Kekayaan bukanlah tanda kemuliaan seseorang, begitu pula kemiskinan bukan tanda kehinaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki, baik orang yang beriman maupun yang tidak beriman, bahkan kepada orang-orang yang bermaksiat. Hal ini menegaskan bahwa limpahan rezeki tidak terbatas hanya untuk orang-orang yang bertakwa.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu berarti bahwa Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu’minun: 55-56)
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak bukanlah tanda kasih sayang yang mutlak. Menurut para ulama, Allah tidak hanya memberikan rezeki kepada orang-orang saleh, namun juga kepada mereka yang jauh dari ketaatan. Ini mengajarkan kita bahwa banyaknya harta bukanlah ukuran kedekatan seseorang dengan Allah.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Allah terkadang melimpahkan rezeki kepada seseorang sebagai ujian, bukan sebagai tanda kemuliaan. Justru, ujian sebenarnya terletak pada bagaimana seseorang menyikapi rezeki tersebut—apakah ia bersyukur atau lalai. Jika kekayaan membuat seseorang lupa akan ketaatan kepada Allah, maka itu adalah pertanda rezeki yang diberikan bisa menjadi fitnah (ujian).
Sebaliknya, ketika Allah menyempitkan rezeki seseorang, hal itu tidak serta merta menunjukkan bahwa orang tersebut dihinakan. Allah berfirman, “Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Namun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15-17)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kemuliaan atau kehinaan seseorang bukan ditentukan oleh kelapangan atau kesempitan rezeki. Orang yang kaya belum tentu mulia di hadapan Allah, dan orang yang miskin belum tentu hina. Semua ini adalah bagian dari ujian, sebagaimana Allah menguji hamba-Nya untuk mengetahui bagaimana sikap mereka dalam menerima ketentuan Allah.
Bersyukur di Saat Kaya, Bersabar di Saat Miskin
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Yang menjadi ukuran kedekatan seseorang dengan Allah adalah sikapnya dalam menghadapi segala keadaan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman, semua urusannya adalah kebaikan, dan hal ini tidak dimiliki kecuali oleh orang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Hadits ini menegaskan bahwa seorang mukmin sejati adalah yang selalu melihat sisi kebaikan dalam segala kondisi yang diberikan oleh Allah. Ketika diberi kelapangan rezeki, ia mensyukuri nikmat tersebut dengan ketaatan, dan ketika diuji dengan kesempitan rezeki, ia bersabar tanpa mengeluh.
Ujian dalam Kekayaan dan Kemiskinan
Baca Juga: BSP 2024, Solidaritas dan Penghormatan Bagi Pahlawan di Tengah Genosida
Orang kaya dan orang miskin memiliki ujiannya masing-masing. Orang kaya diuji apakah ia akan menjadi orang yang dermawan dan bersyukur atau sebaliknya menjadi orang yang lalai dan sombong. Sedangkan orang miskin diuji apakah ia akan bersabar atas keadaan sulitnya atau akan mengeluh serta berputus asa. Sebagaimana Allah berfirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan; dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Ayat ini mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah ujian, baik berupa kenikmatan maupun kesulitan. Dengan demikian, orang yang beriman harus mampu menghadapi ujian tersebut dengan sikap yang baik dan sesuai tuntunan Islam.
Seorang mukmin sejati tidak menjadikan kekayaan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta yang dimiliki bukan untuk disombongkan, melainkan untuk digunakan di jalan kebaikan. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam mengajarkan bahwa manusia hanya akan diberi pahala atas harta yang ia keluarkan di jalan kebaikan, sedangkan harta yang ditumpuk hanya akan menjadi beban di akhirat.
Baca Juga: Catatan 107 Tahun Balfour dan Setahun Perjuangan Thufanul Aqsa
Hikmah dari kelapangan rezeki adalah agar seseorang bersyukur dan lebih banyak beramal kebaikan, sedangkan hikmah dari kesempitan rezeki adalah untuk melatih kesabaran. Seorang mukmin harus selalu menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah milik Allah yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali. Inilah sikap seorang mukmin sejati yang menempatkan ketaatan sebagai ukuran utama, bukan kelimpahan atau kekurangan harta.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Memaknai Iqra