambil pekerjaan sebagai insinyur.

“Klaim yang dibuat untuk membenarkan pencabutan Pasal 370 adalah bahwa itu akan mengakhiri terorisme, dan membawa pembangunan dan investasi besar-besaran di Kashmir, tapi itu tidak pernah terjadi,” ujar Ajai Sahni, analis politik dan direktur eksekutif di Institut Manajemen Konflik di New Delhi.

Sahni mengatakan pemerintah Modi menciptakan “semakin banyak polarisasi dan keterasingan” di lembah itu.

“Jadi selama itu terus, saya tidak melihat kemungkinan solusi,” katanya.

Sementara BJP menolak tuduhan itu, dengan mengatakan pemerintah sedang mencoba untuk membawa “kenormalan ke wilayah”.

Akademisi Junaid, mengatakan apa yang diinginkan rezim Modi di Kashmir yang dikelola India “tidak meninggalkan ruang untuk keterlibatan politik, hanya ingin penindasan terus menerus”.

Para pejuang Kashmir, tentu saja, tidak akan menerima ini. Bagi mereka, kebijakan ini merupakan perluasan dari kebijakan represi politik India yang sudah berlangsung lama, lanjutnya.

Jika demikian, maka akar masalahnya adalah PM Modi dengan aprtai berkuasanya BJP yang disokong ideology RSS harus mengakhiri kebijaka represifnya terhadap warga Muslim, yang juga merupakan bagian dari pendirian dan keberadaan India itu sendiri. (T/RS2/P2)

Sumber : Al Jazeera.

Mi’raj News Agency (MINA)