Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebangkitan Komunisme & PKI, Mungkinkah? (Oleh: M. Anshorullah) – Bagian I)

Rana Setiawan - Rabu, 29 September 2021 - 19:02 WIB

Rabu, 29 September 2021 - 19:02 WIB

12 Views

Oleh: M. Anshorullah, Ketua Presidium Aqsa Working Group (AWG)

Di Indonesia, diskursus tentang komunisme dan PKI selalu hangat setidaknya pada dua momen. Pertama setiap akhir bulan September, menandai peringatan peristiwa G30S/PKI atau Gestok dan kedua setiap menjelang atau beberapa saat setelah perhelatan besar politik nasional, misalnya Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, atau Sidang Paripurna DPR untuk mengesahkan suatu RUU.

Pada momen yang pertama, biasanya diselenggarakan secara indoor dalam diskusi di kelas kampus maupun sekolah, atau kegiatan seremonial dalam bentuk nonton bareng film karya Arifin C. Noor berkolaborasi dengan sejarawan Nugroho Notosusanto; Pengkhianatan G30S/PKI yang durasinya 4,5 jam itu. Lalu dipungkasi dengan kegiatan nasional pada 1 Oktober dengan Peringatan Kesaktian Pancasila. Momen ini cenderung datar dan tidak bergejolak.

Diskursus PKI dan komunisme yang menghangat pada setiap akhir September, tentu boleh dianggap wajar dan sudah seharusnya. Karena memang momentumnya bertepatan dengan sebuah peristiwa besar yang mengubah sendi-sendi kehidupan nasional.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Sebuah peristiwa yang menurut hemat saya lebih besar dari pada reformasi 98. Bahkan mungkin hanya selevel di bawah peristiwa kemerdekaan 1945 itu sendiri. Ya, peristiwa G30S/PKI. Penting untuk mengingat dan mempelajarinya sebagai upaya kita memahami sejarah bangsa Indonesia.

Sedangkan momen yang kedua, menjelang perhelatan besar nasional, isu tentang komunisme (PKI) cenderung lebih dinamis. Bahkan boleh dibilang riuh dan tajam. Pada momen kedua inilah penulis menganggap ada yang menarik untuk dikaji. Karena melalui momentum ini, diskursus tentang komunisme dan PKI menjadi  lebih bersifat justifikasi bahkan stigma, tidak lagi akademis, bahkan cenderung barbar, dan selalu berulang.

Kita bisa ambil contoh; “Saat Syaikh  Ali Jaber ditikam seseorang, banyak dari masyarakat yang secara spontan menuding; pelakunya pasti antek PKI”. Atau ada yang lain mengatakan “Pasti komunis”. Peristiwa ini tidak lama setelah viral kabar salah satu anggota legislatif PDIP asal Sumatera Barat dituding sebagai cucu PKI. Dan (mungkin) juga masih berkaitan dengan riuhnya penentangan terhadap RUU HIP.

“Saat pemerintah lebih banyak membuka kerjasama dengan Tiongkok, banyak dari masyarakat yang menstigma pemerintah sebagai representasi PKI”. Isu ini berkembang agak sering, misalnya saat ditemukan tenaga kerja asal Tiongkok yang ‘membanjiri’ proyek atau perusahaan  di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

“Saat salah satu anggota/kader partai diketahui sebagai keturunan PKI, banyak dari kita yang menstigma bahwa partai tersebut adalah jelmaan PKI”. Ini biasanya muncul saat menjelang pemilihan presiden atau legislatif.

Momen kedua menjadi menarik karena diskursus ini menguat di luar ‘musimnya’.  Tetapi yang menjadi persoalan adalah, politik nasional sangat dinamis. Terutama sejak pemilihan presiden tahun 2014, peristiwa ‘penistaan agama’ oleh Ahok dan rentetan demonstrasi 411, 212, dan seterusnya.

Peristiwa-peristiwa itu faktanya menyeret bangsa Indonesia kembali ke era seputar pemilu 1955 dan era menjelang Manipol-Usdek 1959 sampai 1965-67. Di mana saat ini, polarisasi bangsa mewujud menjadi pembelahan. Rakyat Indonesia terbelah menjadi dua kubu besar; Pro Pemerintah dan Oposisi Pemerintah.

Pembelahan itulah yang kemudian menjadikan isu tentang PKI dan komunisme menjadi riuh sepanjang tahun. Ya, kita bangsa Indonesia benar-benar disibukkan dengan isu ini sepanjang tahun.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Isu utama yang mengemuka dalam polemik ini adalah kekhawatiran bangkitnya PKI dengan ajaran komunisme-nya yang anti tuhan di Indonesia. Kekhawatiran ini dilandasi oleh alasan melindungi agama dan menyelamatkan Pancasila.

Sementara di pihak lain menilai bahwa isu PKI dan komunisme ini hanyalah alat atau senjata yang selalu dipakai untuk kepentingan politik tertentu. Agama dalam hal ini dianggap hanya digunakan sebagai alat legitimasi atau pembenaran.

Tentang Komunisme

Komunisme adalah salah satu aliran dari filsafat materialisme. Yaitu filsafat yang meyakini bahwa semua realitas yang ada di alam semesta ini adalah merupakan proses materil. Bahkan pemikiran manusia itu sendiri adalah bagian dari materi.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Sebaliknya, filsafat idealisme memandang semua hal di alam semesta ini adalah refleksi dari ide.

Sebagai salah satu aliran materialisme, komunisme menjadi yang paling berpengaruh sampai saat ini. Komunisme sendiri adalah paham yang bercita-cita mewujudkan masyarakat komunal di mana semua sumber daya berupa kapital dan alat produksi dimiliki secara bersama, tidak ada kepemilikan pribadi. Komunisme mulai banyak diperbincangkan nyaris bersamaan dengan ide sosialisme pada masa Revolusi  Perancis 1789–1799.

Slogan liberte-egalite-fraternite (kebebasan-persamaan-persaudaraan) menjadi bahan bakar perlawanan rakyat untuk meruntuhkan aristokrasi Raja Louise XVI. Ini adalah puncak dari kekecewaan rakyat atas sistem monarki absolut Perancis. Raja Louise 16 sendiri akhirnya dieksekusi, kemudian rakyat  membentuk pemerintahan Republik.

Revolusi ini segera menginspirasi masyarakat Eropa pada umumnya. Mereka sudah sangat lelah akan Abad Pertengahan (kegelapan) sejak abad 5 sampai 15 masehi di Eropa, di mana gereja meneguhkan hegemoninya dan cenderung mengatur kerajaan. Kombinasi gereja dan kerajaan ini adalah fondasi dari feodalisme yang sangat menindas.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Revolusi ini memunculkan sebuah komite atau dewan yang disebut sebagai Komune Paris. Dewan ini berperan sebagai pemerintah di Kota Paris selama revolusi berlangsung menggantikan kekuasaan Republik. Meskipun hanya berkuasa selama satu bulan, dari sinilah disinyalir istilah sosialisme dan komunisme mulai banyak dibicarakan. Bahkan Komune Paris dianggap sebagai pemerintahan sosialis (kelas pekerja) pertama di dunia.

Sementara itu, di Jerman pada abad 17-18 muncul Aufklarung (abad pencerahan). Berbeda dengan Revolusi Perancis yang merupakan pemberontakan sipil (massa aksi) yang bersifat keras dan cepat, Aufklarung lebih semacam transformasi yang secara waktu lebih gradual, bertahap. Abad pencerahan ini ditandai dengan meningkatnya kesadaran warga Jerman akan pentingnya pemisahan pengaruh gereja dengan ilmu pengetahuan. Berbagai penemuan penting juga terjadi di masa ini, misalnya mesin cetak.

Revolusi Perancis, pada akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang kaya, tuan-tuan tanah untuk membangun usaha mereka secara lebih bebas, tidak lagi tunduk pada pungutan pajak kerajaan yang semena-mena.

Euforia Revolusi Perancis dan Aufklarung di Jerman kemudian secara cepat dan menakjubkan membawa masyarakat Eropa memasuki era industrialisasi. Ditandai dengan Revolusi Industri di Inggris, dimana penemuan teknologi dan mesin-mesin (yang sama sekali tak terbayangkan pada masa abad kegelapan) menjadi alat produksi.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun

Revolusi industri ini kemudian memunculkan persoalan baru yang justru tidak sejalan dengan semangat liberte-egalite-fraternite Revolusi Perancis. Munculnya pabrik-pabrik dan industrialisasi mengakibatkan terciptanya kesenjangan amat lebar antara orang-orang kaya pemilik pabrik/modal (borjuis) dengan para pekerjanya (proletar).

Jumlah pekerja yang sangat banyak dan daya tampung pabrik yang terbatas membuat upah pekerja menjadi sangat rendah. Meskipun rakyat sudah terbebas dari penindasan feodalisme gereja dan kerajaan, ternyata nasib mereka tidak berubah. Justru kaum borjuis menjadi semakin kuat dan menjelma menjadi apa yang disebut sebagai kapitalis. Inilah yang melatari Marx menulis Manifesto Komunis pada dan Das Kapital, 1867.

Manifesto Komunis adalah tulisan Marx yang menjelaskan tentang apa saja struktur sosial yang ada pada masa feodal. Misalnya; kaum tani, buruh, buruh tani, bangsawan, gereja, tuan-tuan tanah, tentara, dan kerajaan.

Selain itu dijelaskan juga tentang  transformasi yang terjadi atasnya. Di sinilah Marx memaparkan salah satu dari tiga bagian terpenting dari komunisme ‘ala’ Marx (Marxisme), yaitu sejarah masyarakat.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Penjelasan singkatnya; struktur sosial dari banyak kelompok, melalui transformasi panjang pada akhirnya hanya ada dua kelompok besar; borjuis dan proletar. Borjuis adalah kelas pemilik modal dan alat produksi, sedangkan proletar adalah kelas yang tidak memiliki modal dan alat produksi.

Sedangkan Das Kapital adalah teori ekonomi alternatif yang ditulis berisi penjelasan tentang kapitalisme; sejarahnya dan proyeksi masa depannya.

Menurutnya, kapitalisme (hasil dari revolusi industri) yang tampak megah itu hanyalah kumpulan dari kontradiksi yang pada saatnya akan runtuh.

Salah satu kontradiksi yang dia paparkan adalah adanya fakta bahwa pemilik modal (kapitalis) membayar pekerja sesuai nilai pasar yang cenderung menurun dan sangat murah, sementara hasil produksi bernilai jauh melampaui nilai pasar. Inilah yang disebut sebagai Teori Nilai Lebih.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Kontradiksi itu bersifat struktural dan berjalan secara alami, bahkan tanpa disadari oleh pemilik modal atau pekerja itu sendiri. Karena itu, jika keadaan ini berlangsung terus, maka akan selalu terjadi pertentangan antara keduanya; pertentangan kelas, borjuis versus proletar.

Selain itu, dalam Das Kapital, Marx juga menyinggung bahwa kepercayaan dan agama adalah ilusi yang melanggengkan kontradiksi borjuis vs proletar ini. Secara terpisah, dalam tulisan lain, Marx berkesimpulan bahwa agama adalah candu masyarakat (Die Religion … ist das Opium des Volkes’).

Das Kapital adalah teori kritis yang dibangun oleh Marx dalam upaya memperbaiki semangat sosialisme-komunisme pada masa Revolusi Perancis yang dinilai masih dalam tahap sosialisme-komunisme utopia. Pemberontakan kelas pekerja pada revolusi itu berjalan tanpa basis teori dan ideologi yang kuat.

Oleh karenanya, Marx menyusun Das Kapital sebagai jawaban teori dan ideologi itu. Tetapi itu tidak cukup untuk dapat mewujudkan perubahan secara konkret; 1) menghilangkan pertentangan kelas 2) memenangkan kelas pekerja 3) mewujudkan pemerintahan sosialis 4) mewujudkan masyarakat tanpa kelas (komunisme).

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

‘Penyempurnaan’ ini yang kemudian disebut sebagai Marxisme. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa Marxisme adalah komunisme yang dipahami orang-orang pada saat itu ditambah dengan teori Marx dalam Manifesto Komunis dan Das Kapital.

Sampai saat ini, terminologi komunis menjadi atau dianggap sama dengan Marxisme. Yaitu komunis yang berlandaskan teori dan terencana, bukan komunisme utopia ala Revolusi Perancis. Selanjutnya kita akan gunakan term komunisme untuk merujuk Marxisme itu.

Bagi Marx, komunisme adalah kombinasi dari tiga aspek penting; filsafat materialisme, dialektika, dan historis/sejarah masyarakat (MDH).

Filsafat materialisme sebagai fondasi berfikir, dialektika sebagai cara atau mekanisme kerjanya, dan historis adalah panduan roadmapnya sampai terwujudnya masyarakat tanpa kelas, tidak ada lagi kelas borjuis dan tidak ada lagi proletar. Tidak ada kepemilikan pribadi atas alat produksi yang digunakan oleh orang banyak, tidak ada negara, semuanya sama rata dan sama rasa.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Menurut Marx, masyarakat tanpa kelas itu akan terwujud melalui beberapa tahapan besar. Pertama masyarakat didorong untuk menjadi masyarakat yang liberal demokratis, setelah itu diwujudkan pemerintahan sosialis, baru kemudian dapat terwujud masyarakat komunal; komunis.

Pada tahap demokrasi liberal, negara-negara yang masih menganut otokrasi atau monarki dan teokrasi, didorong atau bahkan dipaksa menjadi negara liberal demokratis. Setelah itu, pemerintahan yang terwujud di masa demokrasi itu, akan ditransformasikan menjadi negara sosialis.

Pada masa negara sudah menjadi sosialis inilah pemerintah dijalankan dengan cara sentralisme demokratik atau diktatur proletariat.

Soviet (USSR) dan China (RRC) adalah negara yang mereka anggap sudah masuk fase negara sosialis diktatur proletariat. Sedangkan Indonesia (sebelum 1965) masih dalam fase demokrasi liberal. Karenanya PKI pada waktu itu sangat bernafsu untuk melakukan revolusi pemberontakan 1926, 1948, dan 1965 supaya segera memasuki fase sosialisme.

Satu hal lagi yang sangat penting, bahwa menurut Marx, perlawanan atas kapitalisme (borjuis) tidak bisa dimenangkan secara sendiri-sendiri setiap negara. Kaum proletar, buruh di negara mana saja haruslah bersatu sebagai kelas yang senasib dan sepenanggungan. Karenanya perlawanan terhadap kapitalis harus dilakukan secara global. Maka, sifat dari gerakan komunisme ini adalah internasionale.

Secara praksis, komunisme di terapkan di Soviet oleh Lenin setelah dia memobilisasi rakyat Rusia untuk memberontak dari Tsar Rusia dalam peristiwa Revolusi Bolshevik.

Lenin meyakini bahwa kemenangan proletar atas borujis tidak bisa ditunggu. Harus diusahakan. Melalui revolusi itu pada 1917, Lenin ‘mewujudkan’ cita-cita Marx.

Pasca runtuhnya Tsar, Lenin meretas jalan sosialisme dan menyelenggarakan berbagai pertemuan internasional untuk menggalang kekuatan internasionale itu.

Diktatur proletariat benar-benar diwujudkan. Kepemilikan pribadi dihapus. Bank-bank disita dari pemiliknya untuk dikelola oleh negara. Tanah milik bangsawan dan tuan-tuan tanah disita dan dibagikan cuma-cuma kepada rakyat.

Kelompok-kelompok yang menentang Lenin dihabisi. Disinyalir setidaknya 5 juta orang dibantai sepanjang 3 tahun pertama setelah kemenangan Bolshevik tahun 1917. Pasca Lenin, Stalin berkuasa. Orang ini lebih sadis lagi. Di masanya dibangun Gulag. Sebuah departemen yang membawahi ribuan kamp kerja paksa bagi para penentang partai di seantero Soviet.

Lenin juga secara agresif membangun kekuatan melalui aktivis buruh lintas negara untuk mewujudkan internasionale.

‘Keberhasilan’ Lenin membangun negara sosialis yang sesungguhnya membuat banyak orang di berbagai negara terinspirasi. Kemudian pada 1919 dibentuklah Communism International (Commintern) berpusat di Moskow. Inilah yang kemudian menjadi lokomotif komunisme di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Soviet dan Commintern kemudian menjadi musuh bersama negara-negara barat; Amerika dan sekutunya.(AK/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Wamenlu RI Anis Matta (foto: Kemlu RI l
Indonesia
Indonesia
Kementerian Luar Negeri RI (foto: Topcareer.id)
Indonesia
Indonesia
Indonesia