Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberanian dan Kasih Sayang Warga Yaman Saat Perang

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 21 Januari 2016 - 06:12 WIB

Kamis, 21 Januari 2016 - 06:12 WIB

616 Views

yemen-explosion

Salah satu pemandangan Yaman (Foto: adst)

Oleh: Catherine Shakdam, analis politik, penulis dan komentator untuk Timur Tengah

Di sudut tergelap di kawasan Arabia bagian selatan, di mana tidak ada lagi lampu sorot terang-benderang, dan tidak ada awak media yang berani meliput, karena serang terus-menerus pesawat-pesawat koalisi yang dipimpin Riyadh, telah menyebabkan lubang berdarah, titik hitam kemanusiaan yang dibiarkan berjalan.

Namun, di tengah serangan pembunuhan terhadap rakyatnya, terhadap kedaulatan, dan terhadap haknya untuk politik menentukan nasib sendiri, Yaman entah bagaimana tetap mampu bertahan dari gempuran koalisi militer Arab, dalam serangan yang seharusnya telah memusnahkan semua perlawanan.

Yaman telah membuktikan bahwa sementara ribuan warga berdarah merah di jalanan, tapi kekuatan mereka tetap eksis. Orang-orang Yaman ternyata bukan orang-orang yang mudah ditaklukkan. Mereka adalah orang-orang yang baik dan santun.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Memori Sejarah

Yaman, jiwa, gedung-gedung, monumen, gunung-gunung dan lembah-lembahnya, terlihat masih membawa memori zaman dahulu. Ketika nabi utusan Allah mendakwahkan kedamaian dengan mukjizat Tuhan-nya. Sejarah menyebutkan, Sem, putera Nabi Nuh, adalah yang pertama kali mendirikan Sana’a, ibukota Yaman.

Maka, apa yang berlangsung sekarang adalah pemusnahan Yaman dengan mengedepankan politik perbudakan. Terlepas dari alasan Saudi membentengi negerinya dari pengaruh konflik Yaman.

Yaman seperti telah disiapkan untuk sebuah kebinasaan sejarah. Selama sepuluh bulan berturut-turut, koalisi Arab telah menghancurkan negara miskin ini dengan hujan kematian, kekejaman dan kekejian dari setiap bom dan setiap ledakan. Serangan luar biasa agenda Arab yang disokong Amerika Serikat.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Tetap Kokoh dan Kasih Sayang

Meskipun Yaman telah berubah menjadi tumpukan besar puing-puing akibat bom, sementara orang-orang satu demi satu menemui kematiannya akibat kekejaman blokade kemanusiaan yang telah mencegah makanan, obat-obatan dan semua perlengkapan untuk masuk ke Yaman.

Namun, keuletan dan tekad yang luar biasa saat kesulitan mampu melahirkan kembali jiwa sosial, yang menjadi karakter sejati warga asli Yaman.

“Saat kebanyakan lutut tertekuk tak berdaya sebelum kematian, sungai-sungai darah dan rasa sakit kehilangan orang yang dicintai, Yaman tetap menjadi negeri yang dicintai. Negeri yang warganya selalu gemar berbagi satu sama lain dalam kesulitan. Saya jarang menyaksikan tekad seperti dalam menghadapi kemiskinan,” kata Dr Riaz Karim, seorang filantropis dan pendiri salah satu organisasi bantuan yang sangat aktif di Yaman.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Menurutnya, perang di Yaman telah menghancurkan seluruh keluarga, meninggalkan penderitaan yang mengerikan, menghapus kenangan indah dengan bara api, yang ada hanyalah jeritan ketakutan dan bau daging terbakar.

“Namun walaupun demikian kemurahan hati warganya untuk saling berbagi minuman dan makanan, sungguh luar biasa. Kami berutang keberanian seperti itu,” kata Dr Karim.

Haytham Ali Mohammed, seorang wartawan yang juga aktivis sosial dan hak asasi manusia, mengatakan, bagaimana sebagian besar warga Yaman tetap menjalani hidup dan sanggup bertahan selama 10 bulan serangan terakhir.

“Mereka pergi ke dataran tinggi di Yaman utara, kembali ke cara hidup tradisional. Para kepala suku pun membantu mereka dan menghidupkan kembali tradisi lama membuka rute perdagangan kuno melalui pegunungan,” ujarnya,

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Warga beramai-ramai menghidupkan kembali ekonomi alternatif untuk bertahan. Mereka pun keluar dari zona perang di kota kembali ke gunung-gunung.

Merekapun membentuk jaringan perjalanan, yang memungkinkan bahan pangan dan obat-obatan dapat diadakan untuk mengatasi krisis kemanusiaan.

Aneessa al-Dhahab, seorang dokter setempat menyatakan, para relawan tanpa lelah berbuat baik kepada masyarakat yang menderita akibat perang.

“Jika bukan karena mereka, adik saya tidak akan bisa mendapatkan insulin. Di antara mereka juga menggunakan pengobatan alternatif. Mereka telah mampu menjaga adikku hingga sehat,” ujarnya.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Dia menambahkan, “Relawan berprinsip, negaranya mungkin saja rusak, tapi warga tidak! Jika pun warga semua harus mati, maka tidak boleh mati sia-sia”.

Seorang wanita muda pemberani dari Yaman Utara, Aneessa, ikut bergabung dengan relawan seperti ribuan orang lainnya. Mereka tergabung dalam jaringan perlawanan dan bekerja bersama masyarakat untuk memberikan santunan kepada orang lain.

“Yaman adalah komunitas keluarga, di mana orang menemukan sebuah sistem yang membantu mereka walau dengan mengumpulkan embun untuk memenuhi kebutuhan air minum warga lainnya. Mereka pun membuat energi alternatif bahan bakar untuk menjalankan pompa air. Kami tidak akan terpukul oleh perang,” ujar Aneessa.

Sungguh, Yaman tetap kokoh berdiri walau dalam penghancuran. Warga asli Yaman telah membuktikan bahwa nasionalisme dan solidaritas telah mampu memindahkan gunung sekalipun. Ini adalah wajah asli Yaman. Sumber: rt.com. (P4/P2)

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda