Oleh: Buya Anwar Abbas,
Wakil Ketua Umum MUI
Inilah sebuah pertanyaan yang sangat harus dan patut kita ajukan dalam melihat kasus yang terjadi di Pulau Rempang Kepulauan Riau dan juga dalam kasus-kasus lain yang sudah terjadi sebelumnya seperti di daerah Air Bangis Pasaman Barat Sumbar, di desa Wadas Jawa Tengah, di Sulawesi, di Halmahera Maluku Utara dan lain-lain tempat di negeri ini.
Sebenarnya kalau kita tanya kepada konstitusi dari negara kita, maka jawabannya sudah jelas. Segala kebijakan dan tindakan yang dibuat oleh negara atau pemerintah terutama dalam bidang ekonomi seperti yang terdapat dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apakah itu sudah tercapai ? Saya rasa sudah karena kebijakan tersebut sudah berhasil menghantarkan rakyat untuk hidup sejahtera.
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Bahkan, tidak hanya sekedar sejahtera tapi sudah sangat-sangat sejahtera. Tetapi yang menjadi pertanyaan rakyat yang mana yang sudah tersejahterakan tersebut, karena tidak bisa kita ingkari rakyat kita ini berlapis-lapis atau berkelas-kelas, yaitu lapis atas, tengah dan bawah. Pertanyaannya lapis mana yang sudah tersejahterakan tersebut.
Jawabnya tentu sudah jelas yaitu kelas atas yang kalau kita kaitkan dengan dunia usaha yaitu kelompok usaha besar yang jumlahnya 0,01% dengan jumlah pelaku usaha sekitar 5.550 pelaku, setelah itu kelompok usaha menengah yang besarnya sekitar 0,09% dengan jumlah pelaku sebesar 60.702 pelaku dan kelompok usaha kecil yang besarnya sekitar 1,22% dengan jumlah pelaku sekitar 783.132 pelaku.
Sementara usaha mikro dan ultra mikro yang jumlahnya 98,68% dengan jumlah pelaku sekitar 63,4 juta pelaku, tampak masih terseok-seok, bahkan tidak sedikit dari mereka terjerat dengan hutang apakah dengan keluarga, tetangga atau teman, koperasi atau bank, rentenir dan pinjol baik yang legal maupun yang illegal.
Jadi, kalau divisualisasi bentuk masyarakat kita itu seperti piramid, kecil di atas, agak besar di tengah dan sangat-sangat besar di bawah. Yang di bawah ini adalah mereka-mereka yang tergolong miskin dan rentan miskin.
Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia
Semestinya kalau pemerintah kita konsisten dan konsekwen dengan amanat yang terdapat dalam konstitusi, maka kebijakannya tidak hanya diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi saja seperti yang banyak terlihat selama ini, tetapi bagaimana pemerintah bisa menciptakan pemerataan ekonomi dalam arti sesungguhnya agar kesenjangan sosial ekonomi masyarakat kita tidak semakin tajam dan terjal.
Di Maluku Utara misalnya pertumbuhan ekonominya mencapai angka 27% . Semestinya rakyat Maluku Utara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar itu sudah tidak ada yang miskin tapi bagaimana dengan fakta dan realitanya? Inilah yang kita sesalkan karena yang sejahtera dan tersejahterakan tersebut adalah usaha-usaha besar sementara usaha-usaha kecil, mikro dan ultra mikro kurang terperhatikan bahkan telah terpinggirkan.
Ini terjadi karena titik tekan dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tampak lebih banyak untuk membela dan melindungi usaha-usaha besar karena yang dikejar oleh pemerintah tampaknya adalah pertumbuhan ekonomi dan kurang kepada dimensi pemerataannya sehingga akibatnya kita lihat rakyat marah seperti yang terlihat dan terjadi sekarang ini di Pulau Rempang Kepri dan celakanya pihak aparat yang tugasnya sebenarnya adalah melindungi rakyat sekarang mereka malah berubah fungsi menjadi menggebuki dan memukuli rakyat. Kasihan sekali kita melihat nasib rakyat kita yang diperlakukan seperti itu. Oleh karena itu wajar sekali ada pertanyaan, negeri ini akan dibawa kemana sebab kalau diukur jiwa dan semangatnya dengan amanat yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945 maka rasa-rasanya masih jauh panggang dari api.
Oleh karena itu sebagai warga bangsa yang cinta terhadap negerinya kita tentu perlu mengingatkan pemerintah dimana jika kebijakan dan sistem ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah saat ini sudah tidak lagi sesuai jiwa dan semangatnya dengan amanat dari UUD 1945 tapi sudah sangat kental warnanya dengan apa yang ada dalam sistem ekonomi neo-liberalisme kapitalisme.
Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren
Jika ini terus berlanjut maka tentu reformasi jilid dua rasa-rasanya hanya tinggal menunggu waktu dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi karena cost atau biayanya sangat cukup tinggi. (A/R4/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Konferensi Internasional Muslimah Angkat Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan