Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keadilan, Pilar Utama Peradaban Manusia

Redaksi Editor : Rudi Hendrik - 8 detik yang lalu

8 detik yang lalu

0 Views

Tulisan (terjemahan) Surah An-Nisa ayat 135 yang terpampang di pintu gerbang Hardvard University, AS. (Foto: Law Justice)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْاۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا ۝١٣٥ (النساء [٤]: ١٣٥)

Baca Juga: Korelasi Mukmin Sejati dengan Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 135)

Menurut Al-Wahidy (w 468 H) ayat di atas turun berkenaan dengan kasus Tamim bin Ubay bin Ka‘ab, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah yang meminjam sesuatu dari orang lain lalu mengingkarinya. Ketika perkara ini dibawa kepada Nabi ﷺ, para kerabat Tamim ingin membelanya meskipun ia bersalah.

Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan kesaksian tidak boleh dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan, status sosial, atau kepentingan pribadi.

Para ulama tafsir dari generasi salaf hingga kontemporer memandang ayat ini mengandung prinsip paling kokoh tentang keadilan universal. Imam At-Thabari Rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini adalah panggilan agung kepada orang-orang beriman agar menjadi penjaga dan pembela keadilan dalam kondisi apa pun.

Baca Juga: Tiga Langkah Rahasia Membangun Jiwa

Imam Al-Raghib Al-Asfahani, dalam kitab Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an menyebutkan definisi Al-‘Adl (keadilan) adalah sikap pertengahan yang menjauh dari sikap berlebih-lebihan dan kekurangan. Sementara Syekh Muhammad Abduh (w. 1905 M) menyatakan, keadilan adalah menunaikan hak setiap orang sesuai dengan kedudukannya, tanpa berat sebelah dan tanpa diskriminasi.

Keadilan adalah kewajiban yang bersifat ilahiah, tidak terikat pada relasi sosial atau keadaan ekonomi. Terhadap orang miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata, keadilan tidak boleh berubah. Ia tidak boleh tunduk pada kekuasaan dan harta.

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menyebut bahwa ayat ini merupakan larangan keras terhadap nepotisme dan diskriminasi dalam hukum. Bahkan beliau menyebut bahwa tidak ada ruang toleransi dan negosiasi yang melanggar prinsip-prinsip keadilan.

Beliau menegaskan, bahwa sikap mengikuti hawa nafsu dalam penegakan hukum adalah akar utama kerusakan tatanan masyarakat. Sebagian manusia cenderung membelokkan keadilan karena mengikuti hawa nafsu pribadi baik karena cinta, takut, atau kepentingan lainnya. Maka, Allah Ta’ala memerintahkan agar keadilan ditegakkan karena-Nya, bukan karena pertimbangan duniawi.

Baca Juga: Dakwahmu Menginspirasi, Tapi Akhlakmu Menyakiti

Keadilan dalam Islam bersifat transenden karena berakar pada wahyu, bukan hanya produk musyawarah atau kesepakatan manusia yang bisa berubah-ubah. Maka, ketika keadilan ditentukan oleh Allah Ta’ala, tidak ada celah bagi keberpihakan kelas sosial, status ekonomi, atau kekuatan politik.

Keadilan adalah ruh dari sebuah peradaban. Keadilan adalah hukum universal yang berlaku atas semua umat manusia, tak peduli agama, suku ras dan budayanya. Para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia menjadikan keadilan sebagai salah satu sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara kita.

Nelson Mandela, tokoh perjuangan anti-apartheid dari Afrika Selatan juga menyatakan, “Ketika keadilan tidak terwujud di satu tempat, maka itu menjadi ancaman bagi tempat lainnya.” Mandela memahami bahwa keadilan bukan hanya kebutuhan lokal, tetapi jantung dari kemanusiaan global.

Tokoh Filsafat Amerika Serikat John Rawls, dalam bukunya “A Theory of Justice” (1971) meletakkan keadilan sebagai asas pertama dalam pergaulan manusia. Dalam ungkapannya yang terkenal: “Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” (keadilan adalah prinsip paling mendasar dalam membentuk institusi sosial yang adil, sebagaimana kebenaran adalah prinsip utama dalam sistem pengetahuan).

Baca Juga: Dua Cara Allah Menambah Nikmat bagi Hamba yang Bersyukur: Kualitas dan Kuantitas

Keadilan Penopang Peradaban

Sejarah mencatat bahwa semua peradaban besar bertumpu pada keadilan sebagai tiang utamanya. Kekaisaran Romawi, peradaban Persia, Yunani, hingga masa kenabian dan kekhilafahan Islam, semuanya memiliki satu kesamaan, keadilan sebagai ruh pengelolaan tatanan sosial kemasyarakatan.

Filsuf Muslim dari Asia Selatan, Muhammad Iqbal (w 1938 M) menyebut bahwa peradaban adalah anak dari keadilan. Bila keadilan mati, maka mati pula peradaban di dunia ini.

Keadilan bukan hanya pilar penting dari kehidupan sosial, tetapi akar yang menopang seluruh bangunan peradaban. Tanpa keadilan, ilmu hanya menjadi alat manipulasi, hukum menjadi senjata kekuasaan, dan agama akan kehilangan ruhnya dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Taklim Itu Muhasabah dan Penguat Iman

Pada zaman keemasan Islam di Andalusia (Spanyol), di pintu-pintu gerbang universitas dan madrasah terpampang tulisan:

“Kehidupan dunia ditegakkan dengan empat pilar utama: ilmu para ulama, keadilan para pemimpin, doa orang-orang miskin nan saleh, dan keberanian para pemuda.”

Sementara surah An-Nisa ayat 135 di atas sejak tahun 2013 lalu terpampang di pintu gerbang Fakultas Hukum Harvard University, AS. Hal itu mengisyaratkan bahwa setiap manusia yang mempelajari ilmu hukum haruslan menjadi penjaga dan penegak keadilan.

Keadilan bukanlah sekadar idealisme, tetapi perintah yang bersifat mutlak. Ia adalah asas utama dari peradaban yang mulia. Sebab, peradaban yang dibangun tanpa pondasi keadilan akan cepat runtuh oleh ketimpangan, konflik, dan peperangan.

Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan

Masyarakat bisa hidup tertib, harmonis, dan membangun kebudayaan tinggi ketika keadilan berada di tengah-tengah mereka. Namun, ketika keadilan disingkirkan, dunia menjadi tempat yang gelap, yang kuat menindas yang lemah, yang besar menelan yang kecil, tirani mayoritas atas minoritas atau sebaliknya dan penguasa mengeksploitasi rakyatnya tanpa batas.

Di sinilah kita melihat betapa pentingnya keadilan tidak hanya sebagai nilai etis, tetapi juga sebagai kebutuhan peradaban. Jika dunia ini ingin memiliki peradaban mulia, maka keadilan harus ditegakkan.

Keadilan adalah ruh peradaban. Tanpanya, dunia ini hanya akan menjadi bangkai besar. Siapa pun yang memilih diam, akan menjadi bagian dari sejarah kelam umat manusia. Maka marilah kita berjuang sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Penjajahan di Palestina, Ketidakadilan yang Terus Dipelihara

Baca Juga: Dakwah Tapi Sombong, Sebuah Ironi Di Akhir Zaman

Palestina, negeri yang penuh berkah, namun sejak 78 tahun lalu hingga hari ini masih terus terjajah.  Tanahnya dirampas, warganya diusir dan dibunuh. Masa depan generasinya direnggut penjajah dengan kejam.

Ironisnya, penjajahan itu bukan dihilangkan, tetapi justru dipelihara oleh kekuatan-kekuatan besar dunia yang seharusnya menjadi penjamin keadilan. Para pemimpin dan aktifis dunia yang kerap bersuara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi diam membisu ketika ketidakadilan dan penjajahan di Palestina terpampang jelas di hadapan mereka.

Penjajahan atas Palestina bukanlah konflik dua negara atau sekadar sengketa tanah. Ini adalah proses kolonialisme sistematis, yang merupakan bentuk ketidakadilan sebuah bangsa. Sejak berdirinya entitas Zionis pada 1948, lebih dari 5.000 desa dihancurkan, jutaan warga Palestina diusir dan hingga kini lebih dari 7 juta warga Palestina hidup sebagai pengungsi diberbagai negeri.

Amnesty International dan Human Rights Watch bahkan menyebut perlakuan Israel terhadap warga Palestina sebagai tindakan apartheid. Pernyataan itu sudah cukup menjadi bukti bahwa keberadaan Zionis Israel di tanah Palestina bukan soal politik dan perebutan kekuasaan, melainkan bentuk ketidakadilan, diskriminasi dan dominasi rasial yang massif, sistematis dan terstruktur.

Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah

Dalam laporan tahunan U.S. Foreign Aid Report, Amerika Serikat setiap tahunnya mengucurkan lebih dari $3,8 miliar bantuan militer kepada Israel, sebagian besar digunakan untuk membiayai penjajahan Tepi Barat dan pemboman terhadap Gaza. Senjata yang membunuh anak-anak di Rafah dan Khan Younis itu, sebagian besar adalah buatan Barat. Hal itu jelas menunjukkan keterlibatan aktif dalam pelestarian kejahatan dan ketidakadilan Barat terhadap bangsa Palestina.

Tak hanya kekuatan militer, ketidakadilan juga dipelihara lewat kebungkaman diplomatik. Resolusi demi resolusi di PBB diveto oleh negara-negara besar, terutama AS sehingga lumpuh tak berdaya. Bahkan Mahkamah Internasional yang menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran hukum internasional, tetap tak berdaya menghadapi kekuatan veto yang dijadikan sebagai alat untuk menginjak-injak rasa kemanusiaan dan keadilan.

Bukti-bukti kekejaman ini sudah menumpuk seperti puing-puing rumah dan bangunan di Gaza yang dibombardir. Data dari PBB mencatat bahwa dalam setiap serangan besar ke Gaza, hampir semua korban adalah warga sipil, terutama wanita dan anak-anak. Rumah sakit, masjid, sekolah, dan kamp pengungsian jadi target. Jika ini bukan bentuk ketidakadilan, lalu apa namanya?

Tokoh Yahudi anti-Zionis seperti Noam Chomsky menyebut Israel sebagai “negara teroris yang mendapat kekebalan karena kekuatan pendukungnya.” Sementara itu, mantan Presiden AS Jimmy Carter dalam bukunya: Palestine: Peace Not Apartheid menyebut praktik Apartheid Israel lebih buruk dari apartheid di Afrika Selatan.

Baca Juga: Zionis Israel Takut kepada Muslim Sejati

Mayoritas ulama modern menyebut bahwa membela Palestina adalah fardhu ‘ain atas umat Islam. Karena problematika Palestina bukan hanya konflik politik, tetapi penjajahan yang menginjak-injak kehormatan umat. Umat yang diam dengan penjajahan di Palestina dianggap ikut mendukung penjajahan itu sendiri.

Palestina hari ini adalah barometer wajah para pemimpin dunia, apakah mereka benar-benar sebagai manusia yang beradab, atau hanya makhluk yang bungkam saat penjajahan dan ketidakadilan terus berlanjut. Ketika para pemimpin dunia membisu terhadap penderitaan Palestina, sebenarnya mereka sedang menggali kubur peradabannya sendiri.

Nelson Mandela pernah berkata bahwa kebebasan Palestina adalah ujian bagi kebebasan seluruh umat manusia. Jika dunia membiarkan satu bangsa dijajah dan ditindas secara sistematis selama puluhan tahun, maka dunia itu sendiri sedang kehilangan kompas moralnya.

Penderitaan rakyat Palestina seolah menampar wajah para aktifis yang mengklaim sebagai pembela HAM dan penegak keadilan. Merak hanya bersuara ketika kepentingannya terganggu. Penjajahan atas Palestina menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan bisa dibungkam dan keadilan bisa hilang atas nama ambisi melalui jalur diplomasi.

Baca Juga: Ini Cara Islam Memberantas Judi Online di Kalangan Rakyat Kecil

Namun, sejarah tidak pernah berpihak kepada penjajah. Kolonialisme runtuh di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Apartheid pun akhirnya hancur di Afrika Selatan. Maka Israel pun tidak kebal terhadap hukum sejarah. Ketika waktunya tiba, Palestina pasti akan merdeka. Dunia akan menyaksikan bahwa keadilan mungkin tertunda, tapi ia tetap akan muncul, mengalir dan mencari jalannya sendiri.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Khutbah Jumat
Khutbah Jumat