Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebangkitan Senyap Khilafah Pasca Runtuhnya Turki Utsmani 1924

Ali Farkhan Tsani - Ahad, 5 Maret 2017 - 00:19 WIB

Ahad, 5 Maret 2017 - 00:19 WIB

4079 Views

Oleh Ali Farkhan Tsani,  Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA  

Maret 2016, menerawang kembali pada masa kejatuhan naungan sentral kepemimpinan, Dinasti Turki Ustmani, tepatnya 3 Maret 1924. Sidang Dewan Perwakilan Nasional Turki saat itu, dipimpin Musthafa Kemal Pasha bergelar ‘Attaturk’, membubarkan sistem sentral pemerintahan Islam yang telah berjalan ribuan tahun tersebut dari Khilafah Ustmaniyyah diganti dengan Negara Turki Sekuler.

Dalam catatan sejaram panjang, itu semua merupakan bagian strategis dari rencana jahat Zionis Internasional melemahkan persatuan dan kesatuan dunia Islam. Hingga kaum Muslimin seluruh dunia dikotak-kotakkan dalam jerat perangkap devide et empera, menjadi politik nation, negara-negara, termasuk negara Islam sekalipun.

Sang Pimpinan umat Islam, Abdul Hamid II sebenarnya telah mempertahankan dengan sekuat daya, sentral kesatuan umat Islam itu. Dengan memberikan statemen kepada Pimpinan Zionis Internasional Theodore Hertzl, ”Kami peringatkan kepada Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Saya tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah Palestina ini, karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam (….fahiya laysat milku yamiinii, bal milkul ummatul islamiyyah…). Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Namun Zionis Internasional terus saja melakukan berbagai rencananya memecah kekuatan umat Islam. Mereka pun memasukkan gerakan untuk menumbangkan Sultan Turki, dengan menggunakan jargon-jargon kebebasan, kemerdekaan, dan menyebut Abdul Hamid II sebagai pimpinan absolut.

Tidak bisa berhadapan satu lawan satu, maka dicarilah celah dari dalam Turki sendiri. Salah satunya, menurut sejawaran adalah memasukkan nama Musthafa Kemal yang merupakan keturunan dari etnis Yahudi Dunama. Ini dinyatakan oleh Harold Courtenay Armstrong, seorang agen intelijen Inggris, yang menyatakan bahwa Musthafa berasal dari etnis Yahudi Dunama.

Dalam artikel berjudul “Mengenal Firqah-firqah Yahudi” dalam situs Swaramuslim disebutkan bahwa Freemasonry, organisasi Zionis Internasional, ikut andil meruntuhkan daulah Turki Ustmani. Gerakan ini antara lain menjalin hubungan yang sangat kuat dengan organisasi Turki Ittihat ve Terrakki (al-Ittihad wa at-Taraqqi atau persatuan dan kemajuan) yang berkembang sangat pesat di Salonika, Yunani, bagian dari Turki, tempat kelahiran Musthafa Kemal.

Di sinilah Musthafa bersama anggota-anggota komite persatuan dan kemajuan, yang dikenal sebagai kelompok Turki Muda (young Turks), yang diketahui sangat dekat dengan militer, menjalankan roda organisasi. Rata-rata anggota kelompok ini adalah orang-orang Yahudi dari Cryto Jews Salonika. Mereka mendapatkan dukungan finansial dari orang-orang Dunama, yaitu sekelompok Yahudi yang masuk Islam, namun secara diam-diam tetap mempertahankan keyahudian mereka.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Secara bertahap, tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika, pusat komunitas Yahudi Dunamah, melakukan pemberontakan. Gerakan pemberontakan itu didukung Inggris dan Perancis. Hingga kemudian tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Gerakan Nasionalisme Arab.

Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.

Sejarah kemudian mencatat, Kemal Pasha, akhirnya menjalankan agenda Inggris, melakukan revolusi untuk menghancurkan Turki Utsmani. Hal itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan “Persyaratan Curzon” pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kemal atas nama gerakan pemuda Turki dan dilakukan perjanjian yang ditandatangani pada 24 Juli 1923.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Musthafa Kemal Pasha yang meniti karier melalui jalur militer dan organisasi, melalui Dewan Perwakilan Nasional mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara.

Dunia Islam yang Terbelah

Sejak 1924 itulah, kaum Muslimin di dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, hingga terpecahbelah menjadi sekitar 60-an negara nasionalis yang tidak terikat satu sama lain dengan ikatan Islam. Adanya adalah ikatan nasionalisme, kebangsaan, masing-masing, sehingga kaum Muslimin di suatu negara begitu mudah dihinakan, wilayahnya diduduki penjajah, darahnya ditumpahkan, kehormatannya dilecehkan, dan agamanya dinistakan.

Hingga yang terkini, negeri Syam termasuk di dalamnya adalah Palestina, menjadi sau-satunya negeri Muslim terjajah yang hampir tanpa perlawanan berarti dari seluruh negeri Muslimin. Fakta membuktikan, negeri Palestina sampai kini masih dijajah oleh Zionis Israel. Darah tumpah setiap hari, anak-anak, orang-orang tua dan perempuan dibantai tiap jam, generasi muda dan tokoh-tokoh dipenjara tanpa kemanusiaan, serta Masjid Al-Aqsha kiblat pertama Muslimin dinodai bahkan hendak dirobohkan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Demikian pula dunia Islam di kawasan Timur Tengah diadu domba, dan dihancurkan dari dalam dan diserang dari luar. Lihat saja bagaimana satu per satu negeri-negeri Muslim dibuat tidak aman, bahkan porak-poranda. Seperti: Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Sementara Muslim minoritas di negeri-negeri lainnya, terintimidasi tanpa pembelaan memadai, seperti sebagian Muslim di Myanmar, Filipina, Thailand, Eropa dan lainnya. Walaupun secara bertahap, mulai ada pendekatan-pendekatan baru pemerintah setempat. Tapi tetap masih belum sejajar.

Sementara kekayaan alam negeri-negeri mayoritas Muslimin dieksploitasi untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Lewat mekanisme ‘bantuan’ utang luar negeri yang menggiurkan tapi menjerat, tunduk kepada kepentingan kapitalisme Barat. Kini sebagian malah bergeser seperti jatuh dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Lepas dari jerat kapitalisme masuk ke pusaran komunisme.

Sisi lain, pendidikan juga sama nasibnya. Pendidikan yang berlandaskan sekuler di negeri-negeri Islam telah mencetak generasi-generasi pemuda Islam yang jauh dari akar Islam. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, minuman keras menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda saat ini.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Di bidang hukum apalagi, tidak diterapkannya hukum-hukum Allah telah menyebabkan membengkaknya perkara-perkara kriminalitas seperti pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan dan perampokan.

Sementara pencitraan buruk pun disematkan pada tubuh Muslimin, mulai dari Islam fundamentalis, ekstremis, hingga teroris. Pakaian jilbab Muslimah, ikhwan berjenggot, nama-nama Islami, sempat dicecar dengan stigma kelompok garis keras.

Ketiadaan sistem sentral kepemimpinan Muslimin berakibat fatal bagi perlindungan nasib kaum Muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya. Lalu, nasib peradaban dunia ini apakah akan terus diserahkan begitu saja kepada mereka yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan kasih sayang apalagi ketuhanan.

Padahal sistem inilah yang menjadi poros sejarah umat Islam dan berlangsung terus-menerus dalam satu bentuk ke bentuk lain lebih dari 1.300 tahun. Sampai mendekati pertengahan abad XIV Hijriyah bertepatan dengan abad XX Masehi, dan berakhir di Turki Utsmani 1924 tersebut. Turki Utsmani memang disebut sebagai Sultan, dan sistemnya pun dinasti keturunan. Berbeda dengan sistem Khalifah yang berpola kenabian (Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah). Pola yang telah dilaksanakan oleh Para Khalifah yang mendapat petunjuk, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Namun keberadaan Turki Utsmaniyyah sebagai sentral kepemimpinan umat Islam tetap diakui dunia sebagai perekat kesatuan dan solidaritas umat Islam secara keseluruhan.

Kebangkitan Khilafah

Sudah menjadi sunnatullah bahwa pada akhirnya Khilafah itu akan bangkit kembali dengan izin Allah.

Berdasarkan riwayat dari Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Misykatul Mashabih dari Nu’man bin Basyir menyebutkan lima fase kepemimpinan umat Islam berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Fase Pertama, fase nubuwah, ketika umat Islam dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam selama kurun waktu sekitar 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.

Fase Kedua, fase Khilafah ala minhajin nubuwwah, yakni masa kepemimpinan empat khalifah rasyidah pengikut pola kenabian, selama kurun waktu sekitar 30 tahun. Sesuai dengan ketetapan Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, “Kekhilafahan pada umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan setelah itu.” (HR At-Tirmidzi Kitabul Fitan juz 4 hlm 503 no. 2226, Abu Dawud Kitabus Sunah juz 4 hlm 221 no. 4646-4647).

Mulai dari Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (tahun 11-13 H. / 632-634 M.), Khalifah Umar bin Khattab (tahun 13-23 H. / 634-644 M.), Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H. / 644-656 M.), dan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H. / 656-661 M.).

Fase Ketiga, fase Mulkan  Adhan, yakni ketika umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan, dimulai dari Bani Umayah Muawiyah bin Abu Sufyan (tahun 41-61 H. / 661-680 M.) hingga Bani Abbasiyah Abu Abbas As-Saffah (132-137 H. / 750-754 M.).

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Fase Keempat, fase Mulkan Jabbariyah, umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan Sultan Turki Utsmani, sejak Sultan Utsman bin Er-Thaghrol (tahun 1290-1326 M.) hingga Sultan Muhammad VI (tahun 1918-1923 M.).

Dhia’uddin Ar-Rayyis mengungkapkan, adalah Zionisme Internasional ditopang oleh kekuatan-kekuatan lain yang memusuhi Islam berupaya memecah-belah umat Islam dengan target menghancurkan sistem sentral kepemimpinan umat Islam yang telah berlangsung sekitar 1.300 tahun sebelumnya.

Puncak konspirasi Zionisme terjadi pada tahun 1924, yakni ketika dilenyapkannnya sistem sentral kepemimpinan umat Islam dinasti Turki Utsmani tanggal 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Pasha.

Dr. Ali Gharishah mengungkapkan, Musthafa Kemal Pasha bergelar At-Taturk (Pembangun Turkiadalah seorang tokoh Free Masonry Gerakan Yahudi Zionis Internasional. Ia berasal dari keluarga muslim yang dibina secara intensif oleh tokoh-tokoh Zionis Internasional, dan kemudian dijadikan pemimpin boneka untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Secara formal kekuasaan kerajaan Turki Utsmani mengakhiri kepemimpinan sentral dalam Islam, yaitu pada masa Sultan Abdul Majid yang dihapuskan oleh Nasionalisme Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha. Setelah itu kepemimpinan sentral umat Islam yang bersifat universal tidak ada lagi (vakum).

Fase kelima, inilah era bangkitnya kembali sentral kepemimpinan umat Islam dalam wujud khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, sebagaimana pernah diamalkan empat khalifah rasyidah terdahulu.

Sinyal kebangkitan khilafah sebagai usaha penyatuan umat Islam itu muncul dengan adanya gerakan All Khilafat Conference di India (tahun 1919). Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Dilanjutkan pertemuan serupa di Karachi, Pakistan (1921).

Tahun 1926 di Kairo diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar. Kemudian Kongres Islam Sedunia di Mekkah (1926), Konferensi Islam Al-Aqsha di Yerussalem (1931), Konferensi Islam International kedua di Karachi (1949), Konferensi Islam International ketiga di  Karachi (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekkah (1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogadishu (1964), Konferensi Muslim Dunia di Rabat Maroko yang melahirkan OKI (1969), dan Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Lahore Pakistan (1974).

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Di Indonesia usaha penyatuan muslimin dalam khilafah juga dilakukan oleh beberapa tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, KH Munawar Cholil, Dr. Abdul Karim Amrullah, dan Syaikh Wali Al-Fattaah. Dimulai dengan penyelenggaraan Komite Khilafah berpusat di Surabaya (1926). Dilanjutkan dengan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta (1949), dan Kongres Alim Ulama Mubalighin Seluruh Indonesia di Medan (1953). Itu semua wujud keinginan umat Islam dan kerinduannya akan hadirnya kembali Khilafah sebagai sentral dan kekuatan kaum Muslimin.

Alhamdulillah, kemudian diamalkanlah kembali sistem khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dalam wujud Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berpusat di Indonesia, dengan imaamnya Syaikh Dr. Wali Al-Fattaah tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).

Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Khilafah Suatu Realita Bukan Khayalan menyebutkan, sistem Khilafah merupakan suatu syariat yang bisa diamalkan bukan suatu khayalan. Penegakkannya merupakan sinyal geliat kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya.

Dalam analisis orientalis Barat sendiri yang antikhilafah memandang Khilafah sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat. Hal ini membuat Barat secara terus-menerus berusaha mencari jalan untuk mendistorsi dan mempolitisir citra Khilafah ala minhajin nubuwwah yang bersifat rahmatan lil alamin. Mereka coba ciptakan citra negatif yang mengarah pada fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme.

Geliat senyap pun tak mengapa, asal terus mengakar dan membukit. Begitulah harapan umat Islam. Tak terkecuali fenomena Negara Turki sejak era kepemimpinan Recep Thayyib Erdogan, membuka secercah harapan di sebalik awan kelabu sistem firqah yang membelah dunia Islam.

Hal itu seiring dengan upaya Jama’ah Muslimin (Hizbullah), berpusat di Indonesia, yang menapaktilasi Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah, sejak tahun 1953, sekali lagi walau dianggap senyap.

Bahkan sejarah mencatat, bahwa Imaam Pertama, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Dr. Syaikh Wali Al-Fattaah pernah berkirim surat kepada Raja Faishal bin Abdulaziz pada 28 Muharram 1392 H/14 Maret 1972 tentang seruan kesatuan umat (al-jama’ah/khilafah) itu. Kemudian mendapatkan surat balasan pada 15 Jumadil Awwal 1392 H/26 Juli 1972 M yang isinya antara lain memberikan penghargaan sepenuhnya akan semua usaha-usaha Imaam Wali Al-Fattaah dalam berjuang menyatukan kaum Muslimin dalam wadah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sesuai tuntunan syariat Islam.

Harapan senada, disampaikan Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) saat ini, Syaikh Yakhsyallah Mansur, yang mengharapkan kunjungan kenegaraan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud ke Indonesia, agar dapat mendorong kesatuan umat Islam sedunia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

“Hubungan Indonesia-Arab Saudi sepatutnya dijalin bukan hanya berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi semata. Namun lebih dari itu, harus dilandasi semangat persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) yang terikat untuk saling menolong dan memajukan sesuai ajaran Islam,” ujar Imaam Yakhsyallah Mansur, dalam pernyataan resmi yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Jumat (3/3/2017).

Inilah, sinyal kebangkitan Khilafah akhir zaman ini, secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin. Rahmat tanpa ada sekat-sekat politik (nonpolitik), lintas negara, suku bangsa dan bahasa. Menyatu dalam satu juang untuk kemuliaan kalimah Allah, kalimatullaahi hiyal ‘ulyaa. Allahu Akbar! (RS-2/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Asia
Asia
Internasional
Internasional
Internasional
Kolom