Jakarta, MINA – Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KBPII) mengeluarkan pernyataan sikap soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam keterangan resminya diterima MINA, Sabtu (14/1), KBPII menilai, penyelesaian Non Yudisial terhadap korban pelanggaran HAM khususnya kejadian Pra dan Pasca 1965 hendaknya dilakukan dengan memperhatikan rasa keadilan dari kedua belah pihak, baik dari orang PKI maupun umat Islam karena pada dasarnya kedua belah pihak juga sama sama pelaku sekaligus juga korban dari sebuah pertarungan politik.
Ketua Umum KBPII Nasrullah Larada menyampaikan, demikian juga dengan pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM seperti rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa dan lainnya seperti tercantum dalam Keppres No. 17 tahun 2022, hendaknya juga dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan rasa keadilan khususnya bagi keluarga korban pembantaian PKI sebelum peristiwa 1965.
“Hendaknya Presiden Joko Widodo juga memperhatikan dan melihat kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965-1966 di mana terjadi pembantaian dan pembunuhan terhadap orang orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai peristiwa yang tidak berdiri sendiri secara tunggal, tapi merupakan rangkaian panjang dari peristiwa sebelumnya,” tegas Nasrullah.
Baca Juga: Peringati Hari Bakti PU ke-79, Pj Gubernur Jateng Pamerkan Capaian Infrastruktur
Dia juga menyatakan, umat Islam dan juga anggota TNI khususnya AD juga menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota PKI seperti yang terjadi pada peristiwa Bandar Betsy di Simalungun Medan, Kanigoro Kediri, pembantaian terhadap santri dan kyai di sejumlah daerah di Jawa Timur.
“Pelanggaran HAM berat terjadi pada Pra 1965 dan Pasca 1965 (G30SPKI), di mana sebelum kejadian 1965, umat Islam dan TNI jadi korban PKI, dan pasca 1965 sampai 1966 di mana orang PKI yang jadi korban pelanggaran HAM, sebagai sebuah bentuk
aksi dan reaksi dari umat Islam atas kekejaman yang dilakukan PKI sebelumnya,” ujarnya
Selain itu, KBPII memandang peristiwa 1965 sebagai bagian titik hitam dalam sejarah kelam bangsa Indonesia. Kita harus memaafkan kejadian masa lalu tapi jangan pernah melupakannya (Forgive Not Forgotten) dan tidak menghapus sejarah kejahatan PKI kepada bangsa dan negara, agar kita bisa belajar dari sejarah dan tidak mengulang lagi di masa depannya.
Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya saat menerima laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Istana Negara, Rabu (11/1), mengakui adanya pelanggaran HAM Berat di masa lalu.
Baca Juga: Akibat Cuaca Buruk Penyeberangan Pelabuhan Merak-Bakauheni Terhambat
Ada 12 kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yaitu Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
Kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Pembantaian Dukun Santet 1998-1999; PeristiwaSimpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ketua PWI Jabar Ingatkan Pentingnya Solidaritas Sesama Anggota