Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebangkitan Komunisme & PKI, Mungkinkah? (Oleh: M. Anshorullah) – Bagian II

Rana Setiawan - Rabu, 29 September 2021 - 19:42 WIB

Rabu, 29 September 2021 - 19:42 WIB

7 Views

Oleh: M. Anshorullah, Ketua Presidium Aqsa Working Group (AWG)

Tentang PKI

Orang pertama yang membawa ideologi ini adalah Henk Sneevliet, seorang aktivis dan pengurus partai Marxis, SDAP (Sociaal Democratische Arbeiderspartij) di Belanda.

Dia datang ke Indonesia pada 1913 dan menjadi ketua serikat buruh kereta api di Surabaya. Sneevliet kemudian mendirikan partai ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) pada 1914.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Setelah ISDV berdiri, dia melakukan berbagai kegiatan bawah tanah untuk mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan untuk mengenalkan ideologi Marxis dan membangun kekuatan komunisme internasional di Hindia Belanda.

Tokoh paling penting yang akhirnya dapat dipengaruhi adalah Semaoen, seorang pemuda pimpinan Sarekat Islam Cabang Semarang. Melalui Semaoen, pengaruh Sneevliet menyebar secara cepat di lingkungan SI Semarang. Semaoen-Darsono berkonfrontasi dengan HOS Tjokroaminoto-Agoes Salim karena Tjokroaminoto dan Agoes Salim dianggap terlalu berkompromi dengan penjajah dengan bersedia masuk dalam Volksraad (dewan perwakilan bentukan Belanda yang berisi tokoh pribumi dan belanda).

Akibat konfrontasi itu, SI Semarang disebut sebagai SI Merah. SI Merah inilah yang kemudian menjadi Partai Komunis Hindia pada 1920 dan kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia.

Pada tahap itu, poros Hindia Belanda-Moskow sudah terjalin. Ajaran Marxisme sudah mulai banyak dianut, dan PKI mulai banyak mendapat tempat di kalangan buruh, khususnya buruh pelabuhan dan kereta api.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Watak revolusi Lenin di Soviet membakar semangat muda pemimpin PKI yang baru saja lahir itu dan membuat mereka ingin segera melakukan revolusi seperti Lenin.

Pada 1926, PKI yang baru berusia 6 tahun itu melakukan pemberontakan bersenjata, dan kemudian ditumpas pemerintah Hindia Belanda. Pimpinan dan ribuan anggota PKI dibuang ke Boven Digoel, banyak dari mereka yang tidak pernah kembali ke Jawa, hilang atau mati.

Pemberontakan ini sebenarnya sudah diperingatkan dan dilarang oleh Tan Malaka, anggota PKI dan selaku Perwakilan Commintern untuk wilayah Asia Tenggara. Tapi pelarangan itu tidak digubris, bahkan Tan Malaka dikeluarkan dari keanggotaan partai.

Setelah penumpasan itu, praktis PKI tidak lagi tampil dipanggung pergerakan nasional secara formal. Aktivis partai yang tersisa melakukan kegiatan bawah tanah, mencoba memobilisasi massa yang tercerai berai. Komunikasi dengan Commintern tetap dilakukan, secara sembunyi-sembunyi.

Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman

Pada periode ini Munawar Musso tampil memimpin PKI yang sampai 1945 mengkonsolidasikan kekuatannya masih dengan cara gerakan bawah tanah.

Setelah kemerdekaan RI diproklamasikan, Musso mulai membawa PKI muncul lagi ke permukaan. Musso bahkan berhasil membujuk Amir Sjarifuddin untuk ikut memimpin PKI. Amir Sjarifuddin sendiri kemudian menjadi perdana menteri pada tahun 1947. Di masa revolusi ini, PKI di bawah Musso dan Amir Sjarifuddin menunjukkan lagi watak Leninis.

Pada Januari 1948 Amir Sjarifuddin mundur sebagai perdana menteri, karena dianggap kalah dalam perundingan dengan Belanda dalam Perundingan Renville. Belanda untung besar dalam perundingan ini. Kubu nasionalis mengecam keras kekalahan ini.
Setelah mundur, Amir dan Musso mengkonsolidasikan pengikutnya untuk memproklamirkan republik bercorak Soviet di Madiun.

Mereka berontak pada September 1948, berencana membentuk pemerintahan sendiri, terpisah dari NKRI. M. Hatta yang ditunjuk untuk menggantikan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri sangat marah. Hatta memerintahkan untuk menindak para pemberontak itu. Tentara dari Divisi Siliwangi dikirim ke Madiun untuk menumpas Amir-Musso dan pengikutnya.

Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah

Mereka berdua dan banyak tokoh PKI dieksekusi. PKI kembali hilang ditelan bumi. Gerakan mereka kembali lagi ke bawah tanah. Anehnya, Soekarno tidak juga menetapkan PKI sebagai partai atau organisasi terlarang.

Lalu muncul sosok DN Aidit yang secara perlahan berusaha memulihkan nama PKI. Aidit memiliki strategi yang jitu. Semangat revolusioner dan persatuan nasional Soekarno betul-betul dimanfaatkan.

Aidit mendekati Soekarno dengan sangat intensif. Tidak perlu waktu terlalu lama, Aidit berhasil membangkitkan PKI dari kuburnya. Tujuh tahun sejak peristiwa Madiun, PKI menjadi salah satu partai pemenang pemilu pertama pada 1955. Memperoleh sekitar 6 juta suara, PKI menduduki peringkat 4 di bawah PNI, Masyumi, dan NU.

Kedekatan Aidit dengan Soekarno terus berlangsung. Sampai pada 1959, Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden, banyak masuk Aidit yang diadopsi melalu slogan Manipol USDEK (Manifesto Politik Indonesia-Undang-undang Dasar 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Keputusan Soekarno setelah Dekrit 59 yang tidak akan pernah dilupakan oleh umat Islam Indonesia adalah dibubarkannya Partai Masyumi pada 1960. Banyak kalangan menduga kuat, ini adalah provokasi dari Aidit.

Di masa penerapan Manipol-Usdek ini, PKI benar-benar memanfaatkan kesempatan. Mereka menetapkan apa yang disebut dengan Plan 3 Tahun dan Plan 4 Tahun. Dua plan itu adalah realisasi pembangunan Partai dalam rangka memperkuat pengaruhnya di hati Soekarno sekaligus memperkuat basis massa mereka dan tentu saja memenangkan makar mereka.

Nasakom sebagai slogan Soekarno yang sangat massif dipublikasikan benar-benar menambah subur PKI. Banyak sekali organisasi masyarakat, organisasi professional yang mereka susupi dan dengan singkat menjadi underbow PKI. Pada masa itu, mereka menjadi anggota Commintern terkuat ke tiga di bawah Soviet dan China.

Tetapi, kembali lagi  watak Leninisme mereka ditunjukkan. Merasa sudah sangat kuat dan dekat dengan Soekarno, Aidit cs menghembuskan issue Dewan Jenderal yang kontra revolusi dan akan melakukan kudeta.

Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

Enam jenderal angkatan darat yang dituding sebagai anggota Dewan Jenderal kemudian dihabisi dalam semalam pada 30 September 1965. Jenderal AH. Nasution adalah salah satu sasaran juga, tapi selamat. Pelakunya adalah satuan komando Cakrabirawa pengawal Presiden Soekarno dipimpin Letkol Untung.

Peristiwa itu tentu saja menyulut kemarahan rakyat Indonesia. Pemuda dan mahasiswa bergerak, turun ke jalan, berdemonstrasi. Mereka memprotes peristiwa pembunuhan 6 jenderal, ekonomi nasional yang merosot, dan tidak jelasnya langkah Soekarno dalam mengatasinya.

Demonstran menuntut apa yang disebut dengan Tritura, tiga tuntutan rakyat; Bubarkan PKI, Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur yang terlibat G30S, dan Turunkan harga.

Tekanan yang besar itu memaksa Presiden Soekarno menulis Surat Perintah Sebelas Maret pada 11 Maret 1966. Surat perintah itu diberikan kepada Letjen Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat. Peristiwa inilah yang menandai akhir dari Demokrasi Terpimpin, Manipol-Usdek.

Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global

Dari sejarah kelahiran, tumbuh, bangkitnya kita mempelajari bahwa watak PKI adalah penjelmaan watak Lenin di Soviet. Logika dan strategi mereka yang sentralisme demokratik alias diktatur proletariat menjadi karakter yang tidak mungkin dilepaskan dalam mewujudkan cita-cita mereka.

Bangsa Indonesia dan warga dunia sudah faham betul karakter itu, sehingga sangat sulit saat ini mereka akan bisa diterima.

Tentang Kebangkitan PKI

Hari ini, menjelang 30 September 2020, issue kebangkitan PKI kembali menguar seperti juga tahun-tahun sebelumnya. Terutama sejak pemilihan presiden tahun 2014. Pernyataan beberapa tokoh nasional baru-baru ini mungkin dapat mewakili.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Prof. Din Syamsuddin meyakini bahwa kebangkitan PKI bukan lagi menjadi issue, karena mereka sudah benar-benar bangkit. Indikasinya adalah antara lain; upaya-upaya pelemahan Pancasila dengan RUU HIP, munculnya orang-orang seperti Ribka Ciptaning yang tanpa ragu muncul dan menyatakan bangga menjadi anak PKI, banjirnya tenaga kerja China ke Indonesia, penyerangan para ulama dan ustadz, perusakan masjid, dan lain-lain.

Selain Prof. Din, Jend. Purn. Gatot Nurmantyo juga mengatakan bahwa dia sudah mengendus kelompok-kelompok yang terindikasi berideologi komunis bermunculan sejak 2008. Bahkan Jenderal Gatot merasa pencopotannya sebagai panglima TNI adalah karena perintahnya pada jajaran TNI untuk memutar secara serentak film Pengkhianatan G30S/PKI.

Sebelumnya kita juga mendengar Letjend Purn. Kivlan Zein meyakini bahwa kelompok PKI sudah siap bangkit dan angkat senjata.

Dia menerima informasi intelejen bahwa struktur nasional PKI sudah terbentuk dengan anggota 15 juta orang. Pemimpinnya bernama Wahyu Setiaji.

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Selain itu, banyak tokoh agama juga yang mengendus bahaya kebangkitan ini. Misalnya Ust. Alfian Tanjung yang sangat berani menyebut nama atau pihak yang disinyalir menjadi tokoh atau sarang PKI. Bahkan menuding ada PKI di Istana. Baru-baru ini, Ust. Alfian Tanjung meminta maaf kepada Banser karena telah menyebut mereka adalah anak cucu PKI.

Jika benar PKI sudah siap bangkit atau jelmaannya dalam nama lain tapi berideologi Marxis, tentu ini menjadi persoalan bangsa yang sangat serius. Bukan hanya soal eksistensi Pancasila dan persatuan nasional, lebih dari itu, secara fundamental juga menjadi persoalan keagamaan (Islam). Mengancam kehidupan beragama di Indonesia.

Tetapi, selain kekhawatiran itu, ada pihak lain yang memiliki perspektif yang berbeda. Misalnya Prof. Salim Said, seorang pakar sejarah nasional. Tentang kebangkitan PKI atau komunisme ini, Prof. Salim meyakini bahwa ideologi komunis sudah bangkrut dan tidak akan bangkit kembali. Karena menurutnya, ideologi ini tidak mampu menjawab tantangan zaman. Sejarahnya tidak pernah berhasil mewujudkan apa yang dicita-citakan.

Soviet sebagai kekuatan utama komunisme internasional sudah hancur. PKI sebagai kekuatan ketiga bahkan sudah duluan remuk. Sedangkan China yang sampai saat secara de jure masih eksis dengan Partai Komunis China-nya sudah bertransformasi menjadi wajah lain. China sudah menjadi negara kapitalistik. Xi Jin Ping secara satire berkilah; ‘tidak penting kucing berwarna hitam atau putih, yang penting mampu menangkap tikus’.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Prof. Salim melanjutkan, memang tidak dipungkiri bahwa anak-anak tokoh atau anggota PKI saat ini tidak sedikit. Dan banyak di antara mereka duduk di posisi-posisi penting pemerintahan. Tetapi Prof. Salim tetap yakin bahwa itu tidak bisa dijadikan instrumen pra kondisi bangkitnya PKI. Jika pun ada usaha-usaha dari anak-anak PKI itu, lebih sebagai upaya membalas dendam kepada orang-orang atau kelompok atau pihak yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan karakter orang-orang tua mereka. Tidak lebih.

Selain Prof. Salim, ada juga Pak Suripto, pengamat intelejen. Meskipun Pak Ripto meyakini ada upaya sistematis untuk bangkitnya PKI, tetapi dia juga melihat ada kepentingan besar yang berusaha untuk selalu membuat Indonesia panas. Yaitu membentur-benturkan berbagai kepentingan yang begitu terpolarisasi dengan cara menciptakan issue. Misalnya dengan penyerangan ulama dan ustadz.

Upaya ini secara jelas membuat bangsa Indonesia tidak pernah tenang dalam usahanya mewujudkan persatuan nasional, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Rasanya apa yang dikemukakan oleh Prof. Salim Said dan Pak Suripto ada benarnya. Komunisme, apalagi PKI akan sangat sulit (kalau bukan tidak mungkin) untuk bangkit kembali. Selain secara de jure Tap MPRS tentang pelarangan PKI beserta ideologinya yang masih berlaku, secara de facto masyarakat Indonesia sudah sangat trauma dengan apa yang dialami di masa-masa revolusi kemerdekaan, demokrasi terpimpin, dan masa peralihan orde lama ke orde baru.

Keberadaan PKI pada masa-masa itu yang sangat rajin melakukan agitasi dan propaganda betul-betul memecah belah bangsa Indonesia.

Mungkin benar ada orang atau kelompok yang sangat gigih mengupayakan kebangkitan PKI sambil melakukan berbagai manuver dan menciptakan kegaduhan, tetapi respon rakyat, khususnya umat Islam menjadi penting. Reaksi yang ditunjukan oleh Ust. Alfian Tanjung, Mayjen Kivlan Zen dan banyak lagi pihak lain meskipun mungkin sebagian benar, menjadi konyol karena tidak pernah bisa membuktikan. Selain itu, dengan menuding kelompok atau orang tertentu sebagai pihak yang dikategorikan sebagai PKI atau komunis akan merusak ukhuwah itu sendiri.

Jika umat Islam terprovokasi dan terlihat reaksioner, maka itulah yang memang mereka harapkan. Dengan berbagai kejadian yang dianggap TSM itu, kelompok ini berusaha mencitrakan umat Islam sebagai kelompok yang reaksioner bahkan intoleran dan radikal. Tidak rasional dan halu. Lebih jauh lagi, kelompok ini berusaha membelah bangsa; mana kelompok pro dan oposisi pemerintah. Mana kelompok Anies dan mana kelompok Ahok.

Terkait kebangkitan PKI ini, tidak sedikit juga pihak yang menganggap bahwa ada pihak-pihak yang berkepentingan dan menunggangi isu ini. Tentu untuk kepentingan mereka sendiri. Inilah yang berbahaya.

Saya sendiri meyakini bahwa komunisme dan PKI akan sangat sulit bangkit dengan beberapa alasan berikut:

1. Utopia; cita-cita komunisme dan  PKI untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas yang sama rasa sama rata, menghilangkan negara, menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat produksi, perbankan, tanah dan sumber daya alam adalah ilusi. Kepemilikan pribadi seharusnya menjadi bagian dari hak asasi manusia.

2. Kontradiktif; meskipun komunisme lahir dari analisis kontradiksi, komunisme juga sarat dengan kontradiksi. Salah satunya yang paling penting adalah usaha mereka menerapkan diktatur proletariat yang memaksa semua kepentingan untuk menerima dan mengikuti kebijakan partai.

3. Internasionalism; keyakinan mereka bahwa perlawanan terhadap borjuis (kapitalisme) haruslah bersifat global juga tidak mungkin bisa dilakukan. Sebetulnya dengan teori sejarah masyarakat yang dibangun Marx, kita bisa melihat bahwa proses perubahan struktur sosial juga berlangsung alami, tidak bisa dipaksakan. Waktunya juga sangat panjang.

4. Diktatur proletariat; prinsip ini sangat mengerikan. Dengan kredo ini, partai dibenarkan untuk melakukan segala cara untuk menerapkan berbagai kebijakan. Meskipun mereka meyakini bahwa partai adalah representasi dari rakyat, tetapi faktanya kekuasaan terpusat hanya pada beberapa orang yang tergabung dalam Politbiro.

Mungkin benar apa yang dikatakan Winston Churchil: Jika saat muda kalian tidak sosialis, maka kalian tidak punya hati. Tetapi jika saat dewasa kalian masih sosialis, maka kalian tidak punya otak. Ini menggambarkan bahwa Sosialis-Komunis hanyalah dorongan semangat yang tidak realistis, tidak factual, dan memaksakan kehendak.(AK/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Wamenlu RI Anis Matta (foto: Kemlu RI l
Indonesia
Indonesia
Kementerian Luar Negeri RI (foto: Topcareer.id)
Indonesia
Indonesia
Indonesia