Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasta Perna, Sudah Terpinggirkan, Kaum Wanita Pun Dipaksa Melacur

Rudi Hendrik - Selasa, 20 Desember 2016 - 22:08 WIB

Selasa, 20 Desember 2016 - 22:08 WIB

726 Views

Ilustrasi (Foto: dok. Boloji.com)

Wanita kasta Perna India, sulit terdata oleh pemerintah India. (Foto: Showkat Shafi/Al-Jazeera)

 

Ketika Sita (bukan nama sebenarnya) pulang di pagi hari, suaminya biasanya masih tertidur. Sedangkan dia telah bekerja sepanjang malam, menjual seks di jalan raya dengan menelusuri pinggiran kota New Delhi. Sebelum beristirahat, dia harus mandi, memasak sarapan, dan menyiapkan anak-anak untuk pergi sekolah.

Apa yang Sita lakukan di malam hari adalah rahasia hidupnya. Sita memiliki status kasta Perna. Perempuan dewasa dan anak perempuan dari komunitas ini sangat terpinggirkan, mereka terperosok ke dalam perdagangan seks. Fase itu adalah langkah yang biasa bagi wanita kasta Perna setelah menikah dan melahirkan.

“Anak pertama saya meninggal tak lama setelah dilahirkan. Ketika putri (kedua saya) berusia satu tahun, saat itulah saya mulai pekerjaan ini,” katanya.

Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam

Sita menikah di usia pertengahan remaja dengan pria Perna yang belum pernah ia bertemu sebelumnya. Dia memperkirakan bahwa suaminya berusia 17 tahun saat ia menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga.

Sekarang usianya sudah 20-an. Setiap malam bersama para wanita lainnya, Sita pergi menjajakan diri kepada para pelanggan di tempat-tempat yang acak, seperti di pemberhentian bus, taman, dan lokasi-lokasi yang jauh dari lingkungan mereka sendiri. Sita dan teman-teman seprofesinya juga harus luput dari pandangan polisi.

Mereka melakukan perjalanan berkelompok, berbagi tarif becak dan risiko mendapat serangan pelecehan.

“Kami mencoba untuk menyelesaikannya dengan cepat,” kata Sita.

Baca Juga: Saat Dua Syaikh Palestina Ziarah ke Makam Imaam Muhyiddin Hamidy

Mereka melakukan pertemuan dengan pelanggan di mobil atau bersembunyi di sudut luar ruangan. Di saat seorang wanita bersama klien, teman perempuan yang lain akan memastikan berada dalam jarak yang bisa mendengar teriakan. Setiap klien membayar antara 200 – 300 rupee ($3- $4,50). Dalam semalam, para wanita dapat mengharapkan memperoleh sebanyak 1.000 rupee ($ 14,60), atau lebih sedikit.

Lahir dalam kemiskinan

Wanita lain bernama Leela (bukan nama sebenarnya), ibu dari empat orang anak di akhir usia 30-an. Ia sudah dikenal saat masih “sangat sedikit” dari komunitasnya yang terlibat dalam pekerjaan yang disebut “prostitusi antargenerasi”. Tidak seperti Sita dan banyak lainnya, ia hanya memasuki perdagangan seks ketika ia menjanda, dan pindah kembali ke Dharampura, wilayah di Najafgarh, rumah masa kecilnya.

Baginya, itu adalah jalur alami bagi wanita yang mencari pekerjaan. Ibunya sendiri mati muda, tapi dia ingat bahwa bibinya “pergi keluar pada malam hari”.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-12] Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat

Suaminya menggiring kambing atau tidak bekerja sama sekali.

“Saya tidak tahu mengapa. Anda bisa mengatakan itu adalah cara tradisional,” katanya.

Bagi Leela, itu tradisi yang tidak mengatasi kebutuhan ekonomi warisan. Namun, mereka terpaksa memaklumi itu.

“Ini cara kami untuk menjalani hidup,” kata Leela.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!

Ruchira Gupta, pendiri LSM anti-perdagangan manusia, Apne Aap, yang telah bekerja untuk masyarakat Perna Najafgarh selama lebih dari lima tahun, mengatakan bahwa seorang wanita Perna lahir dalam kemiskinan, menjadi kasta terpinggirkan.

Ruchira mengatakan bahwa Leela sudah melalui tiga kali penindasan sebagai seorang wanita Perna. Pertama, begitu Leela masuk masa pubertas, dia harus menikah. Kedua, setelah melahirkan anak pertama, suami menjadi germonya yang tidak bisa dia tolak. Dan ketiga, dia diminta untuk menempatkan putrinya yang bernama Neelam (bukan nama sebenarnya) menjadi pelacur.

Leela hanya memiliki komunitas ini dan dia merasa tidak memiliki jalan untuk melarikan diri. Selama 10 tahun dia dikonsumsi oleh para lelaki.

Ruchira Gupta menjelaskan bahwa gadis yang menolak melakukan prostitusi sering disiksa secara fisik oleh mertua mereka, yang mengharapkan istri putra mereka berkontribusi dalam keuangan keluarga.

Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”

Sementara Neelam yang sekarang tinggal bersama ibunya di rumah di tempat lain di Najafgarh, kembali harus pindah bersama ibunya untuk menyelamatkan diri dari tekanan keluarga barunya yang memaksanya untuk memulai pekerjaan seks.

“Kami akan merobek pakaian kamu, kami akan menempatkan kamu di jalan-jalan dalam keadaan telanjang,” kata Leela mengutip ancaman keluarga mertuanya.

Pria kasta Perna di India pada umumnya mengembala kambing atau hanya duduk menganggur. (Foto: Showkat Shafi)

 

Suku nomadennya India

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

Dengan dukungan LSM Apne Aap, dia mampu meyakinkan pengadilan komunitas informal bahwa putrinya harus diizinkan untuk membuat pilihan secara mandiri.

“Kami tidak sering bertemu perempuan pemberani sepertinya (Leela),” kata seorang pekerja LSM.

Berbeda dengan Leela dan Neelam, Sita melakukan pekerjaan seks itu bukan karena paksaan suami atau mertuanya, tapi ia mengaku bahwa itu adalah “pilihan saya sendiri.”

Namun, baru-baru ini ia mengatakan bahwa suaminya telah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang sopir dan mendapatkan penghasilan setidaknya sama dengan penghasilan Sita.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Bagi masyarakat Perna, bukan hanya ekonomi dan sosial yang terpinggirkan, tapi secara sejarah mereka dikecualikan dari hak-hak dan kebebasan sebagai warga negara.

Komunitas kecil di tepi ibukota India ini hanya satu titik di antara ribuan titik yang tersebar di peta laporan pemerintah tahun 2008. Mereka digambarkan sebagai “bagian yang paling rentan dan kurang beruntung dari masyarakat India”.

Mereka adalah Denotified Tribe (DNTs) atau suku nomaden dari India.

Dalam sejarahnya sebagai pedagang keliling, penghibur, dan praktisi kerajinan rakyat, masyarakat DNTs sering dibandingkan dengan orang Rom di Eropa, atau seperti “gipsi” di tempat lain di dunia, yang gaya hidupnya membuat mereka sulit untuk dikontrol oleh negara, kaum pengembara yang dipandang dengan kecurigaan oleh penguasa Inggris di India di masa penjajahan. Oleh kolonial Inggris, mereka disebut sebagai Suku Kriminal.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Program kesejahteraan telah ditawarkan kepada masyarakat yang paling terpinggirkan, yaitu kelompok-kelompok sosial yang digolongkan sebagai Kasta (SCS) dan Suku (ST).

Keterasingan masyarakat Perna dari masyarakat arus utama membuat banyak dari mereka tidak mengetahui hak-hak mereka, salah satunya mendapatkan sertifikat kasta sebagai bukti yang diperlukan dari kelayakan untuk manfaat.

Ketika LSM Apne Aap memulai untuk dokumentasi, hanya empat atau lima orang di komunitas Perna yang memiliki sertifikasi status “SC” mereka. Kemudian dengan bantuan LSM, angka ini telah meningkat menjadi 30-an orang, itu pun sudah melalui perjuangan yang gigih.

Tapi masyarakat DNTs, bahkan yang resmi memenuhi syarat, seperti Pernas yang diakui sebagai “SC”, sering tidak mendapatkan akses ke program kesejahteraan dari pemerintah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

“Sulit bagi orang-orang ini untuk andil dalam program pemerintah, karena stigma dicap sebagai mantan suku kriminal,” kata Subir Rana, seorang antropolog yang telah menghabiskan waktu di antara komunitas Perna di Najafgarh.

Ruchira Gupta mengatakan, perubahan secara perlahan sedang dilakukan.

Pada faktanya, setiap orang kasta Perna berpendidikan sampai SMA tidak bisa mendapatkan pekerjaan layak. Namun menurutnya, jika 10 persen mencoba cara baru, mungkin 2 persen akan berhasil.

Putri Leela yang lebih muda (14 tahun), adik dari Neelam, adalah salah satu dari beberapa yang memperoleh beasiswa dari LSM Apne Aap ke sekolah asrama swasta. Dia telah berkembang lebih lanjut dalam pendidikannya daripada orang lain dalam keluarganya. teman-teman sekelasnya tidak tahu banyak tentang latar belakangnya, tapi mereka tahu apa yang relevan. Dia ceria dan menjadi penari yang benar-benar baik.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Suatu hari di akhir pekan, Ruchira Gupta bertemu dengannya ketika dia ada di rumah. Dia adalah “kijang” seorang gadis, sebaik Leela, memiliki rasa humor menggoda yang lembut. Dia berlatih bahasa Inggris kepada Ruchira, tidak seperti ibunya, yang tidak pernah pergi ke sekolah, atau kakaknya yang putus sekolah untuk menjadi seorang istri. Dia berjanji tidak akan menikah hingga dia berusia 20-an.

“Putri saya bilang, ketika dia nanti mendapat pekerjaan, kita akan pergi,” kata Leela.

Sementara bagi Sita, mengirim anaknya ke sekolah adalah langkah pertamanya. (P001/R05)

Sumber: tulisan Maya Parbhu di Al-Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah