Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KASUS PENYADAPAN RI: INGGRIS TAK INGIN KEHILANGAN AUSTRALIA DI ASIA PASIFIK

Admin - Sabtu, 7 Desember 2013 - 02:27 WIB

Sabtu, 7 Desember 2013 - 02:27 WIB

1037 Views ㅤ

Bandung, 4 Shofar 1435/7 Desember 2013 (MINA) – Guru Besar Ilmu Sejarah Indonesia, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Jum’at (6/12) mengatakan terkait kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia, Inggris tak ingin kehilangan Australia di wilayah asia pasifik.

“Dalam kasus retaknya hubungan Indonesia dengan Australia, sebenarnya Inggris bermain dibelakang kasus ini. Australia adalah partner strategis Inggris di kawasan Asia Pasifik. Jika Australia memiliki sampai memasarkan banyak produknya ke Indonesia, itu artinya bencana besar bagi Inggris,” jelasnya.

Ia menambahkan, Inggris Raya sudah kehilangan Amerika Serikat (AS) sebagai alat untuk menguasai Asia Pasifik karena Amerika sudah terlalu banyak utang. Sekarang tinggal Australia yang jadi harapan Inggris. Mereka harus jaga supaya tetap mau menjalankan agendanya di Asia Pasifik.

Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan

Menurut pakar sejarah itu, Indonesia selama ini menganggap Australia sebagai negara besar. Sebagai contoh, sapi yang bagus dan besar, dari Australia. Bahkan Pepaya yang bagus dari Australia. Tapi hubungan Australia dengan Indonesia dibuat retak, supaya tidak banyak berhubungan lebih jauh dengan Indonesia.

Inggris memang punya banyak kepentingan untuk bisa terus menguasai wilayah-wilayah, terutama di kawasan Asia Pasifik. Saingan mereka adalah Spanyol dan Portugis. Jadi, mereka akan berusaha menancapkan kuku-kukunya melalui Australia.

Relasi Indonesia-Australia kembali tegang seiring kabar penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bocoran terbaru dari dokumen mantan intelijen AS, Edward Snowden, mengungkapkan intelijen Australia menggunakan segala cara mengumpulkan data dari Indonesia, termasuk menyadap telepon Presiden SBY.

Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama

Dokumen milik Snowden yang kini berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan The Guardian tersebut menunjukkan Australia melacak kegiatan Presiden SBY melalui telepon genggamnya selama 15 hari di bulan Agustus 2009. Saat itu Kevin Rudd dari Partai Buruh masih menjadi Perdana Menteri Australia.

Daftar target penyadapan juga mencakup Wakil Presiden Boediono, Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juru bicara presiden untuk urusan luar negeri, menteri pertahanan, menteri komunikasi dan informatika, dan sejumlah menteri lain.

Laporan itu muncul beberapa minggu setelah sejumlah laporan mengklaim pos-pos diplomatik Canberra di luar negeri, termasuk di Jakarta, terlibat jaringan pemantauan luas yang dipimpin Amerika Serikat.

Jika lihat perjalanan sejarah hubungan kedua negara, tidak jarang dijumpai berbagai ketegangan diplomatik. Sudah menjadi rahasia umum, relasi Indonesia-Australia sering kali mengalami pasang surut dan diwarnai berbagai ketegangan diplomatik akibat ulah provokatif sejumlah elite politik pemerintahan Australia.

Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak  

Pengamat politik Australia, Colin Brown, melukisakan relasi Indonesia-Australia ibarat roller coaster, berundak-undak atau berputar sehingga jika ada langkah naik (up turn) yang dihasilkan akan diikuti penurunan (down turn).

Letak geografis yang jauh dari Inggris, selaku tanah leluhur, dan luas wilayah yang tidak berimbang dengan jumlah penduduk membuat Australia cenderung terisolasi dari dinamika regional.

Faktor budaya dan tradisi Australia yang lebih dekat dengan Eropa secara tidak langsung menciptakan hambatan bagi negara itu untuk menjalin komunikasi intensif dengan negara-negara Asia, terutama di kawasan Asia Tenggara.

Secara historis, Australia merupakan negara persemakmuran yang paling lama bergantung pada Inggris. Ketika negara-negara persemakmuran lain telah melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris, Australia belum dapat melepaskan diri dari pengaruh Inggris, terutama terkait kebijakan politik luar negeri. Sebagai contoh, pada Perang Dunia I, Australia terjun ke medan perang membantu kepentingan Inggris.

Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina

Karena itu, pada masa-masa ini Australia merasa sangat berkepentingan lebih merapat ke Asia daripada Barat. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Bob Hawke (1983-1991) dan Paul Keating (1991-1996) dari Partai Buruh, Australia kian menampilkan wajah ramah terhadap negara-negara Asia, terutama Indonesia. Tidak berlebihan jika era itu dianggap masa keemasan relasi Indonesia-Australia.

Meskipun Asia tetap ditempatkan sebagai bagian terpenting dalam kebijakan politik luar negeri Australia, prioritas utama dari kebijakan politik luar negeri John Howard adalah “melayani” kepentingan AS.

Hal itu sekaligus menjadi pertanda menguatnya kelompok status quo di langgam politik Australia. Kelompok status quo memang lebih suka bila Australia menjaga hubungan tradisional dengan negara-negara Barat ketimbang menjalin hubungan harmonis dengan negara-negara tetangga di Asia.(L/P04/R2).

 

Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Puluhan WNI dari Suriah Tiba di Tanah Air

Rekomendasi untuk Anda